Minggu, 27 Desember 2009
Mengkritisi Kota Perwira
Selama ini kemajuan sebuah kota selalu diidentikan dengan keberhasilan pembangunan secara fisik dan peningkatan pendapatan daerah yang diterima. Namun, di sisi lain pembangunan seperti itu mempunyai dampak dan konsekuensi yang harus diterima warga kota tersebut.
Kondisi itu, coba dipotret Cinema Lovers Community (CLC) dalam meramaikan Hari Jadi Kabupaten Purbalingga yang menginjak usia 179 tahun. Dengan mengumpulkan pegiat kreatif muda, baik dari luar maupun dalam kabupaten, mereka bersepakat menampilkan sisi lain kota perwira dengan cara yang kritis lewat program “Kado buat Kota Tercinta”. Dalam bentuk karya visual dan audiovisual, 9 pengkarya menunjukkan hasil kerja mereka sejak dua bulan ini.
Dalam karya fotografi Sasno, S.Pd, misalnya, digambarkan satu potret permasalahan pendidikan di Purbalingga yang masih terlihat di pelosok kabupaten. “Dalam karya tersebut, saya ingin menampilkan potret buram sekolah yang selama ini sepertinya tidak diperhatikan Pemkab. Semoga ada suatu perubahan yang berarti di sana”.
Disamping karya fotografi, diputar pula beberapa buah film karya pegiat film dari siswa SMP sampai masyarakat umum. Dalam pemutaran tersebut, film “Trima Hidup Apa Adanya” mencoba mengangkat keseharian buruh pabrik wig di Purbalingga. Dalam kisah yang digarap dalam genre dokumenter tersebut, film besutan Bowo Leksono itu mengangkat kisah Trima, yang harus rela digaji di bawah upah minimum kabupaten (UMK). Namuin, dia hidup bahagia.
“Trima menjadi salah satu contoh dari sekitar 50.000 buruh di Purbalingga yang ada saat ini,” ujarnya, saat presentasi film berlangsung. Program officer acara ini, Nanki Nirmanto mengatakan, berbagai tanggapan memang datang dari forum yang dibuka Kamis malam (24/12). Kebanyakan dari penikmat karya yang hadir, menanyakan kenapa sepertinya berlainan dari sisi kemajuan yang selama ini selalu digembar-gemborkan di luar.
“Sebenarnya, kondisi yang seperti ini banyak ditemui di Purbalingga. Namun, sepertinya ketidakberimbangan antara pembangunan yang pesat dan ketimpangannya tidak terlihat,” jelas pemuda asli Purbalingga itu. *Chandra Iswinarno, 26 Desember 2009, Suara Merdeka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar