Sabtu, 24 Desember 2011
Kado Seniman Muda untuk Purbalingga
Pada sebuah kesempatan, di tahun 2010, usai acara Debat Calon Bupati Purbalingga, seorang calon bupati menemui lelaki tua penjual es dawet dan menjanjikan modal berdagang kelak bila terpilih. Kemenangan berpihak pada calon bupati itu.
Setahun lebih, tepat di depan gerbang pendapa kabupaten, si penjual es dawet itupun berucap belum pernah terpenuhi janji calon bupati yang kini berkuasa. Masih teringat jelas dalam pikiran orang tua itu janji bupati yang tak ditepati.
Demikian nukilan adegan film bertajuk “Bupati (tak pernah) Ingkar Janji” yang diputar pada rangkaian program Kado buat Kota Tercinta yang digelar Sabtu, 24 Desember 2011 di gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Purbalingga.
Film berdurasi 45 menit itu menyuguhkan bermacam janji bupati saat berkampanye mulai dari janji kepada buruh, janji pendidikan, janji memperhatikan lingkungan hidup, janji infrastruktur, hingga janji hanya janji. Kemudian janji-janji itu dilengkapi dengan kenyataan yang berbeda.
Forum diskusi usai pemutaran menghadirkan pembicara Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Purbalingga Suharto, S.H. yang mengatakan bahwa film ini mengingatkan kepada eksekutif apa yang pernah diucapkan saat berkampanye. Sementara pembicara lain dosen Ilmu Politik Universitas Soedirman Bowo Sugiarto, SIP, M.Si. menegaskan film dokumenter ini akan mempunyai legitimasi kuat bila ditonton oleh sebanyak-banyaknya orang.
Ragam Seni
Program kali ketiga yang digagas Cinema Lovers Community (CLC) ini tak hanya menampilkan film, namun juga pameran foto, pentas musik, pentas teater, dan sastra dilengkapi diskusi-diskusi menarik.
Program untuk kali ketiga sejak 2009 ini berupa ekspresi dan apresiasi kreativitas seni anak muda Purbalingga sebagai media kritik terhadap kebijakan Pemerintah Kabupaten Purbalingga.
Pada diskusi foto mengungkap para penggemar fotografi di Purbalingga, baik personal maupun komunitas, masih sebatas pemanfaatan teknologi dengan menjadikan obyek ‘keindahan dan kecantikan’.
Pada diskusi sastra, pembicara dari Pondok Pesantren Minhajut Tholabah Purbalingga Basyir Fadlullah mengatakan bahwa sastra berupa karya tulisan lebih tajam dari apapun dalam mempengaruhi pikiran dan hati.
Pada kesempatan itu diluncurkan pula Kumpulan Cerita ‘Pamong Praja’ dari Kelas Menulis Purbalingga. Menurut peminat sastra Teguh Trianton kumpulan cerita itu cukup mewakili kondisi riil Purbalingga kontemporer. “Kita diajak menghitung ulang makna pembangunan yang selama ini tampil menor dari luar, tapi compang-camping di dalam,” ungkapnya.
Penampilan band Mahatma dan Jalurevakuasi dengan lirik syarat kritik cerdas melengkapi sesi sastra dan musik pada program dalam dalam rangka turut menyambut Hari Jadi Purbalingga yang ke-181 ini.
Sebelum pemutaran dan diskusi film, dua kelompok teater yaitu Teater Papringan SMA Negeri Kutasari Purbalingga dan Teater Brankas SMA Negeri 2 Purbalingga turut menyumbang Kado buat Kota Tercinta.
Manager Program CLC Nanki Nirmanto mengatakan selama ini, seni modern yang digawangi anak muda Purbalingga tidak berkembang dengan baik. “Selain ketiadaan fasilitas dari pemerintah daerah, para pekerja seni cenderung bekerja secara sendiri-sendiri. Banyak diantaranya memilih hijrah dan berkarya di kota lain,” tuturnya.
Diharapkan program tahunan ini mampu menjadi pemantik dan menginspirasi pelaku seni lain di Purbalingga untuk berkarya secara cerdas dengan didasari pada kepedulian sosial dan lingkungan.
Rabu, 21 Desember 2011
Pemanenan Padi yang Efektif
Penentuan Umur Panen
- Pengamatan visual
- Melihat kenampakan padi pada hamparan sawah.
- Umur panen dicapai bila 90-95% batang gabah pada malai padi berwarna kuning/kuning keemasan.
- Pengamatan teoritis
- Berdasar umur tanaman padi yang disesuaikan dg deskripsi masing-masing varietas 30-35 hsb atau 130-135 hari setelah tanam (hst)
- Berdasarkan kadar air gabah. Umur panen optimal dicapai pada kadar air 22-23% MK dan 24-26% MP
Alat Panen Padi
1. Sabit Bergerigi
- Pada waktu persemaian, persemaian yang terlalu rapat menyebabkan beih padi sukar untuk tumbuh.
- Pada waktu pemanenan tidak menggunakan sabit bergerigi
- Pada waktu membawa tidak mengunkan alas dan waktu penumpukkan tidak menggunakan alas
- Perontokan padi dengan bantuan manusia(Gepyok) dapat mengurangi hasil
- Orang yang mencari padi yang berserakan (Tukang Rinso)
Senin, 19 Desember 2011
Tonggak Kepemimpinan yang Baru Kordinator 2012
Sabtu 17 Desember 2011 merupakan awal terbentuknya tonggak kepemimpinan yang baru di lingkup THL Banyumas. Hari Sabtu adalah hari dimana pemilihan kordinator yang baru sebagai penerus tongkat estafet pertanian. Pemilihan kordinator THL Banyumas yang diadakan di Rumah Makan Kemangi yang dihadiri oleh THL Se-Kabupaten Bayumas ini berlangsung cepat.
Dengan diawali dengan Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai pertanggung jawaban kordinator yang lama, memaparkan hasil kegiatan yang selama ini dijalankan, baik kendala maupun hambatan yang terjadi sebagai tolak ukur untuk kordinator yang baru nantinya.
Akhirnya untuk tahun 2012 ke depan kordinator yang terpilih adalah soudara M Arief Hidayat, apakah kabinet pelaksana yang lama akan berubah kita tunggu langkah selanjutnya. Selamat dan semoga langkah kita di dunia pertanian dalam memajukan dan mengangkat
Tetap Berjaya Indonesiaku Tetap Berjaya Pemimpinku
By ; Yusuf Himura
Kamis, 15 Desember 2011
PELATIHAN PUPUK ORGANIK
Pembuatan PGPR ini tergolong mudah yaitu dengan memanfaatkan rendaman akar bambu sebagai biangnya. Mengapa kita mengambil akar bambu, karena didaerah tersebut banyak terdapat bambu dan juga tanaman bambu tidak perlu dipupuk tetapi selalu tumbuh lebat MENGAPA ? Ternyata kalo kita telusuri pada akar bambu terdapat bakteri yang disebut Rizobium.
Pembuatan pupuk ini memerlukan waktu 15 hari sampai pupuk PGPR ini dapat digunakan, apabila jadi baunya seperti tape kecut apabila gagal baunya busuk. Setelah jadi dan disaring bisa dikocorkan ataupun disemprotkan ke tanaman dengan dosis 1 gelas aqua untuk tangki 14 liter. Bagi yang belum, dicoba yuk dicoba.....
Selasa, 13 Desember 2011
CLC Gelar Kado Hari Jadi Purbalingga
Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga kembali menggelar program Kado buat Kota Tercinta. Program untuk kali ketiga sejak 2009 ini berupa ekspresi dan apresiasi kreativitas seni anak muda Purbalingga sebagai media kritik terhadap kebijakan Pemerintah Kabupaten Purbalingga.
Rencananya, program dalam rangka menyambut Hari Jadi Purbalingga yang ke-181 ini akan digelar pada Sabtu, 24 Desember 2011 di Gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama, Jl. Mayjend. Panjaitan No. 61 Purbalingga dari pukul 12.30 hingga 22.00 WIB.
Manager Program CLC Nanki Nirmanto mengatakan Kado buat Kota Tercinta dirancang dan dihadirkan setiap tahun sebagai kado ulang tahun kota Purbalingga. “Tahun ini ada lima jenis kesenian yang akan disajikan, yaitu pementasan musik, sastra, teater, pameran foto, dan pemutaran film,” tuturnya.
Media Kritik
Selama ini, seni modern yang digawangi anak muda Purbalingga tidak berkembang dengan baik. Selain ketiadaan fasilitas dari pemerintah daerah, para pekerja seni cenderung bekerja secara sendiri-sendiri. Banyak diantaranya memilih hijrah dan berkarya di kota lain.
Tahun ini CLC mengajak anak-anak muda yang aktif dan kreatif di penulisan sastra yang tergabung dalam Kelas Menulis Purbalingga, musisi Purbalingga, kelompok-kelompok teater SMA, dan para penghobi foto untuk bersama-sama mengemas kado yang akan dihadiahkan kepada kota Purbalingga tercinta.
“Karya-karya dari para seniman muda itu harus melalui seleksi. Karena konsepnya adalah karya yang cerdas dan kritis sebagai konsekuensi seorang seniman dan anak muda menanggapi keadaan lingkungan sekitar,” ungkap Nanki.
Untuk pameran foto akan dilengkapi diskusi pada pukul 12.30 WIB dan pameran rencana digelar selama dua pekan dari 24-31 Desember 2011. Pada sore hari, pukul 15.00 digelar pembacaan dan musikalisasi puisi, pembacaan flash fiction (ff), diskusi dan bedah kumpulan ff. Berbarengan dengan sastra, para musisi akan mempersembahkan lagu-lagu kritik mereka terhadap pembangunan di Purbalingga.
Malamnya, 19.30 WIB, Teater Papringan SMAN Kutasari Purbalingga dan Teater Brankas SMAN 2 Purbalingga unjuk kebolehan. Puncaknya adalah pemutaran dan diskusi film “Bupati (tak pernah) Ingkar Janji”. Program Kado buat Kota Tercinta ini akan dipersembahkan secara gratis untuk masyarakat Purbalingga dan sekitarnya.
Kamis, 08 Desember 2011
Dokumenter Buruh Dibawah Usia
Ratusan remaja putus sekolah karena ketidakmampuan ekonomi lalu bekerja sebagai buruh plasma, perusahaan idep (bulu mata palsu) dan wig (rambut palsu), telah mengusik pelajar SMA Negeri Kutasari Purbalingga yang tergabung dalam ekstrakulikuler sinematografi untuk mendokumenterkannya.
Terdapat ratusan perempuan di bawah 18 tahun itu berdasarkan riset yang dilakukan para pelajar selama lebih dari sebulan di beberapa plasma yang tersebar di Kecamatan Kutasari. Sangat mungkin, ada ribuan perempuan putus sekolah yang bekerja di plasma yang tersebar di 18 kecamatan ada di Kabupaten Purbalingga.
“Kemiskinan menjadi faktor utama anak meninggalkan bangku sekolah dan memilih bekerja. Mereka sama sekali tidak mendapatkan hak pendidikan seperti diamanatkan pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945,” tutur Dwi Astuti, salah satu tim riset yang juga bertindak sebagai sutradara.
Astuti melanjutkan, kebijakan kemudahan berinvestasi dari Pemerintah Kabupaten Purbalingga memang telah memberikan kesempatan besar menampung pengangguran. “Tapi Pemkab seperti tidak menyadari dan tidak peduli sisi lainnya. Padahal sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tutur pelajar yang duduk di kelas XII ini.
Hak Dasar Anak
Film dokumenter tentang buruh di bawah usia kerja ini dikerjakan oleh empat pelajar, tiga diantaranya sudah duduk di bangku kelas XII. Beruntung sekolah mereka memberi kebebasan menggunakan jam-jam belajar untuk melakukan produksi film yang akan diikutsertakan di Kompetisi Film Pelajar Banyumas Raya Festival Film Purbalingga (FFP) 2012 tahun depan.
Menurut Anggi Oktavia, film dokumenter yang rencananya berdurasi 10 menit ini mengungkap buruh anak usia sekolah. “Kami harus menyelesaikan film ini disaat kami masih sekolah, agar dapat turut merasakan seperti apa yang dirasakan saudara-saudara kami yang seusia dengan kami,” ujar anggota tim riset yang bertugas sebagai kamerawati ini.
Para pembuat film pelajar ini berharap karyanya tidak hanya ditonton oleh anak muda tapi juga para pengambil kebijakan terutama di Kabupaten Purbalingga. Bahwa pendidikan termasuk hak dasar anak-anak Indonesia tak terkecuali anak-anak yang tinggal di pelosok desa. Dan pemerintah lah pihak yang wajib memenuhi hak-hak dasar rakyatnya.
Selasa, 29 November 2011
Gerabah Sambirata Didokumenterkan
Tiga pelajar SMA itu sudah sedari pagi berkeliling di sebuah grumbul dimana sebagian besar penduduk berprofesi sebagai pengrajin gerabah. Dengan menenteng sebuah kamera dan perlengkapan lain, mereka sedang memproduksi sebuah film dokumenter.
Para pelajar itu tergabung dalam ekstrakulikuler sinematografi SMA Negeri Rembang, Purbalingga. Dalam setahun, menjalankan program memproduksi satu film dokumenter. Selebihnya film fiksi dan beberapa karya audiovisual lain.
Heri Afandi yang bertindak sebagai sutradara mengatakan, banyak potensi seni yang dimiliki Kecamatan Rembang. “Kami berusaha menangkap potensi itu lewat film dokumenter agar dikenal masyarakat dan mendapat perhatian secara lebih luas,” ungkap pelajar yang duduk di kelas XI ini.
Setelah memproduksi dokumenter wayang suket (rumput) yang sempat menyabet berbagai penghargaan festival, ekskul yang berdiri tahun 2010 lalu ini giliran mendokumenterkan gerabah warga Grumbul Sambirata, Desa Wanogara Kulon, Kecamatan Rembang, Purbalingga.
Nikmatnya Riset
Tidak semua pelajar berkesempatan melakukan riset (penelitian) dari sekolah mereka. Namun dalam memproduksi sebuah film dokumenter, riset adalah suatu keharusan. Bagian dari tahapan penting membuat dokumenter.
Menurut Sinta Kurniawati, pelajar kelas X, ngobrol dan mengorek informasi warga dengan beragam karakter bukanlah hal muda. “Butuh persiapan mental dan kesabaran. Tapi dalam perjalannya terasa nikmat dan menyenangkan. Kami merasa menjadi bagian dari mereka,” tutur anggota tim dokumenter yang bertindak sebagai penulis skrip.
Banyak persoalan, kata Sinta, yang dialami para pengrajin gerabah yang terungkap selama riset. Mulai dari harga jual gerabah yang murah, regenerasi yang mandek, hingga bantuan pemerintah daerah yang tidak tepat sasaran. “Persoalan-persoalan ini menjadi dasar bagi kami menyusun skrip,” ujar gadis berjilbab ini.
Dokumenter gerabah ini menghabiskan waktu riset selama dua bulan dan produksi lima hari selama kurun waktu dua pekan. Pelajar pembuat film ini harus pandai-pandai mengatur waktu sekolah yang tidak jarang pulang hingga sore hari.
Canggih Setiawan, yang bertugas menjadi kameraman, mengatakan hampir setiap hari, ia dan tim harus menyambangi grumbul yang jaraknya sekitar dua kilometer dari sekolahnya. “Tidak jauh memang, karna program kami mendokumenterkan potensi yang ada di Kecamatan Rembang dimana sekolah kami berada,” kata pelajar kelas XI.
Film yang rencananya berdurasi sekitar 15 menit ini sedang masuk post produksi atau editing. Rencananya akan dikirim ke program Kompetisi Pelajar Banyumas Raya di Festival Film Purbalingga (FFP) 2012.
Sabtu, 26 November 2011
Cara pembuatan Pupuk Organik Cair (POC)
Bahan - bahan
- Kencing kambing
- EM4
- Trasi
- Tetes tebu
Cara Pembuatan Pupuk Cair
- Pengambilan air kencing kambing
- Pencampuran bahan
- Pencampuan air kencing kambing yang sudah di fermentasi
- Fermentasi minimal selama 21 hari
Prinsip Pembuatan Pupuk Organik Berbahan Baku Air Kencing Kambing
- Memanfaatkan Aktifitas Mikroba dalam memenuhi kehidupannya dengan dampak perubahan dari bahan yang kurang bermanfaat menjadi produc yang bermanfaat
- Menekan pertumbuhan mikroba yag tidak bermanfaat/pengganggu dan mengembangkan bakteri yang bermanfaat
- Menghilangkan bau yang tidak sedap
- Mempertahankan atau menambah Unsur Makro dan Mikro yang terdapat pada bahan baku
Manfaat Pupuk Organik Cair Dari Urine Kambing
- Menghemat biaya produksi
- Meningkatkan pendapatan di sector ternak kambing
- Memperbaiki struktur tanah
- Menekan pertumbuhan hama
- Memacu pertumbuhan akar
- Memperbaiki bunga, buah dan akar
By; Salimin
THL Kec Sumbang
Kamis, 24 November 2011
Pemberdayaan THL-TBPP Seluruh Indonesia di Cipayung Bogor
1. Pada Sidang Kabinet Paripurna 6 Januari 2011 :
“ Produksi Beras Dalam Negeri harus ditingkatkan sehingga diperoleh cadangan yang cukup “
2. Pada RAPIMNAS Dgn Gub.Bupati/Walikota, DPRD Provinsi dan Kab/Kota dan Pelaku Usaha Di JCC 10 Januari 2011
“Meskipun dalam sistem perdagangan kita bisa membeli atau menjual, tetapi ntuk pangan kita harus menuju kemandirian pangan”.
3. Arahan Presiden 22 Pebruari 2011 Program Prioritas “Surplus Beras” :
- Dari swasembada ke surplus beras
- Dalam waktu 5-10 tahun
- Surplus beras minimal 10 juta ton per tahun
4. Hasil Sidang Kabinet Tanggal 6 September 2011 dan Ditegaskan lagi pada Pidato Pelatikan KIB II Hasil Resufel Tanggal 19 Oktober 2011 :
“ Surplus Beras 10 juta ton harus dicapai pada tahun 2014”
Penyuluh Lapang diharapkan :
1. Pendampingan penyusunan RDK/RDKK
2. Penerapan pola tanam dan kalender tanam
3. Penyebarluasan teknologi baru, spesifik lokasi
4. Pendampingan pelaksanaan budidaya, penanganan panen, pasca panen dan pemasaran hasil
5. Setiap penyuluh diberi tanggungjawab pengawalan teknologi di wilayah binaan dalam luasan tertentu dengan penugasan Bupati/Walikota
6. Membantu pelaporan pelaksanaan kegiatan di lapangan.
THL TB Penyuluh Pertanian Tahun 2012
Beberapa Agenda Pusat Penyuluhan Tahun 2012 :
1. Kontrak THL-TBPP selama 10 bulan
2. Kontrak Kerja dimulai awal Januari – Oktober 2012
3. Adanya penghargaan dari Presiden untuk THL-TBPP berprestasi (20 Jt)
4. THL-TBPP mengawal P2BN pendampingan SLPTT, tambahan biaya aprasional SLPTT untuk THL-TBPP dan PPL PNS (SMS center : 081218626730 bebas pulsa)
5. Kendaraan dinas 2.700 unit
DASAR HUKUM
1. Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
2. Undang-undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,Perikanan dan Kehutanan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah,Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2009 tentang Pembiayaan,Pembinaan,Pengawasan Penyuluhan Pertanian,Perikanan dan Kehutanan
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan
7. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58/Fermentan/KU.410/12/2009 tentang Pelimpahan Kepada Gubernur dalam Kegiatan dan Tanggung Jawab Dana Dekonsentrasi Provinsi Tahun Anggaran 2010
Surat Kepala BPPSDM Pertanian:
No.6174/SM.600/J/11/2011 tanggal 10 Nopember 2011 tentang Dukungan Penyediaan Tambahan Honorarium dan BOP THL-TBPP Penyuluh Pertanian 2012
By; Yusuf Himura
Senin, 21 November 2011
Film Pelajar Purbalingga
Purbalingga adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kota kecil yang terletak di lembah Gunung Slamet ini, tak memiliki satu pun perguruan tinggi. Usai menamatkan SMA, pemuda Purbalingga berangkat ke kota lain macam Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya, Bandung, Jakarta dll untuk melanjutkan kuliah. Usai lulus, tak banyak yang kembali untuk membangun daerahnya.
Tak sedikit yang langsung hijrah ke Ibukota Jakarta. Praktis menyisa pemuda dan remaja yang duduk di bangku SMA dan SMP. Tersebar di kota Purbalingga dan kota-kota kecamatan. Beberapa tahun terakhir, fenomena remaja putus sekolah merebak seiring bertebaran puluhan pabrik hingga pelosok desa sebagai imbas kebijakan mudahnya izin investasi dari pemerintah daerah.
Orang tua lebih memilih anaknya cepat bekerja dibanding tunduk pada program Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun. Tidak hanya soal biaya sekolah yang mahal, tapi juga realita bahwa menamatkan program Wajar pun, ujung-ujungnya susah mencari pekerjaan dan akan terpuruk di pojokan pabrik.
Iklim Berkesenian yang Sepi
Kesenian yang dipandegani anak muda di kota penghasil bulu mata palsu ini, relatif kurang berkembang. Tidak hanya iklim berkesenian yang hampa tapi juga fasilitasi pemerintah daerah yang tiada. Pemda hanya sibuk dengan proyek-proyek kesenian mereka sendiri, tidak pernah menyadari apalagi melibatkan potensi seniman muda.
Sementara tidak terjadi regenerasi dari seniman-seniman pendahulunya. Kesuksesan seniman asli Purbalingga diraih dari pengaruh iklim dan fasilitas di luar kota. Dewan Kesenian Daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah mandul dan makin tak popular. Bisa dibilang, kesenian (baca: modern) di Purbalingga sepi!
Semua daerah, tak terkecuali Purbalingga, terkandung potensi berbagai jenis kesenian. Sebut saja seni rupa, musik, suara, tari, sastra, teater. Pelaku jenis-jenis kesenian itu bukannya tidak ada yang berdomisili di Purbalingga, namun untuk bisa berkembang mereka harus nekat atau karena faktor keberuntungan hijrah ke kota lain yang iklim berkeseniannya lebih menjanjikan.
Kesenian masih dipandang sebelah mata di daerah kelahiran Panglima Besar Jenderal Sudirman ini, karena dari bidang kesenian dianggap tidak menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi kas Pemkab.
Film Pendek: Alternatif Ekspresi Pelajar
Runtuhnya rezim Orde Baru membawa perubahan termasuk kesenian modern. Di kota-kota besar, seiring lahirnya teknologi digital, muncul kelompok-kelompok anak muda yang memanfaatkan teknologi itu bagi kemajuan dunia sinematografi.
Video dan film bukan lagi barang langka yang hanya bisa diakses oleh orang-orang profesional dibidangnya. Iklim kebebasan berekspresi bidang film pendek menjadi pilihan anak muda yang di zaman Orde Baru turut dikekang.
Kemajuan produksi dan distribusi film pendek merangsek hingga kota-kota kecil di wilayah Banyumas Raya. Purwokerto menjadi kota pertama tumbuhnya virus film pendek diawal tahun 2000-an dengan kampus sebagai basisnya sebelum merebak ke kota tetangga macam Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara.
Kampus, sebagaimana yang ada di kota-kota lain di Indonesia, tidak menjamin sebagai basis perkembangan dunia sinematografi. Keberadaan film pendek di Purwokerto mulai melemah sekitar tahun 2005 hingga hilang sama sekali sampai saat ini.
Denyut sinematografi kota Purbalingga dimulai tahun 2004, diawali produksi beberapa film pendek. Komunitas film pun turut berkembang dan rajin memproduksi film pendek. Film-film itu kemudian diputar dan diapresiasi oleh pelajar SMA dan SMP. Hingga dua tahun kemudian (2006), lahirlah film-film pendek yang diproduksi pelajar Purbalingga.
Ditahun yang sama, 2006, terbentuk Cinema Lovers Community (CLC), komunitas para pecinta film yang merupakan gabungan dari beberapa komunitas berlatar video manten amatir di Purbalingga. CLC bertugas memfasilitasi kebutuhan komunitas-komunitas film di Purbalingga.
Menyadari anak muda Purbalingga berbasis pelajar SMP dan SMA, CLC mencoba menawarkan sinematografi agar dipelajari para pelajar secara informal. Sayang, saat itu, tak satu pun sekolah yang merespon dengan baik. Alasan tidak diterima karena kegiatan itu tidak terkait dengan mata pelajaran dan perkembangan mental siswa.
Semakin banyaknya pelajar yang berkeingingan belajar sinematografi, sisi lain tidak adanya dukungan dari pihak sekolah. Gerilya kemudian menjadi jalan yang ditempuh CLC. Dari tahun ke tahun, film pelajar Purbalingga terus berkembang: produksi, distribusi, dan prestasi. Sampai kemudian, di tahun 2009, film mulai bisa dipelajari secara informal di sekolah-sekolah di Purbalingga dengan masuk ke program ekstrakulikuler (ekskul) sekolah.
Tercatat saat ini, sekolah di Purbalingga yang pelajarnya aktif berkelompok belajar film, adalah: SMA Negeri Bobotsari, SMA Negeri 2, SMA Muhammadiyah 1, SMK Negeri 1, SMA Negeri Rembang, SMA Negeri Kutasari, SMA Negeri Bukateja, dan SMP Negeri 4 Satu Atap Karangmoncol.
Empat sekolah yang disebutkan terakhir adalah sekolah yang guru dan kepala sekolahnya sadar bahwa sinematografi sangat terkait dengan perkembangan kecerdasan anak didik. Hampir semua jenis kesenian dipelajari di sini.
Semua ini tak lepas dari kawalan CLC yang terus-menerus menjalankan program. Ada 5 (lima) program utama dari CLC, yaitu workshop film, produksi film, pemutaran film, database film, dan festival film. Festival Film Purbalingga (FFP) yang ada sejak 2007 menjadi pemantik sekaligus tolak ukur bagi karya-karya film pelajar di wilayah Banyumas Raya sebelum film-film itu beradu di festival lain.
Bowo Leksono
Pegiat film, tinggal di Purbalingga
Selasa, 15 November 2011
Kontrak THL-TBPP dari Pemerintah Daerah Kab. Banyumas
Thl Banyumas paling tidak sudah bisa bernafas lega yaitu dengan putusnya kontrak selama 10 bulan dari Pusat, untuk beberapa bulan ada bantuan dari Pemerintah Daerah untuk membantu Honor selama habis kontrak. Contoh SURAT PERJANJIAN Kontrak bisa dilihat disini
Pembuatan Kontrak dibantu oleh Bapeluh KP dan THL-TBPP dan selanjutnya ditanda tangan masing-masing rangkap 2 bermaterai. Pengambila Jasa Tenaga Penyuluhan Pertanian pada hari Senin, 21 November 2011.
Kami ucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Banyumas yang sudah memperhatikan kami, Bapelluh KP dalam penyusunan kontak, Koordinator THL, Rekan-rekan THL, dan semua yang terlibat kami ucapkan terima kasih. Semoga THL diseluruh Indonesia mendapatkan uluran tangan dari Pemerintah Daerah masing-masing, Amin. Jayalah Trus Petani Jayalah Terus Indonesiaku
Kamis, 10 November 2011
"Sarung" di Safari FFI 2011
Pemutaran dan Diskusi Film
SARUNG
Anis Septiani l Care Community-SMA Muhammadiyah 1 Purbalingga l Fiksi l 11’00” l 2011
Solih, cucu kesayangan, begitu ingin membelikan sarung buat kakeknya. Berbagai cara dilakukan, bahkan cara yang tidak disuka oleh kakeknya sekalipun.
* Film Favorit I pengunjung beoscope.com Festival Film Purbalingga (FFP) 2011
* Official Selection Festival Film Solo (FFS) 2011
* Editor Terbaik Festival Film Anak (FFA) Medan 2011
SAFARI FESTIVAL FILM INDONESIA 2011
Kamis, 17 November 2011
15.30-22.00 WIB
Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah
Jl. Ir. Sutami 57 Kentingan Solo
Rabu, 09 November 2011
Kegigihan Petani
Tanaman Jagung yang yang batang atasnya sudah dipotong tinggal menunggu matangnya tongkol jagung habis dimakan oleh hama tikus. Lahan Sekitr 12 hektar habis dimakan tikus, di daerah ini memang sudah sering kali malahan sudah (endemis), hama tikus sudah meresahkan para petani mereka juga sudah melakukan gropyokan tikus tiap musm tanam.
Hama tikus ini tergolong cerdik dan selalu mengelompok dalam melakukan aksinya, Didesa tetanga tepatnya di Desa Kalicupak Kidul lokasi di Jalan Jamid hama tikus ini menyerang Tanaman Sorgum, ketinggian tanaman sorgum ini lebih tinggi dari tanaman jagung tapi bukan hal mustahil tanaman sorgum ini juga gagal panen.
Hal yang perlu kita rencanakan untuk menanggulangi hama tikus ;
- Gropyokan Tikus setiap mau tanam
- Tanam Serempak
- Menanam tanaman lain dipinggiran pematang
- Menanam Pohon Kamboja di pojokan lahan areal persawahan
- Melakukan pengumpanan
- Bila sudah terkena serangan usahakan agar setiap pinggiran pematang dikelilingi dengan plastik putih agar tikus tidak dapat masuk ke dalam dan setiap kali dicek apakah ada celah/lubang pada lingkup lahan yang sudah di kelilingi plastik. Hal ini untuk menghindari serangan tikus apabila akan dipanen.
- Selalu berusaha dan berdoa
Minggu, 30 Oktober 2011
Penghargaan FVE 2011 untuk Film-Film Purbalingga
Film-film Purbalingga kembali menyabet penghargaan. Kali ini di ajang Festival Video Edukasi 2011. Film fiksi berjudul “Endhog” sutradara Padmashita Kalpika Anindyajati dan film dokumenter “Belajar Sejarah Dunia Lewat Logam dan Kertas” yang disutradarai Annisah Nur Adinah dianugerahi Film Terbaik I dan Film Terbaik III Klasifikasi Mahasiswa.
Penganugerahan festival video yang diselenggarakan Balai Pengembangan Media Televisi (BPMT) Pusat Teknologi Komunikasi (Pustekkom) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) ini digelar di Kelapa Gading Mall, Jakarta, Kamis sore, 27 Oktober 2011.
Film “Endhog” berkisah tentang dua murid Kejar Paket A yang sedang melakukan eksperimen untuk membuktikan makhluk hidup jenis melahirkan dan bertelur. Sampai pada akhirnya, kedua murid itu dihadapkan pada kenyataan apakah Ibu Haji yang berjilbab bertelur atau melahirkan karena telinganya tak terlihat? Film berdurasi 15 menit ini bergenre humor dengan balutan dialog Banyumasan yang kental.
Penghargaan di FVE ini menurut Pika, panggilan Padmashita Kalpika Anindyajati, menjadi media memperkenalkan dan melestarikan bahasa Banyumas. “Sebagai anak muda, kami bangga memiliki dan menggunakan bahasa Banyumasan,” ungkap mahasiswi Jurusan Media Rekam Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Film “Endhog” sempat menyabet penghargaan Film Fiksi Terbaik dan Film Fiksi Favorit Pentonton Festival Film Purbalingga (FFP) 2010 serta menjadi Finalis Festival Film Solo (FFS) 2011 kategori Gayaman Award.
Sementara dokumenter “Belajar Sejarah Dunia Lewat Logam dan Kertas” mengangkat Museum Uang Purbalingga. Museum yang dibangun Pemkab Purbalingga ini memiliki koleksi mata uang 134 negara termasuk Indonesia. Dalam film tersebut terungkap bagaimana pengelola museum tidak mempunyai banyak kemampuan untuk memperkenalkan museum secara lebih luas.
Menurut Nesyah, panggilan Annisah Nur Adinah, sebagai pemuda Purbalingga, ia ingin museum uang sebagai salah satu aset daerah mempunyai nilai guna bagi anak muda. “Berharap lewat penghargaan ini, akan berpengaruh terhadap keberadaan museum uang dan membuka mata Pemkab untuk melibatkan anak muda di dalamnya,” ujar mahasiswi Jurusan Prodi Kebidanan STIKES Harapan Bangsa Purwokerto.
Film berdurasi 15 menit ini juga pernah mendapat penghargaan Editor Terbaik Festival Film Anak (FFA) 2011, Official Selection Festival Film Purbalingga (FFP) 2010, dan Top 11 Official Screening Tourism Movie Competition 2011.
Pegiat Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga Muhammad Febrianto mengatakan disetiap penyelenggarakan FVE, film-film Purbalingga selalu mendapat tempat. Pada FVE 2007, film “Senyum Lasminah” sutradara Bowo Leksono menyabet Terbaik II dan FVE 2008 film “Cuthel” sutradara Uswantoro dan Agus Sudiono menyabet Terbaik I. Dua tahun FVE vakum dan kembali digelar di tahun ini,” katanya.
Sabtu, 22 Oktober 2011
Film SMAN Rembang Sabet Juara Umum FFA 2011
Film dokumenter “Gulma yang Bernilai Guna” dari SMA Negeri Rembang, Purbalingga dianugerahi Juara Umum Festival Film Anak (FFA) 2011 Medan. Film yang disutradarai Astri Rakhma Adisti ini berhasil menyabet Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Kameraman Terbaik, dan Editor Terbaik kategori dokumenter. Sementara kategori fiksi, film berjudul “Sarung” dari SMA Muhammadiyah 1 Purbalingga menyabet Editor Terbaik.
Malam penganugerahan festival berskala nasional yang telah memasuki tahun ke-4 ini diselenggarakan di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara, Medan, Jumat malam, 21 Oktober 2011.
Astri Rakhma Adisti merasa bangga film garapan Ekstra Kulikuler Sinematografi SMA-nya mendapat penghargaan di ajang FFA. “Penghargaan untuk kesekian kali bagi film kami ini, semoga menjadi pemicu bagi kami dan adik-adik kelas kami untuk peka terhadap lingkungan dengan jalan membuat film,” ungkap sutradara yang duduk di kelas XI ini.
Tak Diperhatikan Pemkab
Film “Gulma yang Bernilai Guna” mengangkat sosok almarhum Mbah Gepuk (1905-2002) sebagai seorang petani sekaligus seniman pinggiran. Kakek yang hidup di tanah kelahiran Panglima Besar Jenderal Sudirman, Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga ini secara otodidak menciptakan wayang suket (rumput) yang tak ternilai harganya.
Di tangan Mbah Gepuk, rumput yang dikenal sebagai gulma mempuyai nilai guna. Namanya mencuat sebagai seorang maestro wayang suket setelah kerap muncul di media massa sekitar tahun 1990-an. Sindhunata (Romo Sindhu), budayawan yang saat itu sebagai wartawan salah satu koran nasional menemukan sosok unik Mbah Gepuk.
Mulai tahun 1995, karya-karya wayang suket Mbah Gepuk dipamerkan mulai dari Yogyakarta dan Jakarta. Beruntung, sepeninggal kakek yang semasa hidupnya dihabiskan di ladang ini, masih ada orang-orang dekat yang meneruskan tugas sucinya, menganyam rumput menjadi tokoh-tokoh pewayangan. Adalah Badriyanto, cucunya dan Ikhsanudin, anak muda Bantarbarang yang juga belajar seni secara otodidak.
Sayang, potensi seni ini tak banyak diperhatikan Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Pemkab setempat hanya mengabadikan beberapa karya Mbah Gepuk di Museum Wayang yang dimiliki daerah itu. Sementara tidak ada perhatian sama sekali terhadap keberlangsungan wayang suket sebagai sebuah karya seni adiluhung.
Gambaran kisah wayang suket Mbah Gepuk ini terekam dalam film produksi tahun 2011 yang sempat menyabet berbagai penghargaan seperti, Official Selection Malang Film Video Festival (MafvieFest) 2011, Film Dokumenter Terbaik dan Film Dokumenter Favorit Penonton Festival Film Purbalingga (FFP) 2011, dan Best Creative Idea Tourism Movie Competition 2011.
Pegiat Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga Asep Triyatno mengatakan setiap penyelenggaraan FFA, karya-karya film pelajar Purbalingga tak pernah absen dikirimkan di ajang insan perfilman anak yang digelar oleh Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan dan Sineas Film Documentary (SFD) Medan. “Tak hanya itu, setiap tahun pula film-film pelajar Purbalingga diapresiasi dan berprestasi di Sumatera Utara,” tuturnya.
Rabu, 19 Oktober 2011
Kerjasama dan Kekompakan
Hari itu para Gapoktan dan Kelompok Tani dikumpulkan untuk bersama-sama memecahkan masalah dan juga berdiskusi tentang rencana kedepan di awal musim penghujan yang sebentar lagi akan tiba. Diawali oleh sambutan dari Drs. Sudarso selaku Camat Kalibagor memberikan arahan serta motivasi pada para Gapoktan dan Kelompok Tani, selanjutnya dari PPL, Mantri Tani dan THL-TBPP. Dalam pertemuan yang berjalan santai tapi terarah yang menghasilkan beberapa keluhan, saran serta pendapat yang dapat didiskusikan dalam pertemuan tersebut. Hasil yang didapatkan dari pertemuan tersebut adalah dengan adanya kekompakan dan kerjasama mereka akan merencanakan sebuah program pertanian untuk tanaman padi, jagung dan kacang tanah serta sebuah studi banding ke tempat-tempat yang berhubungan dengan pertanian.
Ini merupakan suatu contoh kecil mudahnya menggambil suatu keputusan apabila kita dapat bekerjsama dan kompak dalam semua bidang. Sekali lagi kita belajar akan arti semua kerjasama yang dipandang sepele tapi terdapat makna yang terpendam.
THL Kec. Kalibagor
Rabu, 12 Oktober 2011
Verifikasi Kelompok TANI Berprestasi
- Pemula
- Madya
- Maju
Juni THL Kec. Jatilawang
Selasa, 11 Oktober 2011
Sekolaheh Wong Tani
Sebelum dilakukan Program tersebut telah diadakan Sosialisasi Pra SL-PTT oleh Kelompok Tani Pelita Jaya pada tanggal 25 September 2011. Kegiatan ini dimaksudkan agar nantinya petani pelaksana dapat mengetahui apa itu SL_PTT, tujuan beserta dengan komponen teknologi yang semaksimal efisien, tepat guna dan ramah lingkungan.
Dalam SL-PTT bantuan yang disertakan berupa pupuk, benih, biaya pertemuan, peralatan tulis beseta dengan komponen pendukung lainnya. Bantuan ini ada yang berupa barang ada yang berupa uang yang dibelanjakan sesuai dengan petunjuk SL-PTT yang didampingi oleh Penyuluh Pertanian, THL-TBPP dan Pengamat Hama. Peserta SL-PTT adalah para petani yang berjumlah 25 orang sebagai penyebar informasi yang telah didapatkanya kepada para petani lainnya yang tidak mengikuti SL-PTT.
Sekolah Lapang ini mendapatkan respon yang baik di wilayah Kecamatan Kalibagor Kabupaten, semoga dengan adanya Sekolah Lapang ini kita lebih termotivasi, petani untung masyarakat dapat menikmati hasil panen dan pemerintah dapat mencapai swasembada pangan. Ilmu pengetahuan akan selalu bertambah mengikuti perkembangan zaman, kalau kita ketinggalan, tidak mau mencoba, dan tidak melestarikan alam bagaimana nasib pertanian kita……
By Yusuf THL-TBPP Kec. Kalibagor
Jumat, 30 September 2011
“Lengger Santi” di FFKBL 2011
“Lengger Santi”, film dokumenter lawas besutan sutradara Purbalingga Bowo Leksono, mendapat penghargaan Harapan III Festival Film Kearifan Budaya Lokal 2011 yang diadakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pengumuman pemenang dan pemberian hadiah ini dilakukan oleh Direktur Perfilman Kemenbudpar Syamsul Lussa, Jumat siang, 30 September 2011, di Gedung Film Jakarta.
Film berdurasi 12 menit yang diproduksi pada 2007 silam ini mengisahkan seorang penari lengger di Purbalingga bernama Santi. Bersama suami dan beberapa kawan, Santi membuat grup untuk berjuang berkeliling dari panggung ke panggung. Meskipun dia mengakui sulit rasanya melahirkan regenerasi.
Jauh sebelumnya, film “Lengger Santi” sempat menyabet Film Terbaik kategori dokumenter pada Surabaya 13 Film Festival (S13FFest) 2007 dan menjadi Top 11 Official Screening Tourism Movie Competition 2011.
Pada penyelenggaraan Festival Film Kearifan Budaya Lokal yang ketiga ini, terkumpul 106 film dokumenter dari seluruh Indonesia. Terpilih enam film terbaik dan satu film pilihan juri. Film terbaik diraih film berjudul “Lampion-Lampion” sutradara Dwitra J. Ariana dari Bali. Film lain, beragam dari daerah Sumba, Medan, Tegal, dsb.
Direktur Perfilman Syamsul Lussa dalam sambutannya mengatakan, penyelenggaraan Festival Film Kearifan Budaya Lokal ini diharapkan dapat memberi perlindungan dan pengembangan kepada kearifan budaya lokal. “Indonesia memiliki beragam kearifan budaya. Dengan festival ini setidaknya menjadi dokumen penting bagi kita semua,” tuturnya.
Rabu, 28 September 2011
Film Politik yang Dipolitisasi
Tinjauan Kritis Film “Pengkhianatan G 30 S/PKI”
Oleh: *Bowo Leksono
Benar tebakan Pak Heni Purwono bahwa saya sedang senyum-senyum sendiri saat membaca SMS-nya terkait pembatalan menghadirkan seorang saudara ex-Tapol/Napol di acara “Nonton Bareng dan Diskusi Film ‘Pengkhianatan G 30 S/PKI’ dalam Rangka Hari Kesaktian Pancasila”. Tentulah senyum saya adalah senyum kesedihan karena artinya, lembaran sejarah Indonesia tahun 1965-1966 terkubur makin dalam. Mari, jadikan kondisi ini sebagai keprihatinan kita bersama bahwa generasi sekarang juga makin buta terhadap sejarah bangsanya.
Saya diminta mengkritisi film “Pengkhianatan G 30 S/PKI”. Dan saya adalah salah seorang yang saat masa kanak-kanak menjadi korban pencekokan film propaganda ala Rezim Soeharto tersebut. Saat itu, saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Di setiap akhir bulan September, kami digiring ke sebuah gedung bioskop secara berjamaah menonton film sepanjang lebih dari tiga jam dan lebih dari separo durasi film penuh adegan mencekam. Kemudian dipaksa menyimpulkan bahwa Soeharto adalah Pahlawan. Setelah itu, film produk Orde Baru ini pun muncul tiap menjelang 1 Oktober di stasiun televisi.
Secara filmis dan teknis penggarapan, film yang diproduksi tahun 1983 oleh salah satu sutradara besar Indonesia alm. Arifin C. Noer ini sangatlah berhasil. Dramatisasi dalam film sejarah ini sungguh luar biasa karena memang digiring sebagai sebuah film propaganda kekuasaan saat itu. Imbasnya, saat pergantian kekuasaan, film itu pun tidak pernah menjadi tontonan wajib bagi masyarakat.
Saya tidak tahu dengan pasti alasan mengapa seorang Arifin C. Noer menerima proyek produksi film pesanan penguasa Orde Baru tersebut. Karena memang saya tidak pernah menanyakan itu kepada beliau semasa hidup. Tercatat sedikitnya tiga film bioskop propaganda rezim militer yaitu “Janur Kuning” (Sutradara Alam Surawidjaja, 1979), “Serangan Fajar” (Sutradara Arifin C. Noer, 1981) dan “Pengkhianatan G 30 S/PKI” (Sutradara Arifin C Noer, 1983). Film-film berbiaya mahal itu kemudian menjadi materi bersama buku-buku teks sejarah resmi bagi siswa, bahan penataran P4, serta isi pidato pejabat, terkait bahaya laten PKI.
Kenyataan bahwa rezim Orde Baru getol menjungkir-balikkan fakta dan akal sehat menjadikan “Pengkhianatan G 30 S/PKI” sebagai film politik yang dipolitisasi oleh pembuatnya (dalam hal ini penguasa Orba). Belakangan, film, buku, dan seabrek dokumen produk Orde Baru dianggap memutar-balikkan sejarah bangsa tanpa pernah ada pelurusan oleh penguasa selanjutnya. Soeharto memang bukan penguasa sembarangan, terbukti selama 33 tahun mampu menyetir Negara ini dengan tangan dingin. Soeharto juga bukan penguasa bodoh, terbukti dia menggunakan media film sebagai alat pembodohan rakyatnya.
Merindukan Lahirnya Film Sejarah 1965
Saya jadi teringat sebuah artikel yang ditulis Prof. Ariel Heryanto, seorang dosen di Universitas Melbourne, Australia. Artikel berjudul “Yang Luput dari Film Indonesia” yang sempat dimuat di Kompas, 16 Januari 2005, itu mempertanyakan “Mungkinkah film Indonesia membantu mendewasakan politik bangsa ini yang seabad lalu terbentuk bersama radio, pers, dan novel?
Realitanya, sangat jarang, bahkan bila boleh dibilang tidak ada sama sekali, film cerita yang beredar berskala nasional dan komersil yang dibuat oleh orang Indonesia secara mendalam mengangkat luka sejarah tahun 1965. Ini sekaligus otokritik bagi saya sebagai seorang pembuat film. Beberapa film dokumenter dan film pendek dalam jumlah kecil hadir sebagai angin segar.
Belum lama, sutradara film Tjoet Nja’ Dhien (1988) yang juga politisi Eros Djarot gagal menyelesaikan sebuah film bertajuk “Lastri”. Dengan alasan klise, bahwa film yang bercerita kisah cinta seorang tentara dan gerwani tersebut dianggap menyebarkan ajaran Komunis. Kampanye bahaya laten Komunis tampaknya akan menjadi kampanye abadi di negeri ini. Kenyataannya, paham komunisme tak lagi mampu hidup di bumi ini. Sementara korupsi yang jelas-jelas laten dan semakin memiskinkan rakyat dibiarkan tumbuh subur.
Pupuslah harapan kita lahir film berlatar sejarah 1965 yang diproduksi sineas Indonesia secara jujur. Kata Prof. Ariel Heryanto, tanpa memahami sejarah 1965-1966, mungkin kita tak akan pernah mampu mengatasi tantangan bangsa masa kini dan mendatang.
*Sutradara, tinggal di Purbalingga
Disampaikan pada acara “Nonton Bareng dan Diskusi Film ‘Pengkhianatan G 30 S/PKI’ dalam Rangka Hari Kesaktian Pancasila”, SMAN 1 Sigaluh, Banjarnegara, 29 September 2011