Kamis, 04 Juni 2009
Membaca Masyarakat, Mendekatkan Film
GATRA, edisi 28 Mei-3 Juni 2009, Bambang Sulistiyo
Membuat film bukan kegiatan langka di Purbalingga. Komunitas film yang bergiat di kota kecil pedalaman Jawa Tengah itu terus berupaya membuat medium tersebut kian terjangkau dan “domestik”. Digandrungi orang dewasa hingga pelajar SMP.
Dilarang merokok. Karena tanpa asap rokok pun ruangan itu sudah cukup pengap. Setiap lubang yang memungkinkan cahaya masuk, udara mengalir, sudah ditutup dengan kertas-kertas karton hitam. Kipas angin tidak cukup memberi angin bagi lebih separuh luas aula itu. Pintu-pintu dijaga agar tetap dalam keadaan tertutup.
Pengunjungnya, sebagian besar adalah pelajar SMA, tidak menyisakan tempat duduk. Jadi seperti wahana sauna. Tapi mereka terlalu gembira untuk menghiraukannya. Aula Hotel Kencana, Purbalingga, Jawa Tengah, itu disulap menjadi ”bioskop” dalam penyelenggaraan Purbalingga Film Festival (PFF) 2009, pada 21-23 Mei lalu.
Kualitas ruang presentasi yang terbatas tak menyurutkan antusiasme para pelajar untuk mendukung film-film yang disutradarai oleh teman-temannya dalam ajang Kompetisi Film SMA se-Banyumas Besar.
Program kompetisi film tingkat SMA itu merupakan satu diantara beberapa program dalam festival film tahunan yang pertama diselenggarakan tahun 2007 itu. Tahun ini ada 10 film dari sekolah-sekolah lanjutan atas yang tersebar di wilayah Kabupaten Purbalingga, Banyumas, Banjarnegara, dan Cilacap yang ikut kompetisi.
”Lebih ramai daripada pertandingan badminton,” kata Direktur PFF, Bowo Leksono. Ia menjanjikan suasana pemutaran film kompetisi berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya. Tahun ini, para penonton muda itu bergembira dengan cara yang sama. Mereka membentuk gugus-gugus suporter, memberi reaksi, suara-suara spontan untuk setiap wajah aktor yang mereka kenal dan setting kejadian atau lokasi film yang tidak asing.
Seperti sedang menonton pertandingan bulu tangkis yang seru. Mereka tertawa lepas untuk muatan-muatan komedi dan tetap tertawa untuk adegan-adegan yang berorientasi duka namun gagal dikemukakan oleh sutradaranya.
Meski rata-rata film-film pendek yang dibuat anak-anak sekolah itu mengandung kelemahan teknis yang bahkan sulit untuk diperdebatkan, ide-ide cerita yang muncul tidak bisa dibilang asal-asalan. Dari Facebook sampai global warming. Dari pernyataan mengenai homoseksualitas sampai rekomendasi yang banal untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan luarnya.
Sebuah film berjudul Sandal Jepit yang disutradarai oleh Bani Dwi K., pelajar SMA Negeri 1 Purbalingga, memperlihatkan perpaduan yang baik tentang kerja produksi yang oke. Ide cerita yang menggemaskan dan pengemasan teknik yang sedemikian rupa membuat karya berdurasi sekitar 15 menit itu lancar bertutur.
Bakat-bakat muda seperti Bani dan Festival Film Purbalingga adalah definisi operasional baru dalam menjelaskan konsep Purbalingga. Lebih dari tiga tahun lalu, Purbalingga hanyalah kota kecil tanpa bioskop yang namanya tidak pernah dihubung-hubungkan dengan terminologi film.
Gerilya Membangun Komunitas
Sosok penting yang sering disebut-sebut memiliki andil besar menempatkan Purbalingga dalam peta perfilman nasional adalah seorang lelaki bernama Bowo Leksono. Sarjana hukum lulusan Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, ini bergerilya mengangkat pergulatan personalnya dengan media film sebagai isu yang relatif baru bagi Purbalingga, tanah kelahirannya.
Tahun 2004, karya film pendek Bowo yang berjudul Peronika mencuri perhatian para penggiat film independen di Indonesia. Film yang membawa identitas Banyumas itu menyoroti ”gegar budaya” yang dialami masyarakat sehubungan dengan perkembangan pesat sektor teknologi telekomunikasi.
Respons dan pembacaan atas muatan lokal film tersebut melengkapi niat Bowo untuk mendirikan komunikasi film di Purbalingga. Setelah dua tahun bergelut, baru pada Maret 2006 ia bersama lima kumpulan lain di Purbalingga, yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap film sebagai media ungkap, mendirikan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga.
”Sebagian besar anggotanya adalah para pemilik studio-studio video shooting untuk dokumentasi perkawinan,” kata Bowo. Dengan pengalamannya membuat film feature pendek dan dukungan peralatan dari pengusaha video manten, CLC mulai memprakarsai pembuatan film-film pendek sederhana dengan biaya murah, sembari mulai memperkenalkannya kepada pelajar SMA di Purbalingga, di antaranya melalui program pemutaran film bulanan bertajuk ”Bioskop Kita”.
Baru tiga bulan berjalan, program ”Bioskop Kita” harus berhenti di tengah jalan. Pihak Humas Pemkab Purbalingga, dengan alasan-alasan tertentu, tidak dapat lagi meminjamkan salah satu gedung di areal pendopo—yang menurut Bowo paling representatif sebagai tempat memutar film di Purbalingga—sebagai venue bagi CLC menggelar program sosialisasi filmnya itu.
Bowo dan kawan-kawan menanggapi putusan izin itu dengan melakukan aksi demonstrasi. Lantas mendokumentasikan proses menemukan jawaban atas ”pelarangan” itu dalam sebuah film berjudul Bioskop Kita Lagi Sedih (2006). Peristiwa itu menandai periode awal ketidakharmonisan hubungan CLC dengan ”pemerintah”.
Tahun 2007, berbekal semangat untuk memenangkan ”konfrontasi” sembari terus menjadikan film sebagai isu popular di kampung halamannya dan memperluas jaringan kerja filmnya, Bowo menyisihkan penghasilannya untuk mengongkosi kelahiran Festival Film Purbalingga.
Cinema Lovers Community Purbalingga kian menemukan konteksnya sebagai sponsor gerakan film di kota yang terkenal sebagai sentra produksi bulu mata dan rambut palsu itu. Sepanjang tahun, proyek-proyek yang dikembangkan komunitas ini menyelusup sampai ke kota-kota kecamatan dan desa-desa di Kabupaten Purbalingga.
Sasarannya memberi pelatihan kepada siswa-siswa SLTA. Dan berangsur-angsur secara teknis memfasilitasi dan membimbing para pelajar untuk membuat film. Hasilnya, Festival Film Purbalingga 2008 sudah memiliki program kompetisi film-film pendek karya anak-anak SLTA se-Kabupaten Purbalingga.
Dan PFF tahun 2009, jangkauan kompetisi tersebut diperluas sampai wilayah Banyumas Besar. ”Sampai sekarang masih pakai duit sendiri, plus bantuan sukarela teman-teman CLC,” kata Bowo. Tahun ini, materi film-film yang diputar di PFF lebih bervariasi.
Ada sekitar 38 film diputar selama tiga hari. Mulai film-film yang didatangkan dari Jakarta, Yogyakarta, Malang, Surakarta, sampai film-film animasi Prancis ”sumbangan” dari Pusat Kebudayaan Prancis. Termasuk di dalamnya adalah 10 film kompetisi dan empat film dokumenter hasil workshop CLC untuk anak-anak SMP di Purbalingga.
Giliran Pelajar SMP
Sejak PFF 2008 berakhir, Bowo dan kawan-kawan mulai menyebarkan proposal ke SMP-SMP di Kabupaten Purbalingga untuk mengadakan pelatihan tentang film gratis. ”Sampai bulan Februari tahun 2009, belum ada satu pun proposal yang dijawab pihak sekolah,” kata Bowo.
Aktivis CLC akhirnya memilih jemput bola. Datang langsung ke sekolah-sekolah untuk mendapat kesimpulan bahwa sebagian besar sekolah itu belum dapat mendukung program film masuk SMP yang disusun CLC. ”Akhirnya kita cari jalan keluar lainnya, asalkan siswa SMP-nya mau dan orang tua mereka mengizinkan, itu saja sudah cukup,” kata Bowo.
Begitulah, sejak bulan Februari, para aktivis CLC bergerilya, mendatangi titik-titik keberangkatan dan kepulangan siswa-siswa SMP di Purbalingga, sembari membawa selebaran tentang film sekalian menawarkan program workshop gratis bagi pelajar yang mau. ”Terjaring 12 siswa SMP, dan menjelang workshop dimulai jumlahnya tinggal 10 anak saja,” Bowo memaparkan.
Sepuluh anak itu dibagi dalam empat kelompok. Sepanjang bulan April 2009, mereka mulai diajari materi-materi dasar tentang membaut film, diperkenalkan pada alat-alat produksi film sederhana, dan dibimbing untuk membuat film dokumenter per kelompok.
Hasilnya, dalam PFF 2009 diputar empat film dokumenter karya para pelajar SMP itu. Pada umumnya, mereka mencoba berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di kotanya, yang menjadi persoalan dalam masyarakat. Mulai tema persaingan becak dengan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi, tentang persaingan pasar tradisional dengan gerai-gerai retail, demam game playstation di kalangan pelajar, sampai ke soal grafiti di ruang-ruang publik.
”Membimbing pelajar SMP ternyata lebih sulit daripada pelajar SMA,” ujar Bowo. Tapi, ia berharap pada penyelenggaraan PFF 2010, karya-karya pelajar SMP jumlahnya akan lebih banyak dan kualitasnya lebih meningkat.
Kalau sudah berbicara soal memperluas komunitas film di Purbalingga, Bowo seperti lupa bahwa dua baliho PFF 2009 diturunkan begitu saja oleh Satpol PP Pemkab Purbalingga. Tapi barangkali di situ kekuatannya. Meski selalu tidak lupa mempertanyakan konsep ”keadilan” perlakuan Pemkab atas kegiatan-kegiatannya di bidang film, proses tersebut tidak membuat mereka ”mutung”, apalagi frustasi.
Hingga kini, CLC mengklaim sudah menginisiasi dan membawahkan 20 komunitas film di Purbalingga. Untuk tingkat Banyumas Besar, bahkan Jawa Tengah, jumlah itu ditengarai paling banyak. Tidak mengherankan jika dalam prakarsa Jaringan Kerja Film Banyumas yang meliputi empat kabupaten, Bowo bersama rekan-rekannya di CLC memegang peranan penting.
Tanpa ”bantuan” pemerintah dan tanpa dukungan dana sponsor dari pihak swasta, CLC terus memperluas jaringan kerjanya. Dalam konstelasi penggiat film independen dan masyarakat umum yang ”melek” informasi tentang film di Indonesia, nama Bowo dan CLC identik mewakili skema perfilman di Purbalingga, bahkan Banyumas Besar.
Tanpa rajukan dan tuntutan, mereka membawa Purbalingga dalam pergaulan nasional dan internasional melalui film. Membuat stereotipe produksi film yang eksklusif, mahal, dan tidak terjangkau warga masyarakat ”biasa” jadi bahan percakapan dan perencanaan sehari-hari, dari kalangan dewasa hingga pelajar SMP di Purbalingga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar