Selasa, 19 Oktober 2010

Memaknai Seniman Besar


Siapa Jaka Cahyana? Mungkin bukan siapa-siapa. Tapi dalam kenangan sebagian masyarakat Cilacap, Jaka adalah sosok yang sangat berarti. Dia dikenal sebagai seniman sederhana yang serba bisa; menyanyi, bermain gitar, dan bermain drama.

Sosok almarhum yang dikenal dekat dengan anak-anak inilah yang kemudian mengusik rasa ketertarikan Dewi Kusumawati menangkapnya lewat kamera yang kemudian lolos kurasi One Shot Project. Proyek satu shot yang digagas lebih dari satu tahun ini untuk memberikan penghargaan terhadap seniman-seniman besar dari berbagai bidang kesenian yang meninggal dunia paska reformasi tahun 1998.

Selain film “Ketika Dia Pergi” karya Dewi Kusumawati dari Cilacap adalah “Karya Suzanna Di Warung Kopi” karya Agni Tirta dari Yogyakarta, “Kali Lonthe” karya Surya Adhi Wibowo dari Yogyakarta, dan “Pamflet Elektronik” karya Gelar Agyano Soemantri dari Jakarta, yang malam itu, Selasa 19 Oktober 2010, diputar di Kongkow Cafe Purwokerto dalam rangkaian roadshow ke sembilan kota Jawa dan Bali.

Menurut Dewi Kusumawati, meskipun konsep film satu shot, ia sempat mengalami kesulitan. “Kemudian saya kembalikan kepada sosok almarhum Pak Jaka sendiri, kesederhanaan. Karena bagi kami, kebesaran seniman Jaka adalah kesederhanaannya itu,” tutur istri pegiat film Cilacap Insan Indah Pribadi saat diskusi usai pemutaran.

Seniman Besar
Kebesaran seorang seniman tidaklah dilihat dari seberapa terkenal dia dimata masyarakat. Tapi seberapa berguna seniman itu bagi masyarakatnya. Karena banyak seniman-seniman lokal pada film-film One Shot ini yang berpengaruh secara personal bagi masyarakatnya. “Seniman besar belum tentu terkenal, dan belum tentu pula seniman terkenal adalah besar di dalam masyarakat tertentu,” ungkap Publisis One Shot Project Bayu Bergas.

Dibuatnya proyek ini menurut pengarah kreatif One Shot Project Ismail Basbeth diilhami dari film pertama yang dibuat di dunia ini dengan pola satu shot. “Kehidupan di dunia ini terjadi sekali bagi setiap manusia dan mahluk hidup. Hidup ini adalah one shot,” tutur pegiat film pendek yang baru menelorkan karya bertajuk “Harry Van Yogya”.

Pemutaran dengan fasilitator Cinema Lovers Community Purbalingga berlangsung bersama lebih dari 30 penonton. Diskusi berjalan cukup ramai namun sayang berada di tempat yang tidak representatif. Suara kendaraan di luar dan benturan acara musik karena ketidakprofesionalan pemilik cafe. Jadwal yang sudah diplot untuk pemutaran film masih dilanggar untuk acara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar