GATRA No. 03 TAHUN XIV / 29 November-5 Desember 2007
Gerilya para sineas muda di eks Karesidenan Banyumas. Mempertahankan cirri khas kampung halaman, malah ditolak masuk gedung bioskop.
“Yung, tukokna boncenganlah, bokonge inyong nggrinjel nek saben dina numpak neng wangkring (Bu, belikan boncengan, bokongku sakit bila tiap hari naik di atas palang sepeda),” demikian penggalan dialog film Boncengan karya Riza Saputri dari Purbalingga, Jawa Tengah.
Film berdurasi enam menit karya gadis 16 tahun itu diputar dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007 yang berlangsung pada 17-24 November 2007 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mengisahkan problem kemiskinan sebuah keluarga di Purbalingga yang hanya punya satu sepeda tanpa boncengan. Dengan dialek Jawa khas Banyumas, film ini mampu menggelitik telinga penonton untuk memberikan senyum simpul sebagai bentuk apresiasi.
Sebagai pemula di komunitas film, Riza mengaku shock sekaligus bangga filmnya lolos seleksi untuk dapat berkompetisi dengan sineas lain. Siswi kelas III SMA Negeri 2 Purbalingga ini megnatakan, hasil kreasinya tak mungkin sampai Jakarta tanpa bantuan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).
Menurut Riza, film Boncengan adalah karya hasil workshop yang diadakan CLC (Cinema Lovers Community), yang merupakan anggota JKFB. Dalam pelatihan itu, ia beserta timnya diminta membuat film yang difasilitasi panitia. Usai syuting, hasilnya diserahkan begitu saja.
Beberapa minggu kemudian, Riza dihubungi panitia yang menginformasikan bahwa filmnya telah diedit dan akan diikutkan dalam kompetisi pada Festival Film Pendek di Jakarta. Karena keterbatasan waktu dan kesibukan belajar, Riza hanya sempat mengirim identitas timnya lewat e-mail. “Di luar syuting, semua yang mengerjakan JKFB,” ujarnya.
Humas Eksternal JKFB, Bowo Leksono, mengatakan bahwa JKFB adalah asosiasi komunitas film di Banyumas yang terbentuk pada 21 Oktober 2007. tujuannya, menjadi lembaga fasilitator dan mediator dalam mengembangkan dan memajukan kegiatan perfilman di eks Karesidenan Banymas. Juga mendidik masyarakat agar tak tenggelam dalam arus globalisasi tanpa seleksi.
Meski secara resmi JKFB baru berdiri dua bulan, cikal bakalnya dirintis sejak 2005, dengan adanya forum komunikasi jaringan komunitas film Banyumas. Terdiri dari Arisan Film Forum (AFF) Purwokerto, Komunitas Sangkanparan Cilacap, dan CLC Purbalingga.
Sayang, setelah berbentuk asosiasi JKFB, AFF memutuskan belum ikut bergabung, dengan alas an kegiatannya belum efektif. Namun bukan berarti mereka memutuskan komunikasi. “Jika ada program pembuatan atau pemutaran, mereka tetap terlibat. Hanya saja, dalam forum formal, mereka absent,” ungkap Bowo.
Menurut dia, berjejaring diperlukan oleh komunitas film untuk menyempurnakan keterbatasannya, baik dalam bidang informasi, fasilitas, keterampilan, maupun pendanaan. Selain itu, kata Bowo, asosiasi sangat diperlukan untuk membentuk aturan yang lebih mengikat dan menumbuhkan rasa tanggung jawab anggota dalam melaksanakan tugas.
Misalnya, apabila ada pemutaran, pembuatan film, atau kegiatan apa pun yang berkaitan dengan film, baik dari dalam Banyumas maupun dari luar, akan ditawarkan siapa yang mengerjakan proyek tersebut secara bergantian. Dengan demikian, masing-masing komunitas diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
JKFB juga melakukan pelatihan dan workshop perfilman di sekolah-sekolah. Hal ini bertujuan untuk regenerasi. “Berhasil tidaknya organisasi dilihat dari kemampuannya melahirkan calon penerus. Makanya, kami perlu mengadakan ekspansi,” ujar Bowo.
Selain mencari calon penerus melalui pelatihan dan workshop, JKFB juga berharap mendidik dan mengubah paragidma masyarakat yang lambat laun mulai tenggelam pada arus industrialisasi perfilman yang stagnan. Selama ini, mereka merasa terus dicekoki sinetron dan film yang melulu tentang percintaan dan menunjukkan kehidupan glamour sehingga menjadi konsumtif. Padahal, masih banyak film dengan tema cinta dan kemanusiaan lain yang lebih riil dan bisa diambil hikmahnya.
Mengembangkan dan memajukan kegiatan film tak semudah yang dibayangkan. Banyak hambatan dan kendala yang dihadapi. Misalnya, tak ada dukungan akses dari pemda setempat apabila mereka akan membuat atau memutar film. “Jangankan mendapat dana, mengurus izin syuting atau pinjam tempat untuk memutar film saja birokrasinya berbelit,” kata Bowo.
Pernah pula suatu kali tiba-tiba turun surat pelarangan untuk memutar film di gedung yang berlokasi di areal pendopo Kabupaten Purbalingga. Padahal, dua bulan sebelumnya, izin tersebut sudah diberikan. Alasannya mengada-ada; gedung hanya bisa digunakan untuk menerima tamu dari luar dan penyimpanan data.
“Alasan itu tak masuk akal. Yang sebenarnya, pemda hanya tak mau gedung pendoponya dikunjungi masyarakat awam yang notabene tukang becak dan pedagang kecil,” tutur Bowo. Berhubung waktu mepet dan undangan telah tersebar, Bowo nekat datang untuk memutar film.
Karena tetap dilarang, mereka pun melakukan demo, hingga akhirnya dibubarkan satuan polisi pamong praja alias satpol PP. “Saya dan beberapa teman ditarik dan berdebat dengan komandan satpol PP,” ujar Bowo. Kejadian itu sempat direkamnya dan diedit menjadi sebuah film dokumenter dengan judul Bioskop Kita Lagi Sedih.
Akhirnya film itu menjadi film terbaik dalam Festival Film Dokumenter 2006 di Yogyakarta. Selain itu, masih ada beberapa film mereka yang menang dalam festival bertaraf nasional. Misalnya, Senyum Lasminah yang menjadi film terbaik II pada Festival Video Edukasi 2007 (kategori budi pekerti) dan Adu Jago sebagai film dokumenter terbaik serta Pasukan Kucing Garong yang menjadi film fiksi terbaik dalam Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007.
Bahkan film Peronika dan Metu Getih ditampilkan pada Festival Film Eropa 2007. selain Boncengan, dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007 ada tiga film Banyumas lainnya yang lolos kompetisi, yaitu Lengger Santi (Purbalingga), Di Ujung Kehancuran (Cilacap), dan Anarchist Cookbook for Beginner (Purwokerto).
Menurut Bowo, tujuan keikutsertaan insane film Purbalingga di pentas film bertaraf nasional adalah mengusung misi budaya. Film-film yang sarat nuansa local Banyumasan ini minimal diharapkan bisa mengenalkan keunikan budaya mereka pada masyarakat luas.
Sejauh ini, banyak karya film independen tak bisa dinikmati masyarakat karena keterbatasan ruang media pemutarannya. Padahal, tema cerita yang disuguhkan lebih kreatif dan tak kalah menarik dari film industri. Dan, melalui jaringan, kemungkinan karya mereka dapat diapresiasi masyarakat akan lebih terbuka lebar.
Untuk mendorong kedinamisan dan memenuhi kebutuhan komunitas yang terus berkembang serta mempermudah kerja jaringan, asosiasi yang telah berbentuk itu akan didaftarkan sebagai badan hukum berbentuk yayasan. Tak ada kekhawatiran di masa depan terjadi konflik di antara mereka jika asosiasi tersebut berkembang. “Sejak awal sudah banyak konflik yang kami alami, dan itu tidak menyurutkan langkah untuk memajukan film Banyumas,” kata Bowo pula.
Untuk menutup biaya pembuatan film dan menjalankan organisasi, JKFB masih mengandalkan kocek para anggotanya. Selain itu, juga mengompilasikan film dan mendistribusikannya secara independen. Munculnya komunitas film di daerah ini penting untuk mengembangkan perfilman nasional.
Mira Lesman mengatakan, selam ini aktivitas perfilman hanya terpusat di Jakarta. Akibatnya, banyak sineas muda berbakat dari daerah yang terabaikan. Padahal, kemungkinan besar kemampuan mereka lebih unik.
Jaringan komunitas itulah yang diharapkan dapat menampungnya. “Kehadiran mereka sangat penting untuk memperkaya dan memberi warna pada dunia perfilman Indonesia,” Mira menegaskan. ELMY DIAH LARASATI
Gerilya para sineas muda di eks Karesidenan Banyumas. Mempertahankan cirri khas kampung halaman, malah ditolak masuk gedung bioskop.
“Yung, tukokna boncenganlah, bokonge inyong nggrinjel nek saben dina numpak neng wangkring (Bu, belikan boncengan, bokongku sakit bila tiap hari naik di atas palang sepeda),” demikian penggalan dialog film Boncengan karya Riza Saputri dari Purbalingga, Jawa Tengah.
Film berdurasi enam menit karya gadis 16 tahun itu diputar dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007 yang berlangsung pada 17-24 November 2007 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mengisahkan problem kemiskinan sebuah keluarga di Purbalingga yang hanya punya satu sepeda tanpa boncengan. Dengan dialek Jawa khas Banyumas, film ini mampu menggelitik telinga penonton untuk memberikan senyum simpul sebagai bentuk apresiasi.
Sebagai pemula di komunitas film, Riza mengaku shock sekaligus bangga filmnya lolos seleksi untuk dapat berkompetisi dengan sineas lain. Siswi kelas III SMA Negeri 2 Purbalingga ini megnatakan, hasil kreasinya tak mungkin sampai Jakarta tanpa bantuan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).
Menurut Riza, film Boncengan adalah karya hasil workshop yang diadakan CLC (Cinema Lovers Community), yang merupakan anggota JKFB. Dalam pelatihan itu, ia beserta timnya diminta membuat film yang difasilitasi panitia. Usai syuting, hasilnya diserahkan begitu saja.
Beberapa minggu kemudian, Riza dihubungi panitia yang menginformasikan bahwa filmnya telah diedit dan akan diikutkan dalam kompetisi pada Festival Film Pendek di Jakarta. Karena keterbatasan waktu dan kesibukan belajar, Riza hanya sempat mengirim identitas timnya lewat e-mail. “Di luar syuting, semua yang mengerjakan JKFB,” ujarnya.
Humas Eksternal JKFB, Bowo Leksono, mengatakan bahwa JKFB adalah asosiasi komunitas film di Banyumas yang terbentuk pada 21 Oktober 2007. tujuannya, menjadi lembaga fasilitator dan mediator dalam mengembangkan dan memajukan kegiatan perfilman di eks Karesidenan Banymas. Juga mendidik masyarakat agar tak tenggelam dalam arus globalisasi tanpa seleksi.
Meski secara resmi JKFB baru berdiri dua bulan, cikal bakalnya dirintis sejak 2005, dengan adanya forum komunikasi jaringan komunitas film Banyumas. Terdiri dari Arisan Film Forum (AFF) Purwokerto, Komunitas Sangkanparan Cilacap, dan CLC Purbalingga.
Sayang, setelah berbentuk asosiasi JKFB, AFF memutuskan belum ikut bergabung, dengan alas an kegiatannya belum efektif. Namun bukan berarti mereka memutuskan komunikasi. “Jika ada program pembuatan atau pemutaran, mereka tetap terlibat. Hanya saja, dalam forum formal, mereka absent,” ungkap Bowo.
Menurut dia, berjejaring diperlukan oleh komunitas film untuk menyempurnakan keterbatasannya, baik dalam bidang informasi, fasilitas, keterampilan, maupun pendanaan. Selain itu, kata Bowo, asosiasi sangat diperlukan untuk membentuk aturan yang lebih mengikat dan menumbuhkan rasa tanggung jawab anggota dalam melaksanakan tugas.
Misalnya, apabila ada pemutaran, pembuatan film, atau kegiatan apa pun yang berkaitan dengan film, baik dari dalam Banyumas maupun dari luar, akan ditawarkan siapa yang mengerjakan proyek tersebut secara bergantian. Dengan demikian, masing-masing komunitas diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
JKFB juga melakukan pelatihan dan workshop perfilman di sekolah-sekolah. Hal ini bertujuan untuk regenerasi. “Berhasil tidaknya organisasi dilihat dari kemampuannya melahirkan calon penerus. Makanya, kami perlu mengadakan ekspansi,” ujar Bowo.
Selain mencari calon penerus melalui pelatihan dan workshop, JKFB juga berharap mendidik dan mengubah paragidma masyarakat yang lambat laun mulai tenggelam pada arus industrialisasi perfilman yang stagnan. Selama ini, mereka merasa terus dicekoki sinetron dan film yang melulu tentang percintaan dan menunjukkan kehidupan glamour sehingga menjadi konsumtif. Padahal, masih banyak film dengan tema cinta dan kemanusiaan lain yang lebih riil dan bisa diambil hikmahnya.
Mengembangkan dan memajukan kegiatan film tak semudah yang dibayangkan. Banyak hambatan dan kendala yang dihadapi. Misalnya, tak ada dukungan akses dari pemda setempat apabila mereka akan membuat atau memutar film. “Jangankan mendapat dana, mengurus izin syuting atau pinjam tempat untuk memutar film saja birokrasinya berbelit,” kata Bowo.
Pernah pula suatu kali tiba-tiba turun surat pelarangan untuk memutar film di gedung yang berlokasi di areal pendopo Kabupaten Purbalingga. Padahal, dua bulan sebelumnya, izin tersebut sudah diberikan. Alasannya mengada-ada; gedung hanya bisa digunakan untuk menerima tamu dari luar dan penyimpanan data.
“Alasan itu tak masuk akal. Yang sebenarnya, pemda hanya tak mau gedung pendoponya dikunjungi masyarakat awam yang notabene tukang becak dan pedagang kecil,” tutur Bowo. Berhubung waktu mepet dan undangan telah tersebar, Bowo nekat datang untuk memutar film.
Karena tetap dilarang, mereka pun melakukan demo, hingga akhirnya dibubarkan satuan polisi pamong praja alias satpol PP. “Saya dan beberapa teman ditarik dan berdebat dengan komandan satpol PP,” ujar Bowo. Kejadian itu sempat direkamnya dan diedit menjadi sebuah film dokumenter dengan judul Bioskop Kita Lagi Sedih.
Akhirnya film itu menjadi film terbaik dalam Festival Film Dokumenter 2006 di Yogyakarta. Selain itu, masih ada beberapa film mereka yang menang dalam festival bertaraf nasional. Misalnya, Senyum Lasminah yang menjadi film terbaik II pada Festival Video Edukasi 2007 (kategori budi pekerti) dan Adu Jago sebagai film dokumenter terbaik serta Pasukan Kucing Garong yang menjadi film fiksi terbaik dalam Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007.
Bahkan film Peronika dan Metu Getih ditampilkan pada Festival Film Eropa 2007. selain Boncengan, dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007 ada tiga film Banyumas lainnya yang lolos kompetisi, yaitu Lengger Santi (Purbalingga), Di Ujung Kehancuran (Cilacap), dan Anarchist Cookbook for Beginner (Purwokerto).
Menurut Bowo, tujuan keikutsertaan insane film Purbalingga di pentas film bertaraf nasional adalah mengusung misi budaya. Film-film yang sarat nuansa local Banyumasan ini minimal diharapkan bisa mengenalkan keunikan budaya mereka pada masyarakat luas.
Sejauh ini, banyak karya film independen tak bisa dinikmati masyarakat karena keterbatasan ruang media pemutarannya. Padahal, tema cerita yang disuguhkan lebih kreatif dan tak kalah menarik dari film industri. Dan, melalui jaringan, kemungkinan karya mereka dapat diapresiasi masyarakat akan lebih terbuka lebar.
Untuk mendorong kedinamisan dan memenuhi kebutuhan komunitas yang terus berkembang serta mempermudah kerja jaringan, asosiasi yang telah berbentuk itu akan didaftarkan sebagai badan hukum berbentuk yayasan. Tak ada kekhawatiran di masa depan terjadi konflik di antara mereka jika asosiasi tersebut berkembang. “Sejak awal sudah banyak konflik yang kami alami, dan itu tidak menyurutkan langkah untuk memajukan film Banyumas,” kata Bowo pula.
Untuk menutup biaya pembuatan film dan menjalankan organisasi, JKFB masih mengandalkan kocek para anggotanya. Selain itu, juga mengompilasikan film dan mendistribusikannya secara independen. Munculnya komunitas film di daerah ini penting untuk mengembangkan perfilman nasional.
Mira Lesman mengatakan, selam ini aktivitas perfilman hanya terpusat di Jakarta. Akibatnya, banyak sineas muda berbakat dari daerah yang terabaikan. Padahal, kemungkinan besar kemampuan mereka lebih unik.
Jaringan komunitas itulah yang diharapkan dapat menampungnya. “Kehadiran mereka sangat penting untuk memperkaya dan memberi warna pada dunia perfilman Indonesia,” Mira menegaskan. ELMY DIAH LARASATI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar