Senin, 21 November 2011

Film Pelajar Purbalingga


Purbalingga adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kota kecil yang terletak di lembah Gunung Slamet ini, tak memiliki satu pun perguruan tinggi. Usai menamatkan SMA, pemuda Purbalingga berangkat ke kota lain macam Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya, Bandung, Jakarta dll untuk melanjutkan kuliah. Usai lulus, tak banyak yang kembali untuk membangun daerahnya.

Tak sedikit yang langsung hijrah ke Ibukota Jakarta. Praktis menyisa pemuda dan remaja yang duduk di bangku SMA dan SMP. Tersebar di kota Purbalingga dan kota-kota kecamatan. Beberapa tahun terakhir, fenomena remaja putus sekolah merebak seiring bertebaran puluhan pabrik hingga pelosok desa sebagai imbas kebijakan mudahnya izin investasi dari pemerintah daerah.

Orang tua lebih memilih anaknya cepat bekerja dibanding tunduk pada program Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun. Tidak hanya soal biaya sekolah yang mahal, tapi juga realita bahwa menamatkan program Wajar pun, ujung-ujungnya susah mencari pekerjaan dan akan terpuruk di pojokan pabrik.

Iklim Berkesenian yang Sepi
Kesenian yang dipandegani anak muda di kota penghasil bulu mata palsu ini, relatif kurang berkembang. Tidak hanya iklim berkesenian yang hampa tapi juga fasilitasi pemerintah daerah yang tiada. Pemda hanya sibuk dengan proyek-proyek kesenian mereka sendiri, tidak pernah menyadari apalagi melibatkan potensi seniman muda.

Sementara tidak terjadi regenerasi dari seniman-seniman pendahulunya. Kesuksesan seniman asli Purbalingga diraih dari pengaruh iklim dan fasilitas di luar kota. Dewan Kesenian Daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah mandul dan makin tak popular. Bisa dibilang, kesenian (baca: modern) di Purbalingga sepi!

Semua daerah, tak terkecuali Purbalingga, terkandung potensi berbagai jenis kesenian. Sebut saja seni rupa, musik, suara, tari, sastra, teater. Pelaku jenis-jenis kesenian itu bukannya tidak ada yang berdomisili di Purbalingga, namun untuk bisa berkembang mereka harus nekat atau karena faktor keberuntungan hijrah ke kota lain yang iklim berkeseniannya lebih menjanjikan.

Kesenian masih dipandang sebelah mata di daerah kelahiran Panglima Besar Jenderal Sudirman ini, karena dari bidang kesenian dianggap tidak menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi kas Pemkab.

Film Pendek: Alternatif Ekspresi Pelajar
Runtuhnya rezim Orde Baru membawa perubahan termasuk kesenian modern. Di kota-kota besar, seiring lahirnya teknologi digital, muncul kelompok-kelompok anak muda yang memanfaatkan teknologi itu bagi kemajuan dunia sinematografi.

Video dan film bukan lagi barang langka yang hanya bisa diakses oleh orang-orang profesional dibidangnya. Iklim kebebasan berekspresi bidang film pendek menjadi pilihan anak muda yang di zaman Orde Baru turut dikekang.

Kemajuan produksi dan distribusi film pendek merangsek hingga kota-kota kecil di wilayah Banyumas Raya. Purwokerto menjadi kota pertama tumbuhnya virus film pendek diawal tahun 2000-an dengan kampus sebagai basisnya sebelum merebak ke kota tetangga macam Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara.

Kampus, sebagaimana yang ada di kota-kota lain di Indonesia, tidak menjamin sebagai basis perkembangan dunia sinematografi. Keberadaan film pendek di Purwokerto mulai melemah sekitar tahun 2005 hingga hilang sama sekali sampai saat ini.

Denyut sinematografi kota Purbalingga dimulai tahun 2004, diawali produksi beberapa film pendek. Komunitas film pun turut berkembang dan rajin memproduksi film pendek. Film-film itu kemudian diputar dan diapresiasi oleh pelajar SMA dan SMP. Hingga dua tahun kemudian (2006), lahirlah film-film pendek yang diproduksi pelajar Purbalingga.

Ditahun yang sama, 2006, terbentuk Cinema Lovers Community (CLC), komunitas para pecinta film yang merupakan gabungan dari beberapa komunitas berlatar video manten amatir di Purbalingga. CLC bertugas memfasilitasi kebutuhan komunitas-komunitas film di Purbalingga.

Menyadari anak muda Purbalingga berbasis pelajar SMP dan SMA, CLC mencoba menawarkan sinematografi agar dipelajari para pelajar secara informal. Sayang, saat itu, tak satu pun sekolah yang merespon dengan baik. Alasan tidak diterima karena kegiatan itu tidak terkait dengan mata pelajaran dan perkembangan mental siswa.

Semakin banyaknya pelajar yang berkeingingan belajar sinematografi, sisi lain tidak adanya dukungan dari pihak sekolah. Gerilya kemudian menjadi jalan yang ditempuh CLC. Dari tahun ke tahun, film pelajar Purbalingga terus berkembang: produksi, distribusi, dan prestasi. Sampai kemudian, di tahun 2009, film mulai bisa dipelajari secara informal di sekolah-sekolah di Purbalingga dengan masuk ke program ekstrakulikuler (ekskul) sekolah.

Tercatat saat ini, sekolah di Purbalingga yang pelajarnya aktif berkelompok belajar film, adalah: SMA Negeri Bobotsari, SMA Negeri 2, SMA Muhammadiyah 1, SMK Negeri 1, SMA Negeri Rembang, SMA Negeri Kutasari, SMA Negeri Bukateja, dan SMP Negeri 4 Satu Atap Karangmoncol.

Empat sekolah yang disebutkan terakhir adalah sekolah yang guru dan kepala sekolahnya sadar bahwa sinematografi sangat terkait dengan perkembangan kecerdasan anak didik. Hampir semua jenis kesenian dipelajari di sini.

Semua ini tak lepas dari kawalan CLC yang terus-menerus menjalankan program. Ada 5 (lima) program utama dari CLC, yaitu workshop film, produksi film, pemutaran film, database film, dan festival film. Festival Film Purbalingga (FFP) yang ada sejak 2007 menjadi pemantik sekaligus tolak ukur bagi karya-karya film pelajar di wilayah Banyumas Raya sebelum film-film itu beradu di festival lain.


Bowo Leksono
Pegiat film, tinggal di Purbalingga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar