Minggu, 01 Agustus 2010

Membaca Peluang Bisnis Rumah Produksi dan Televisi Lokal di Banyumas Raya


Oleh: *Bowo Leksono

Di akhir tahun 80-an tepatnya sejak berdirinya televisi swasta pertama di Indonesia yaitu Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada tahun 1989, bisnis industri televisi terlihat sebagai bisnis yang selalu moncer.

Bila sebelumnya kita hanya mampu menikmati satu channel televisi milik pemerintah, yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI), kini belasan stasiun televisi nasional yang menawarkan ragam acara nan serupa, hadir di rumah kita.

Bahkan, imbas dari diterapkannya sistem otonomi daerah, tumbuh dan berkembanglah stasiun televisi lokal yang menembus angka lebih dari 60 stasiun televisi lokal dan seringkali jauh lebih menarik dibanding isi tayangan tv-tv nasional. Konten kelokalan menjadi nilai tersendiri bagi pemirsanya.

Kondisi dunia penyiaran yang masih terus dimonopoli stasiun-stasiun televisi di Jakarta juga turut mendorong berdirinya stasiun-stasiun televisi lokal. Pengaruh besar terjadi di luar Jawa yang jauh dari sistem monopoli namun paling merasakan akibat dari sistem tesebut.

Bagaimana dengan Banyumas dan sekitarnya (Banyumas Raya)? Wilayah yang berada di pulau Jawa dengan keragaman budaya yang khas ini belum memiliki sistem penyiaran (baca: televisi lokal) yang mampu menjadi media eksistensi budaya lokal.

TV Lokal dan Sumber Dayanya
Kenyataannya, budaya menonton masih menjadi milik bangsa Indonesia sekarang ini. Mengapa kemudian, di Banyumas Raya ini, pihak-pihak yang semestinya mempunyai tanggung jawab untuk itu tidak bersegera membaca dan membangun peluang yang ada?

Pada satu artikel di surat kabar memberitakan, para anggota DPRD Kabupaten Banyumas menolak pembangunan media pemerintah (stasiun televisi dan radio lokal) dengan alasan pemborosan anggaran. Ditambah penilaian bahwa kemampuan SDM yang belum memadai.

Kemudian, para wakil rakyat itu mengusulkan menjalin hubungan kerja sama kontrak dengan media elektronik (televisi, radio) maupun cetak (surat kabar) yang selama ini menjadi informasi warga Banyumas.

Membangun dan mengembangkan stasiun televisi lokal sebagai media edukasi, informasi, dan hiburan, seharusnya tidak sekedar melihatnya dari sisi fisik bahwa media itu dibangun dengan biaya yang sangat mahal.

Menyelamatkan budaya dan generasi memang butuh biaya mahal. Namun, akan lebih mahal mana, bila yang terjadi kemudian budaya yang semakin tenggelam dan generasi yang tanpa arah?

Penilaian bahwa belum tersedianya kemampuan SDM karena pemerintah daerah sendiri tidak proaktif dan tidak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya. Selama ini, masyarakat sendiri dengan kesadaran sendiri mengasah kemampuan hingga menjadi SDM yang tangguh.

Di Kabupaten Banyumas sendiri, sudah setahun silam, dan saat ini memasuki tahun kedua, berdiri jurusan broadcast (penyiaran) tepatnya di SMKN 3 Banyumas (SMKI). Jurusan ini diharapkan mampu melahirkan tenaga-tenaga penyiaran yang handal dan mampu mengembangkan dunia pertelevisian di wilayah sendiri.

Artinya, dalam mempersiapkan SDM lewat lembaga pendidikan (sekolah) sudah seharusnya difasilitasi lapangan kerjanya. Jangan lagi-lagi dibiarkan rakyat yang liar mencari sendiri. Sadarkah pemerintah daerah bahwa sebenarnya banyak SDM lokal di bidang ini yang sukses dan eksis di lain daerah?

Ingatkah kita akan strategi Presiden Soeharto memanggil Habibie yang berdomisili di Jerman saat itu untuk pulang ke tanah air dan mengembangkan teknologi pesawat di Indonesia? Meskipun kemudian gagal karena terjebak karier politik.

Konten Lokal
Membaca tema pada seminar ini "Peluang Bisnis PH Lokal dan Potensi Konten Lokal pada Masa Depan Industri TV Indonesia", menyasar pada tiga hal; bisnis rumah produksi (production house/PH) lokal, konten lokal, dan industri televisi.

Rumah produksi yang banyak berdiri di wilayah Banyumas Raya masih bersifat amatir. Rumah-rumah produksi tersebut muncul dari ruang-ruang kreatif anak muda yang belajar secara otodidak dan kemudian banyak menggarap video mantenan. Dengan kondisi yang kembang kempis, kerja-kerja kreatif mereka masih jauh sebagai topangan hidup.

Tidak berkembangnya industri kreatif ini salah satu faktor karena belum adanya industri televisi lokal yang bisa diandalkan. Banyumas TV (BMS TV) masih jauh dari harapan masyarakat, dari segala aspek.

Bagaimanapun, kreativitas anak muda tidak bisa dibendung. Rumah-rumah produksi itu kemudian banyak menghasilkan karya film pendek. Soal konten tidak usah diragukan lagi. Warna lokal begitu kentara. Bahkan berdasarkan data Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, 95 persen dari 85 karya film pendek Purbalingga bernapaskan lokal Banyumasan. Belum lagi puluhan film pendek lain di luar Purbalingga.

Namun, karya-karya film pendek tersebut baru didistribusikan ke berbagai festival film dan ruang-ruang pemutaran di luar Banyumas Raya, banyak diantaranya menyabet penghargaan. Sementara distribusi lokal justru masih sangat terbatas. Masihkah kita mempersoalkan konten dan SDM Banyumas Raya?

*direktur Festival Film Purbalingga
Catatan ini ditulis untuk Seminar Sehari "Peluang Bisnis PH Lokal dan Potensi Konten Lokal pada Masa Depan Industri TV Indonesia". Banyumas, 3 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar