Minggu, 06 Januari 2013

Secarik Kisah Panyatan



Panyatan adalah salah satu grumbul yang merupakan wilayah RT 04 RW VI Desa Gunungwuled, Kecamatan Rembang, Purbalingga. Sebenarnya Panyatan merupakan bagian dari Grumbul Bawahan, karena letaknya yang terpencil, menjadi wilayah rukun tetangga sendiri.

Panyatan menjadi salah satu daerah di Kabupaten Purbalingga yang hampir terisolir. Akses jalan, listrik, air bersih, kesehatan, dan pendidikan merupakan persoalan menahun yang dialami sekitar 40 kepala keluarga di Grumbul Panyatan. Bayangkan, ada lima wakil rakyat (anggota DPRD Kabupaten Purbalingga) di wilayah Kecamatan Rembang namun tak mampu merubah wajah Panyatan dari kekurangan akses.

Menurut Ketua RT 04 RW VI Desa Gunungwuled Kunarto (70 tahun) tidak ada pemuda Panyatan yang betah dan mampu hidup di tanah kelahirannya. “Anak-anak muda di sini, selepas lulus sekolah dasar pasti hijrah ke kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta sebagai buruh dan pedagang,” ujarnya.

Kunarto menambahkan, sangat jarang anak-anak yang menamatkan jenjang sekolah menengah. “Rata-rata pekarjaan warga petani kopi dan kapulaga dengan pendapatan yang tak seberapa. Jelas tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anak,” ungkap lelaki yang tanahnya juga ditanami pohon kopi ini.

Grumbul terpencil ini dikelilingi hutan damar, warganya menanggung beban hidup yang berat menyebabkan kurangnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Bukan suatu kesalahan tentunya, karena beban hidup sudah teramat berat sementara anak-anak pun sadar akan beban orang tuanya bahwa sekolah adalah sesuatu yang mahal di negeri ini.

Minim Akses Pendidikan
Pukul 06.00, Satini dan kedua teman satu grumbul, Yani dan Windi, sudah berdandan rapi siap berangkat sekolah. Setidaknya harus bangun pagi satu atau bahkan dua jam sebelum berangkat sekolah. Terlebih kebutuhan air bersih tidak memadai.

Warga Panyatan harus menggunakan selang ratusan meter dari sumber mata air di bagian atas atau merelakan berjalan kaki menelusuri hutan untuk memanfaatkan sungai yang airnya masih jernih untuk kebutuhan mandi, mencuci, dan buang air besar.

Satini dan kedua temannya masih duduk di bangku kelas VI SD Negeri 2 Gunungwuled. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam berjalan kaki untuk sampai ke sekolah. Mereka melewati jalan terjal dari batu-batu kali sejauh dua kilometer.

Jelas tidak ada angkutan umum, karena kendaraan roda empat tak dapat masuk ke grumbul itu. Hanya beberapa warga saja yang memiliki sepeda motor meski butuh cukup perjuangan untuk sampai ke kampungnya, selebihnya, warga harus berjalan kaki naik turun jalan terjal.

Satini dan belasan anak-anak usia sekolah dasar di Grumbul Panyatan tak mempunyai harapan banyak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak hanya sekolah yang mahal, namun letak sekolah yang juga sangat jauh dari rumah. Sementara untuk belajar dengan penerangan yang sangat minim karena tidak semua rumah di Panyatan mengakses kebutuhan penerangan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).

“Setelah lulus SD, saya ingin melanjutkan sekolah tapi sepertinya tidak mungkin. Adik saya ada tiga masih kecil-kecil, untuk makan sehari-hari saja susah,” ujar Satini, anak kedua dari lima bersaudara ini.

Berbeda dengan ayahnya, Ratim (43 tahun), yang menginginkan Satini dan anak-anaknya sekolah tinggi. “Harapan semua orang tua, anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah karena itu untuk kepentingan mereka nantinya. Orang tua hanya bisa berusaha mencari biaya,” tutur lelaki yang bekerja sebagai buruh pengangkut kayu.

Ratini dan belasan anak Panyatan seusianya, mempunyai cita-cita seperti halnya anak-anak lain di Indonesia. Dengan kegigihan sama namun dihadapkan ketersediaan akses yang jauh berbeda, tentu akan melahirkan kesempatan hasil yang berbeda pula.

Oleh: Rizky Pangestu, Cias Susi Astiti, dan Randy Saefudin
Pelajar SMA Negeri 1 Rembang Purbalingga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar