Duaribu empat, itulah salah satu momen terpenting bagi para pegiat film di Purbalingga, kota kecil di mana masih saja banyak orang bertanya: di mana letaknya?
Tentu bukan tentang letak Kota Purbalingga yang akan saya catat di sini, melainkan orang-orang muda yang memotori lahirnya karya-karya film Purbalingga, pada tahun tersebut hingga saat ini.
Tekad dan Berserikat
Saat itu tentu saja terbersit dalam pikiran mereka: film apa? Lalu pertanyaan bergeser menjadi: kalau sudah jadi, mau diputar di mana? Pertanyaan itu masih berlanjut dan akan sangat panjang apabila dideret sedemikian rupa. Percayalah, terlalu banyak ketakutan untuk berkarya hanya akan membuat kepala terasa ngilu.
Orang-orang muda dari kota antah-berantah ini akhirnya berpikir sederhana, bahwa mereka membuat film karena memang harus membuat. Tak lebih tak kurang. Persetan dengan segala macam ketakutan.
Teknologi yang relatif murah dan mudah sudah barang tentu mendorong lahirnya proses-proses kreatif ini. Selain tentu saja sebongkah tekad yang bulat-mantap untuk melakukan eksplorasi seni. Maka berkaryalah mereka. Siapkan ide dan konsepsi. Datangkan alat perekam seadanya. Bersepakatlah dengan beberapa kawan yang dikenal. Sediakan tenaga sekuat kuda. Dan jangan pelit keluarkan duit meski kesusahan sedang melilit.
Bermodal itulah, anak-anak muda Purbalingga membikin karya sampai sekarang. Kondisi demikian saya rasa dialami pula oleh kawan-kawan di kota lain, termasuk yang paling tak terdeteksi dalam peta sekalipun!
Satu demi satu film terproduksi. Berbarengan dengannya, belasan komunitas film di Purbalingga muncul. Maka pada 4 Maret 2006 dirasa perlu membentuk satu lembaga asosiasi komunitas film di Purbalingga, Cinema Lovers Community (CLC). Kerja-kerja asosiasi berupa fasilitasi produksi dan distribusi film dilakoni oleh CLC, selain mengadakan pemutaran film pendek.
Mulai dari pemutaran dengan ruang kecil, roadshow ke sekolah-sekolah, layar tancap, hingga gedung berkapasitas besar. Namun bagi pembuat film dan masyarakat Purbalingga, ruang pemutaran yang ada masih dirasa kurang dan akhirnya dianggap perlu menggagas sebuah festival film.
Kebutuhan Festival
Dalam kurun waktu satu tahun setelah kelahirannya, CLC mengadakan sebuah festival kecil berskala lokal, Parade Film Purbalingga (PFP), yang dihelat pada 7 Juli 2007. Melihat kebutuhan yang lebih, program yang dirancang tiap tahun ini diperluas dengan melibatkan komunitas-komunitas film di Indonesia. Perubahan nama dirasa perlu untuk menjangkau ingatan masyarakat umum. Maka tercetuslah nama: Purbalingga Film Festival (PFF).
Festival ini digagas tanpa perlu menjawab pertanyaan konyol di manakah letak Kota Purbalingga, karena niat baik untuk turut memperkuat perkembangan film pendek Indonesia sudah di ubun-ubun.
Dan posisi festival film di kota kecil yang tak tercantum dalam peta itu tentu bukan untuk diperlawankan dengan kota-kota yang lebih—sebutlah—dikenal, melainkan untuk semakin menguatkan persebaran film-film pendek agar memasyarakat dan nantinya menjadi kultur yang benar-benar ada, bukan sekedar mengada.
Maka para hadirin yang terhormat,
Sambutlah Jember Film Festival!
Sambutlah Purbalingga Film Festival!
Sambutlah festival film di kota-kota kecil lainnya!
Bowo Leksono
Direktur Purbalingga Film Festival
Tentu bukan tentang letak Kota Purbalingga yang akan saya catat di sini, melainkan orang-orang muda yang memotori lahirnya karya-karya film Purbalingga, pada tahun tersebut hingga saat ini.
Tekad dan Berserikat
Saat itu tentu saja terbersit dalam pikiran mereka: film apa? Lalu pertanyaan bergeser menjadi: kalau sudah jadi, mau diputar di mana? Pertanyaan itu masih berlanjut dan akan sangat panjang apabila dideret sedemikian rupa. Percayalah, terlalu banyak ketakutan untuk berkarya hanya akan membuat kepala terasa ngilu.
Orang-orang muda dari kota antah-berantah ini akhirnya berpikir sederhana, bahwa mereka membuat film karena memang harus membuat. Tak lebih tak kurang. Persetan dengan segala macam ketakutan.
Teknologi yang relatif murah dan mudah sudah barang tentu mendorong lahirnya proses-proses kreatif ini. Selain tentu saja sebongkah tekad yang bulat-mantap untuk melakukan eksplorasi seni. Maka berkaryalah mereka. Siapkan ide dan konsepsi. Datangkan alat perekam seadanya. Bersepakatlah dengan beberapa kawan yang dikenal. Sediakan tenaga sekuat kuda. Dan jangan pelit keluarkan duit meski kesusahan sedang melilit.
Bermodal itulah, anak-anak muda Purbalingga membikin karya sampai sekarang. Kondisi demikian saya rasa dialami pula oleh kawan-kawan di kota lain, termasuk yang paling tak terdeteksi dalam peta sekalipun!
Satu demi satu film terproduksi. Berbarengan dengannya, belasan komunitas film di Purbalingga muncul. Maka pada 4 Maret 2006 dirasa perlu membentuk satu lembaga asosiasi komunitas film di Purbalingga, Cinema Lovers Community (CLC). Kerja-kerja asosiasi berupa fasilitasi produksi dan distribusi film dilakoni oleh CLC, selain mengadakan pemutaran film pendek.
Mulai dari pemutaran dengan ruang kecil, roadshow ke sekolah-sekolah, layar tancap, hingga gedung berkapasitas besar. Namun bagi pembuat film dan masyarakat Purbalingga, ruang pemutaran yang ada masih dirasa kurang dan akhirnya dianggap perlu menggagas sebuah festival film.
Kebutuhan Festival
Dalam kurun waktu satu tahun setelah kelahirannya, CLC mengadakan sebuah festival kecil berskala lokal, Parade Film Purbalingga (PFP), yang dihelat pada 7 Juli 2007. Melihat kebutuhan yang lebih, program yang dirancang tiap tahun ini diperluas dengan melibatkan komunitas-komunitas film di Indonesia. Perubahan nama dirasa perlu untuk menjangkau ingatan masyarakat umum. Maka tercetuslah nama: Purbalingga Film Festival (PFF).
Festival ini digagas tanpa perlu menjawab pertanyaan konyol di manakah letak Kota Purbalingga, karena niat baik untuk turut memperkuat perkembangan film pendek Indonesia sudah di ubun-ubun.
Dan posisi festival film di kota kecil yang tak tercantum dalam peta itu tentu bukan untuk diperlawankan dengan kota-kota yang lebih—sebutlah—dikenal, melainkan untuk semakin menguatkan persebaran film-film pendek agar memasyarakat dan nantinya menjadi kultur yang benar-benar ada, bukan sekedar mengada.
Maka para hadirin yang terhormat,
Sambutlah Jember Film Festival!
Sambutlah Purbalingga Film Festival!
Sambutlah festival film di kota-kota kecil lainnya!
Bowo Leksono
Direktur Purbalingga Film Festival
Tidak ada komentar:
Posting Komentar