Produksi film di kota kecil Purbalingga sudah mulai merambah pada kegiatan belajar-mengajar SMP dan SMA. Para pengajar yang mengampu mata pelajaran seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, seni musik, multimedia, dan beberapa lainnya menugaskan kepada murid-murid untuk membuat film dan video.
Bahkan beberapa mata pelajaran diantaranya, tugas membuat film ternyata sudah berlangsung beberapa tahun tanpa memperhatikan apakah para pengajar yang memberi tugas itu memahami dan berpengalaman meski hanya sekali dalam proses produksi film.
Di satu sisi, ini fenomena yang menggembirakan. Sisi lain, para guru itu tidak berpikir bahwa sesederhana apapun membuat film atau video perlu tahapan dan proses. Tidak sekedar murid bisa mengoperasikan kamera lalu mengeditnya dengan fasilitas yang memang tersedia di perangkat komputer standar.
Salah satunya adalah murid SMP Negeri 1 Bobotsari, Purbalingga yang mendapat tugas untuk ujian praktik pelajaran Bahasa Inggris. Tidak ada kejelasan film jenis apa yang harus mereka produksi. Beberapa murid SMP itu beberapa hari lalu baru saja memproduksi film fiksi dengan fasilitasi dari Cinema Lovers Community (CLC).
Pegiat CLC Asep Triyatno mengatakan referensi film anak muda sekarang adalah apa yang mereka lihat di televisi yaitu sinetron. “Karena itu, mereka hanya tahu membuat film itu ya membuat film cerita. Padahal ada banyak jenis film yang bisa dipelajari dan menjadi referensi,” ungkapnya.
Penguasaan Teknologi dan Kreativitas Tinggi
Membuat film yang baik tidak sekedar menguasai teknologi, tapi juga membutuhkan kreativitas yang tinggi. Teknologi atau alat yang diperlukan untuk memproduksi film sudah bisa dibilang murah dan mudah dalam mengaksesnya. Hampir semua sekolah sudah memiliki alat-alat itu. Tapi apa jadinya bila murid-murid tidak diberi dasar kreativitas yang kuat untuk membuat film yang baik dan logis?
Putri Intan Sari Dewi, siswi kelas IX SMP Negeri 1 Bobotsari dan beberapa teman satu kelompok yang mendapat tugas membuat film mengakui bahwa membuat film itu tidak gampang. “Banyak tahapan yang harus dikerjakan dan rumit. Tapi kami jadi tahu dan semakin tertarik setelah belajar dengan CLC,” tuturnya.
Putri merasa imajinasi cerita yang dia buat tidak semuanya bisa diwujudkan dalam film karena harus disesuaikan dengan logika bercerita dan logika gambar. “Hal-hal seperti ini yang sebelumnya kami tidak tahu sama sekali. Guru tidak membekali kami apapun, hanya memberi tontonan beberapa film pendek. Teori membuat film pun tidak,” ujar siswi yang suka dengan film “Titanic” ini.
Bagi CLC yang memang konsens memfasilitasi produksi film para pelajar melalui workshop film, tidak ada pihak yang salah dengan fenomena seperti ini. Semua itu bagian dari hasil penanaman virus film pendek yang disebar sejak 2004 silam di Purbalingga. Tinggal bagaimana cara mengarahkan dan membimbing anak muda agar mampu berkata bahwa “membuat film itu gampang, tapi jangan menggampangkan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar