Sabtu, 08 Februari 2014

Kisah Penambang Emas Hitam


Beberapa pekan silam, Imam Sardi (42), seorang penambang pasir Sungai Klawing Purbalingga dipanggil ke Markas Kepolisian Resort (Mapolres) Purbalingga. Lelaki warga Desa Jetis, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga ini sempat merasa takut.

Belakangan ada laporan masyarakat, beberapa penambang emas hitam di jalur Sungai Klawing wilayah Jetis melanggar aturan penambangan dengan mengambil pasir di bantaran sungai yang berakibat longsor dan hilangnya pohon-pohon yang ditanam di atasnya.

“Ternyata salah tangkap. Saya, terlebih istri saya, sempat merasa sangat takut. Saya tidak pernah menambang di pinggiran, selalu di tengah sungai. Meski begitu di kantor polisi, saya tetap diminta tanda tangan surat pernyataan,” tutur Sardi.

Sardi, sejak menikah dengan Jumeni (41) pada tahun 1992, beralih profesi dari sopir ke penambang pasir. Hanya berjarak sekitar 50 meter rumahnya yang masih berdinding bambu dengan sungai terbesar di Purbalingga itu.

Menurut bapak dari Eva Mega Restiani (18), Suci Ramadani (10), dan Anisa Nifkul Laila (4) ini, menambang pasir itu gampang-gampang susah. “Gampangnya, pasir selalu tersedia di sungai, alam yang menyediakan, yang penting kita jangan asal mengambil. Susahnya, bila tidak menambang ya tidak dapat uang, menambang saja belum tentu dapat uang bila pasir kita tidak ada yang membeli,” terang lelaki berkulit legam ini.

Dalam sehari, Sardi menambang dua kali. Bila rezeki sedang gampang, bisa bolak-balik lebih dari dua kali. Sekali menambang, ia mampu mengantongi Rp 30 ribu untuk ukuran sekitar satu kubik emas hitam.

Sejak sekitar tiga tahun silam, keluarga Sardi telah memiliki perahu dan mesin sendiri dengan cara menyicil selama kurang dari lima tahun. Namun demikian, pekerjaan Sardi masih bergantung pada bos depot penambangan pasir yang turut mengatur pemasaran pasir para penambang.

Apapun profesi Sardi adalah anugerah bagi istri dan ketiga anaknya. Menurut Jumeni, ia sangat bersyukur bersuamikan Sardi. “Bojoku kuwe ora pediren, apa-apa sing demek bisa dadi duit. Kuwe senenge nyong neng kono.(Suami saya itu tidak canggungan, apapun yang dikerjakan bisa jadi uang. Itu senangnya saya disitu),” ujar ibu rumah tangga yang juga bekerja sebagai buruh tani serabutan ini.

Oleh: Octa Berna Ratungga dan Zakaria Maolana Romadon
Pelajar SMK YPLP Perwira Purbalingga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar