Senin, 06 Juli 2009
Perempuan Banyumas dalam Film
Oleh: Teguh Trianton, aktif di Beranda Budaya, Banyumas
Di Banyumas, film awalnya hanya diperlakukan sebagai salah satu varian hiburan kelompok sosial tertentu (elite). Film hanya dapat ditonton oleh mereka yang memiliki kelebihan finansial.
Perkembangan berikut, film mampu menembus demarkasi kelas sosial. Bahkan film kini menjadi ’’barang’’ hasil kerajinan industri kreatif rumahan yang mudah diperoleh. Ada puluhan rumah produksi film pendek bertebaran di Banyumas.
Kegiatan menonton film telah jadi bagian dari kehidupan masyarakat. Film menjadi media massa yang efektif menyampaikan pesan. Kehadiran film mampu memengaruhi pola pikir, dan cara tindak individu baik sebagai pribadi maupun kolektif. Kemudian film dianggap efektif untuk menanamkan suatu ideologi secara laten.
Lalu bagaimana dengan film pendek Banyumas yang telah berterima di masyarakat? Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana citra perempuan Banyumas digambarkan melalui sistem tanda sebagai unsur pembentuk film (Sobur, 2006).
Dari puluhan judul film karya sineas Banyumas, setidak-tidaknya ada empat film yang secara tegas merepresentasikan posisi perempuan Banyumas. Pertama Film Senyum Lasminah, kedua Peronika, ketiga Gajian dan keempat Tasmini. Keempat merupakan karya sineas lokal Banyumas yang tergabung dalam Cinema Lover Community (CLC).
Citra Positif Citra adalah gambaran yang disajikan dan kemungkinan terekam oleh penonton. Pencitraan dapat membentuk mitos dan ideologi. Secara positif, ideologi menurut Jorge Larrain (Sobur, 2006) dipersepsi sebagai pandangan dunia (wordview) yang menyatakan nilai-nilai (budaya) entitas sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka.
Dalam Senyum Lasminah —film terbaik kedua kategori budi pekerti Festival Video Edukasi 2007— perempuan dicitrakan sebagai entitas masyarakat kelas rendah yang sadar budaya. Film ini bercerita tentang kehidupan perempuan di Banyumas yang masih mewarisi kearifan lokal berupa tradisi membatik.
Lasminah adalah gambaraan perempuan muda yang sadar budaya. Ini satire, sebab dalam kondisi kontemporer, hanya mereka (perempuan) yang telah berusia lanjutlah yang mau mewarisi tradisi membatik. Lasminah membatik adalah gambaran positif perempuan muda di Banyumas.
Pada scene lain, resistensi Lasminah terhadap ajakan Surti (teman kecil yang baru pulang dari rantau) untuk ke Jakarta hanya sebuah sindiran. Sebab situasi seperti ini sangat langka terjadi di Banyumas. Tapi bukan berarti tidak mungkin terjadi.
Sementara pada film Peronika, dan Gajian, sosok perempuan Banyumas yang diperankan Jamilah, dicitrakan sebagai ibu rumah tangga yang baik. Sebagai perempuan desa yang berstatus istri, Jamilah sukses menjalani tertib rumah tangga. Ia memasak di dapur, dan meladeni suami.
Citra yang sama hadir melalui sosok Lasmi dalam film Tasmini. Lasmi sukses menjalankan tertib ibu rumah tangga di desa. Kehidupan sehari-hari Lasmi diisi dengan kegiatan mencuci pakaian di sumur, menjemur, dan memasak untuk suami.
Sementara itu, kehadiran tokoh Surti dalam Senyum Lasminah justru membentuk citra negatif perempuan Banyumas. Sosok Surti menggambarkan tradisi merantau yang begitu mengakar di Banyumas. Kondisi yang jamak ditemui di wilayah pedesaan di Banyumas.
Perempuan yang baru lulus SMP, bahkan SD yang tak mampu melanjutkan studi memilih merantau dan jadi TKW pada sektor domestik di Jakarta, bahkan luar negeri.
Dalam Gajian, citra negatif diwakili sosok bakul jamu gendong. Meski tidak semua, namun sebagai bakul jamu, perempuan tak mampu menolak stereotipe negatif. Ia dimitoskan pandai merayu calon konsumen, dengan kalimat-kalimat berbau erotik memaksa konsumen pria mau mengkonsumsi jamunya.
Sementara itu, salah satu karakter wong Banyumas yang kental dengan tradisi keberlisanan adalah kebiasaan dopokan (ngobrol atau bergunjing). Dalam konotasi negatif gunjingan lazimnya dilakukan oleh kaum perempuan di desa.
Bergunjing terekam dalam film Tasmini. Lasmi yang tengah memotong sayur di teras rumah gedheg terlibat pergunjingan dengan tetangga yang baru pulang dari pasar. Gunjingan yang lebih mendekati provokasi ini meluncur dari mulut tetangga Lasmi.
Ia dengan nada dan ekspresi sinis, berkata pada Lasmi bahwa sang suami terlihat berselingkuh dengan perempuan bernama Tasmini di sebuah toko tas. Faktanya, Pardi —suami Lasmi— berada di toko hendak membeli tas ukuran mini (kecil) sebagai hadiah untuk Lasmi.
Kasur, Sumur, Dapur.
Secara umum, citra perempuan Banyumas tak pernah jauh-jauh dari tiga kebutuhan dasar rumah tangga di desa. Peran perempuan selalu berputar di wilayah dapur, sumur, dan kasur.
Dalam keempat film tersebut, secara umum perempuan dicitrakan marginal. Baik Jamilah, Lasminah, Surti, Lasmi, dan bakul jamu sama-sama memerankan sosok perempuan dalam tiga wilayah dasariah tersebut. Film Senyum Lasminah dimulai dengan scene Lasminah yang menimba air dari sumur untuk mandi dan memasak. Jamilah dalam Peronika dan Gajian sangat tegas menggambarkan ibu rumah tangga yang sukses mengelola urusan dapur (dan kasur).
Penggambaran posisi marginal ini tentu saja dapat dipahami sebagai bentuk resistensi (perlawanan) atas ketimpangan perilaku gender pada masyarakat desa di Banyumas. Tatkala film banyak mengangkat isu ketimpangan gender, ia dituduh telah mengonstruksi bias gender. Membentuk mitos. Sebaliknya film yang secara banal mengangkat realitas, dapat berfungsi sebagai penolakan atas mitos tersebut. Di sini terjadi oposisi biner antara dua wilayah yang selalu berhadap-hadapan di belakang kenyataan yang terjadi.
(Suara Merdeka, Wacana, 7 Juli 2009)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar