Sepulang menjual gula merah, Suwitno (41) menghampiri Suwini (39), istrinya, saat sedang memasak mi instan di dapur untuk sarapan anak-anak mereka. Witno duduk lalu mengeluarkan uang Rp 60 ribu dari sakunya dan diberikan pada Wini.
Pagi itu, seperti biasa, tidak banyak gula merah (jawa) yang mereka hasilkan dari 21 pohon kelapa yang disewa untuk dideres. Harga gula merah seperti tidak pernah berpihak pada keluarga para penderes (pengambil air nira).
“Ujarku rega gula ajeg bae kawit gemiyen ya? Padahal rega sembako ya mundak terus. (Saya kira harga gula merah tidak pernah naik sejak dulu ya? Padahal harga sembako naik terus),” tutur Wini. “Ya ngkana-ngkanane mestine ana sing ngatur. Dewek si gari nrima tok. (Ya disana mestinya ada yang mengatur. Kita tinggal nerima saja),” sela Witno.
Witno dan keluarga tinggal di RT 10 RW V Desa Candiwulan, Kecamatan Kutasari, Purbalingga. Mereka dikaruniai tiga anak, Elma Patiti (18) yang hanya sampai lulus SMP dan saat ini membantu orang lain berdagang di pasar, Julita Purwaningsih yang duduk di kelas VI SD Candiwulan, dan Khayan Qibatun Aizi yang masih berusia tiga tahun.
Selain sebagai buruh tani, mayoritas profesi warga di wilayah Kecamatan Kutasari adalah penderes. Jauh dari cukup pendapatan mereka dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Untuk itu, seorang istri harus mampu membantu suami mencari tambahan pendapatan.
Seperti yang dilakukan Wini dan kebanyakan perempuan di Kutasari bahkan di wilayah Purbalingga lain, yaitu dengan cara mengidep (membuat bulu mata palsu). Satu bulu mata palsu yang Wini rangkai diharga Rp 500. Sebulan ia hanya mampu memperoleh upah sekitar Rp 150 ribu.
Tidak ada waktu luang bagi Wini sebagai seorang ibu rumah tangga. Disamping sebagai pengidep, otomatis ia juga pengidel, yaitu istri yang membantu suami seorang penderes. Pengidel bertugas memasak nira hingga menjadi gula merah siap jual.
Sebelum Witno berangkat menderes pagi hari, Wini menyiapkan sarapan dengan nasi sisa semalam. “Beras Raskin ya urung teka-teka. Apa anu agi nggo mbantu korban banjir ya? (Beras jatah orang miskin ya belum datang. Apa buat membantu korban banjir ya?),” tanya Wini dengan segenap ketakpahamannya.
Oleh:
Achmad Ulfi dan Lutfi Utami, pelajar SMA Kutasari Purbalingga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar