Kamis, 30 Juli 2009
Lembaga Film Mahasiswa Tertua ITB Mampir ke Purbalingga
Purbalingga dinilai sebagai salah satu dari tujuh kota paling produktif dalam menghasilkan film independen di Pulau Jawa. Demikian penilaian Liga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (LFM-ITB), sebuah lembaga film kampus tertua di Indonesia.
Untuk itulah, kota yang terletak di Jawa Tengah bagian barat ini menjadi salah satu tujuan Roadshow Introduction Ganesha Film Festival (GANFFEST) 2010 bertajuk “Festival Film dengan Sentuhan Teknologi” yang diusung LFM-ITB.
Panitia GANFFEST berencana mampir ke Purbalingga dalam rangkaian roadshow pada Senin, 3 Agustus 2009. Acara akan ditempatkan di Cafe Bamboe, Jl. Jend. Sudirman No. 126 Purbalingga (timur alun-alun Purbalingga) mulai pukul 18.30 WIB. Selain Purbalingga, kota-kota produktif yang hendak disinggahi adalah Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Malang.
Sementara materi yang diusung para pegiat LFM ITB di setiap kota adalah pengenalan LFM-ITB, profil GANFFEST 2008, pemutaran dua film terbaik GANFFEST 2008, pengenalan GANFFEST 2010, serta tanya jawab dan diskusi GANFFEST 2010.
Promo GANFFEST
Kegiatan roadshow ini sebagai acara pre-event agar informasi mengenai GANFFEST 2010 mendatang tersebar dengan jelas dan merata. Roadshow GANFFEST terbagi menjadi dua kegiatan, yaitu Roadshow Komunitas dan Roadshow Sayembara Inovasi Teknologi Perfilman.
Roadshow Komunitas ditujukan kepada komunitas film di tujuh kota. Sedangkan Roadshow Sayembara Inovasi Teknologi Perfilman diselenggarakan untuk kalangan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Bandung.
GANFFEST ini pertama kali diadakan pada Februari 2008. Pada saat itu ruang lingkup GANFFEST hanya seputar Pulau Jawa dan Bali, namun telah berhasil mendapat respon positif dari para filmmaker. GANFFEST 2010 ini akan dilaksanakan dengan ruang lingkup nasional.
Tema yang diambil dalam rangkaian kegiatan ini adalah “Art Futuristic”. Tema ini dipilih karena GANFFEST adalah even apresiasi film indie yang merupakan suatu bentuk karya dari seni kreatif. Dalam proses produksi dan distribusi film indie tidak dapat terlepas dari sentuhan teknologi. Di masa depan, sentuhan teknologi ini diharapkan dapat mendukung perwujudan ide dan visi kreatif dari para filmmaker.
Pada GANFFEST 2008, salah satu film dari Purbalingga berjudul ”Peronika” berhasil memboyong dua penghargaan sekaligus, yaitu Lakon Mumpuni dan Dalang Mumpuni. Bolex
Minggu, 26 Juli 2009
”Nyarutang”, Film Pendek Purbalingga Masuk Boemboe Forum 2009
Film pendek asal Purbalingga, ”Nyarutang” karya sutradara Asep Triyanto terpilih sebagai salah satu film di ajang Boemboe Forum 2009 bersama lima film lain dari berbagai kota di Indonesia. Forum bagi pembuat film pendek Indonesia ini hendak digelar pada Sabtu, 1 Agustus 2009, pukul 14.30 WIB, di Istituto Italiano di Cultura (Pusat Kebudayaan Itali) Jakarta.
”Saya senang film pertama saya bisa terpilih sebagai salah satu film di Boemboe Forum. Dengan izin orang tua dan pihak sekolah, saya akan datang sekaligus untuk menambah pengalaman,” tutur Asep Triyanto, siswa SMA Negeri 1 Bobotsari, Purbalingga ini bangga.
Film ”Nyarutang” berdurasi 10 menit yang sempat menyabet penghargaan dari JKFB Award di ajang Purbalingga Film Festival 2009 ini berkisah soal pemuda pengangguran bernama Jono yang masih mengikuti sisa nurani. Pada suatu ketika, Jono menemukan sebuah dompet di sebuah gang. Setelah Jono memakai uang dalam dompet itu, ia berniat mengembalikannya. Ada penyelesaian yang unik bagaimana Jono mengembalikan dompet dan uang yang sudah dipakainya.
Selain Purbalingga, film pendek hadir dari Jakarta, Solo, Jember, dan Makassar. Bentuk acara Boemboe Forum yang telah memasuki tahun keenam, selain pemutaran film adalah berupa presentasi peserta dan diskusi selama kurang lebih 30 menit setiap karyanya.
Asep Triyanto adalah filmmaker keenam dari Banyumas yang karyanya berhasil menjadi karya pilihan di ajang Boembeo Forum. Filmmaker lain adalah Dimas Jayasrana (di tahun 2004), Bowo Leksono dan Bayu Bergaswaras (2005), Heru C. Wibowo (2007), dan Insan Indah Pribadi (2008). Bolex
Rabu, 22 Juli 2009
Film Pendek Tampil di TV One
PURBALINGGA – Sukacita hinggap di benak para filmmaker pendek di Purbalingga. Dua judul film pendek yaitu Peronika dan Tasmini mendapat kehormatan ditayangkan di TV One.
Kehadiran film pendek berlogat Banyumasan itu langsung mendapat sambutan masyarakat Purbalingga baik di Purbalingga maupun di Jakarta.
Pentolan Cinema Lovers Community Purbalingga, Bowo Leksono mengaku cukup gembira dengan semakin diperhatikannya film pendek di dunia perfilman Indonesia. Tayangan Peronika, Sabtu (11/7) lalu langsung mendongkrak popularitas film Banyumasan di kancah nasional.
”Sambutannya luar biasa, sampai-sampai saya tidak dapat menjawab SMS yang masuk. Memori hp saya penuh karena ada sekitar 500 SMS ucapan selamat yang masuk,” tutur Bowo.
Bowo mengaku, pada Jum’at (17/7), ia kembali mendapatkan kejutan kedua kalinya. Televisi swasta tersebut menginformasikan akan menayangkan kembali sebuah film pendek karya sineas Purbalingga berjudul Tasmini, Sabtu (18/7) mulai pukul 10 malam. ”Selain mengobati kerinduan masyarakat Purbalingga di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, film ini menjadi hiburan segar bagi masyarakat yang sudah bosan dengan tayangan sinetron,” tambah Bowo.
Dua film Banyumasan itu mampu menembus layar kaca berkat dukungan dan peran dari sebuah yayasan film pendek dari Jakarta, Konfiden. Salah satu Dewan Pendiri Konfiden, Agus Mediarta mengaku cukup tertarik dengan film Banyumasan itu sejak pertamakali menontonnya.
”Waktu saya menonton pertamakali, saya langsung merasa cocok dan saya rasa film itu layak ditonton khalayak ramai,” tambahnya. Ia menambahkan, film Banyumasan itu sendiri cukup berbeda dengan film-film pendek dari kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan lainnya.
”Masyarakat Indonesia jarang yang mengetahui ada film berbahasa Banyumas. Lebih menarik lagi, film ini mampu berbicara secara visual. Film ini memang lucu, tapi bukan dari bahasanya melainkan dari penampilan visual yang dikemas oleh sutradara,” tambahnya. Budi, Radar Banyumas, Sabtu Pahing 18 Juli 2009.
Sayang, film Tasmini tidak jadi tayang pada Sabtu (18/7) karena slot-nya untuk tayangan Breaking News soal pemboman di Jakarta. Untuk itu, film Tasmini dalam tayangan bertajuk Film Pendek di TV One akan hadir pada Sabtu, 25 Juli 2009, jam 21.30 WIB.
Senin, 13 Juli 2009
Film Pendek Hadir di Tengah Ospek
Film Pendek bukan hal baru bagi siswa-siswi SMA Negeri 1 Bobotsari, Purbalingga. Sudah sejak 2004, saat karya film pendek pertama di Purbalingga hadir, mereka sudah diperkenalkan lewat program roadshow ke SMA-SMA di Purbalingga.
Bahkan yang membanggakan, dua tahun setelah itu, 2006, film pendek bertajuk ”Pacar Kedua” lahir dari rahim kreativitas siswa-siswi SMA yang terletak di bagian utara Kota Purbalingga.
Sejak saat itu, berbagai kesempatan acara di sekolah dimanfaatkan untuk pemutaran film pendek sebagai media apresiasi siswa. Tak terkecuali saat masa orientasi pengenalan sekolah (Ospek) bagi siswa baru atau dikenal dengan Kemah Orientasi Siswa (KOS) setiap tahun pelajaran baru, sehingga mentradisi menjadi acara tahunan.
Tahun ini, pemutaran film dengan media layar tancap di dalam lingkungan sekolah akan digelar pada Jumat, 17 Juli 2009, pukul 19.30 WIB. Acara tersebut diinisiasi Bozz Community, sebuah komunitas film di sekolah tersebut, OSIS, dan Cinema Lovers Community.
Film yang Diputar
Disamping film pendek di luar karya siswa SMA Negeri 1 Bobotsari, seluruh karya mereka sejak 2006 akan diputar agar para junior tahu, sudah lebih dari tiga tahun para seniornya membuat film.
Film-film tersebut adalah “Pacar Kedua” (2006) sutradara Arthur Harland, ”Gairah Salimin” (2008) sutradara Nanki Nirmanto, ”Musibah” (2008) sutradara Nanki Nirmanto dan Wahyu Esbhe, dan “Nyarutang” (2009) sutadara Asep Triyanto. Film pendek yang disebutkan terakhir sempat menyabet Penghargaan JKFB Award di ajang Purbalingga Film Festival 2009.
Bozz Community dari SMA Negeri 1 Bobotsari, Purbalingga adalah komunitas kreatif yang deras dalam melahirkan generasi pembuat film pendek di Purbalingga. Namun sayang, dukungan dari sekolah tidak sederas kreativitas mereka. Bolex
Senin, 06 Juli 2009
Perempuan Banyumas dalam Film
Oleh: Teguh Trianton, aktif di Beranda Budaya, Banyumas
Di Banyumas, film awalnya hanya diperlakukan sebagai salah satu varian hiburan kelompok sosial tertentu (elite). Film hanya dapat ditonton oleh mereka yang memiliki kelebihan finansial.
Perkembangan berikut, film mampu menembus demarkasi kelas sosial. Bahkan film kini menjadi ’’barang’’ hasil kerajinan industri kreatif rumahan yang mudah diperoleh. Ada puluhan rumah produksi film pendek bertebaran di Banyumas.
Kegiatan menonton film telah jadi bagian dari kehidupan masyarakat. Film menjadi media massa yang efektif menyampaikan pesan. Kehadiran film mampu memengaruhi pola pikir, dan cara tindak individu baik sebagai pribadi maupun kolektif. Kemudian film dianggap efektif untuk menanamkan suatu ideologi secara laten.
Lalu bagaimana dengan film pendek Banyumas yang telah berterima di masyarakat? Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana citra perempuan Banyumas digambarkan melalui sistem tanda sebagai unsur pembentuk film (Sobur, 2006).
Dari puluhan judul film karya sineas Banyumas, setidak-tidaknya ada empat film yang secara tegas merepresentasikan posisi perempuan Banyumas. Pertama Film Senyum Lasminah, kedua Peronika, ketiga Gajian dan keempat Tasmini. Keempat merupakan karya sineas lokal Banyumas yang tergabung dalam Cinema Lover Community (CLC).
Citra Positif Citra adalah gambaran yang disajikan dan kemungkinan terekam oleh penonton. Pencitraan dapat membentuk mitos dan ideologi. Secara positif, ideologi menurut Jorge Larrain (Sobur, 2006) dipersepsi sebagai pandangan dunia (wordview) yang menyatakan nilai-nilai (budaya) entitas sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka.
Dalam Senyum Lasminah —film terbaik kedua kategori budi pekerti Festival Video Edukasi 2007— perempuan dicitrakan sebagai entitas masyarakat kelas rendah yang sadar budaya. Film ini bercerita tentang kehidupan perempuan di Banyumas yang masih mewarisi kearifan lokal berupa tradisi membatik.
Lasminah adalah gambaraan perempuan muda yang sadar budaya. Ini satire, sebab dalam kondisi kontemporer, hanya mereka (perempuan) yang telah berusia lanjutlah yang mau mewarisi tradisi membatik. Lasminah membatik adalah gambaran positif perempuan muda di Banyumas.
Pada scene lain, resistensi Lasminah terhadap ajakan Surti (teman kecil yang baru pulang dari rantau) untuk ke Jakarta hanya sebuah sindiran. Sebab situasi seperti ini sangat langka terjadi di Banyumas. Tapi bukan berarti tidak mungkin terjadi.
Sementara pada film Peronika, dan Gajian, sosok perempuan Banyumas yang diperankan Jamilah, dicitrakan sebagai ibu rumah tangga yang baik. Sebagai perempuan desa yang berstatus istri, Jamilah sukses menjalani tertib rumah tangga. Ia memasak di dapur, dan meladeni suami.
Citra yang sama hadir melalui sosok Lasmi dalam film Tasmini. Lasmi sukses menjalankan tertib ibu rumah tangga di desa. Kehidupan sehari-hari Lasmi diisi dengan kegiatan mencuci pakaian di sumur, menjemur, dan memasak untuk suami.
Sementara itu, kehadiran tokoh Surti dalam Senyum Lasminah justru membentuk citra negatif perempuan Banyumas. Sosok Surti menggambarkan tradisi merantau yang begitu mengakar di Banyumas. Kondisi yang jamak ditemui di wilayah pedesaan di Banyumas.
Perempuan yang baru lulus SMP, bahkan SD yang tak mampu melanjutkan studi memilih merantau dan jadi TKW pada sektor domestik di Jakarta, bahkan luar negeri.
Dalam Gajian, citra negatif diwakili sosok bakul jamu gendong. Meski tidak semua, namun sebagai bakul jamu, perempuan tak mampu menolak stereotipe negatif. Ia dimitoskan pandai merayu calon konsumen, dengan kalimat-kalimat berbau erotik memaksa konsumen pria mau mengkonsumsi jamunya.
Sementara itu, salah satu karakter wong Banyumas yang kental dengan tradisi keberlisanan adalah kebiasaan dopokan (ngobrol atau bergunjing). Dalam konotasi negatif gunjingan lazimnya dilakukan oleh kaum perempuan di desa.
Bergunjing terekam dalam film Tasmini. Lasmi yang tengah memotong sayur di teras rumah gedheg terlibat pergunjingan dengan tetangga yang baru pulang dari pasar. Gunjingan yang lebih mendekati provokasi ini meluncur dari mulut tetangga Lasmi.
Ia dengan nada dan ekspresi sinis, berkata pada Lasmi bahwa sang suami terlihat berselingkuh dengan perempuan bernama Tasmini di sebuah toko tas. Faktanya, Pardi —suami Lasmi— berada di toko hendak membeli tas ukuran mini (kecil) sebagai hadiah untuk Lasmi.
Kasur, Sumur, Dapur.
Secara umum, citra perempuan Banyumas tak pernah jauh-jauh dari tiga kebutuhan dasar rumah tangga di desa. Peran perempuan selalu berputar di wilayah dapur, sumur, dan kasur.
Dalam keempat film tersebut, secara umum perempuan dicitrakan marginal. Baik Jamilah, Lasminah, Surti, Lasmi, dan bakul jamu sama-sama memerankan sosok perempuan dalam tiga wilayah dasariah tersebut. Film Senyum Lasminah dimulai dengan scene Lasminah yang menimba air dari sumur untuk mandi dan memasak. Jamilah dalam Peronika dan Gajian sangat tegas menggambarkan ibu rumah tangga yang sukses mengelola urusan dapur (dan kasur).
Penggambaran posisi marginal ini tentu saja dapat dipahami sebagai bentuk resistensi (perlawanan) atas ketimpangan perilaku gender pada masyarakat desa di Banyumas. Tatkala film banyak mengangkat isu ketimpangan gender, ia dituduh telah mengonstruksi bias gender. Membentuk mitos. Sebaliknya film yang secara banal mengangkat realitas, dapat berfungsi sebagai penolakan atas mitos tersebut. Di sini terjadi oposisi biner antara dua wilayah yang selalu berhadap-hadapan di belakang kenyataan yang terjadi.
(Suara Merdeka, Wacana, 7 Juli 2009)
Langganan:
Postingan (Atom)