Sabtu, 14 April 2012

Kisah Gestapu di Monolog “Eksekusi”


Ya aku telah membunuh mereka, satu demi satu. Entah berapa banyak aku lupa. Aku tak pernah menghitung berapa banyak nyawa yang meregang karena tebasan kelewangku.

Nukilan prolog lakon “Eksekusi” yang dimainkan secara apik aktor sekaligus sutradara Zoex Zabidi dari DramaLab Semarang, semakin menegaskan bahwa kisah monolog yang disuguhkan berlatar sejarah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau akrab dikenal sebagai peristiwa G 30 S/PKI. Diperkuat sebelumnya, cuplikan visual kejadian saat itu yang dibumbui penggalan kidung Genjer-Genjer terpampang di selembar kain putih.

Pementasan naskah “Eksekusi” gubahan bebas dari cerpen karya Gunawan Budi Susanto ini dalam rangkaian keliling kota di Jawa Tengah. Bekerjasama dengan Komunitas Pedangan, Purbalingga menjadi kota keempat persinggahan yang bertempat di café Pedangan pada Sabtu malam, 14 April 2012.

Pada tampilan sekitar 10 menit awal, sang aktor tampak sedikit terbata bahkan boleh dibilang terengah. Selebihnya, justru seperti mendapat energi yang terus bertambah sehingga beberapa karakter yang dimainkan semakin kuat. “Saya merasa berbeda saat berproses lima tahun silam. Ada yang berkurang dengan stamina saya,” tutur Zoex pada kesempatan diskusi.

Pentas monolog selama 45 menit ini menyuguhkan kisah dari sisi seorang algojo pencabut nyawa orang-orang yang dituduh makar terhadap negara tanpa diadili. Sisi kemanusiaan muncul saat dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa pekerjaannya itu adalah dalam rangka menghidupi keluarga.

Namun, dikala kesadaran itu muncul ia dikhianati oleh orang-orang yang selama ini dianggap sejalan. Ada pengkhianatan dibalik kisah pengkhianatan itu sendiri. Kondisi carut itu seperti terus berlangsung hingga kini, hingga menyisakan sejarah bangsa yang buram.

Teater Purbalingga ‘Tertidur’
Jarang naskah teater berlatar sejarah kelam tahun 1965 dipanggungkan di masa kekinian. Terlebih, di Purbalingga sendiri, jarang peristiwa teater terjadi. Kantong-kantong teater yang ada di sekolah, cepat puas berpentas di kandang sendiri. Bahkan kebanyakan mati suri.

Karena itu, tidak sedikit dari kalangan pegiat teater pelajar sendiri yang menyebut bahwa teater di Purbalingga seperti ‘tidur’. Namun malam itu, setidaknya memberi semangat baru bagi mereka yang hadir. Dan untuk membuktikan bahwa anggapan itu salah, mereka bersepakat pagi harinya, mengikuti workshop gratis yang digelar DramaLab di café Pedangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar