Rabu, 07 November 2007

Global Warming di Bamboe Shocking Film!

Pergelaran film Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga akan kembali menyapa pecinta sinema pada Sabtu, 10 November 2007, pukul 19.30 WIB. Acara bulanan bertajuk “Bamboe Shocking Film!” (BSF) ini hadir di Café Bamboe, Jl Jend Sudirman no 126 Purbalingga.

Dengan konsep tontonan café, BSF mengusung tujuh film dokumenter bertemakan global warming (pemanasan global) dari Purbalingga, Cilacap, dan Purwokerto. Seusai pemutaran, akan ada obrolan bersama para pembuat filmnya.

Dari Purbalingga menyandingkan tiga karya film; Dokar (sutradara Tia dan Fitri), Bumi Khayalan (Nanki Nirmanto), dan Prahara Air (Bowo Leksono). Dari Cilacap; Membakar Langit (Dewi Kusumawati), Ramalan Debu (Jihad Maulidi), dan Diujung Kehancuran (Insan Indah Pribadi). Sementara Purwokerto berjudul Wangi Panas Wangi (Aditya Megantara dan Chandra Iswinarno).

Pertimbangan mengusung tema pemanasan global menurut penanggung jawab Bamboe Shocking Film!, Trisnanto Budidoyo, karena tema ini mengangkat isu lingkungan secara lebih luas. “Masih banyak masyarakat yang tidak tahu apa itu pemanasan global, apalagi memahami dan menyadarinya,” tuturnya.

Ketujuh karya sineas muda se-Banyumas itu telah diikutkan di Festival Film The Bodyshop, Dewan Kesenian Jakarta. Dan salah satu dari film bertajuk Diujung Kehancuran, masuk menjadi nominatornya.

Empat karya siswi praktek multimedia
Sebelum pemutaran film pemanasan global, akan diputar empat karya video dari para siswi SMK N 1 Cilacap yang sedang praktek kerja industri (Prakerind) dalam bidang multimedia di studio Glovision Production Purbalingga.

Selama dua bulan praktek, keempat siswi masing-masing menghasilkan karya dengan genre berbeda. Amrih Wijiyati dengan karya dokumenter berjudul “Kuda Besi”, film ini bercerita tentang sejarah singkat kereta api. Diah Anggraeni dengan iklan layanan masyarakat, Tuti Paryati dengan video musik, dan Ade Silviana dengan karya fiksi berjudul “Kisinan”.

Salah satu pentolan Glovision Production, Agus Sudiono, mengungkapkan bahwa pihaknya mengawal proses kreatif para siswi dengan sekuat tenaga. “Dalam perjalanannya, anak-anak mendapatkan pendampingan dari orang-orang yang berkompeten di bidangnya,” ungkapnya.

Tampaknya, banyak pengalaman lapangan yang didapat para siswi yang jelas jauh berbeda dengan teori yang diperoleh di bangku sekolah. “Kami tak akan melupakan pengalaman ini. Sangat menarik dan akan kami teruskan,” ujar Diah dengan bangga. Bolex

Kamis, 01 November 2007

Senyum Lasminah Nominasi Festival Video Edukasi

Senyum Lasminah, sebuah film produksi Laeli Leksono Film terseleksi sebagai nominasi Festival Video Edukasi (FVE) 2007 kategori video budi pekerti. Festival ini digelar Balai Pengembangan Media Televisi (BPMTV) Surabaya yang menggagas Televisi Edukasi (TVE).

Film dari Purbalingga garapan sutradara Bowo Leksono ini berkisah tentang seorang perempuan usia remaja bernama Lasminah yang hidup besama adik laki-lakinya, Gatot, dan nenek mereka.

Lasminah hidup yatim-piatu. Bapaknya meninggal karena dibunuh orang-orang tak dikenal menjelang Pemilu. Ibunya meninggal saat melahirkan Gatot. Lasminah mewarisi kebiasaan membatik. Sudah turun-menurun kebiasaan ini dilakukannya setiap hari untuk menyambung hidup.

Demikian pula yang dilakukan perempuan-perempuan desa dimana Lasminah tinggal. Namun, sudah dapat dihitung dengan jari jumlah perempuan yang bertahan dengan tradisi membatik itu. Jakarta telah membuat gadis-gadis desa hengkang dari desa tercinta.

Suatu hari, Surti, teman sepermainan Lasminah, pulang dari Ibukota. Ia membawa segudang cerita. Surti menyapa Lasminah di belakang rumah saat sibuk menorehkan malam (bahan pembuat batik) ke selembar kain putih.

Surti pun berkisah panjang tentang pengalaman hidup di Jakarta. Tentang mudahnya mendapatkan uang, tentang bagaimana semua perempuan telah berbondong-bondong ke Jakarta, dan tentang berapa uang untuk menyulap rambut keriting menjadi lurus bahkan berwarna merah menyala.

Siapa saja akan kesengsem dengan kisah Surti tentang Jakarta ini. Pun demikian dengan Lasminah. Ia rela menjual semua kain jarit buatannya untuk pergi bersama Surti. Ah Jakarta, memang selalu menggoda.

Terlalu banyak yang musti ditinggalkan Lasminah di desa. Adik semata wayang, neneknya, batiknya, rumah tikelan (rumah khas Banyumas) warisannya, dan Sutar kekasihnya yang seorang penari rodat.

Pada suatu malam, disaat adiknya tertidur lelap, disaat neneknya merelakan ia pergi, dihadapan sebuah lampu teplok, Lasminah memantapkan untuk tidak ke Jakarta. Terlalu berat meninggalkan orang-orang dan kebiasaan yang dicintainya.

Film berdurasi 20 menit yang sangat kental dengan latar Banyumasan seperti batik, rumah tikelan, rodat, dan bahasa ini jelas mengajak anak-anak muda untuk tidak mudah meninggalkan desa. Masih banyak hal yang bisa dibangun di desa. Untuk itu, film ini dikirim ke festival video pendidikan.

Dan bertindak sebagai dewan juri pada festival ini antara lain sutradara Riri Riza dan psikolog Tika Bisono. Sementara malam penganugerahan FVE 2007 hendak digelar Minggu, 4 November 2007 di Gedung Cak Durasim, komplek Taman Budaya Surabaya. Bolex

Pegiat Film Se-Banyumas Membentuk Asosiasi


PURBALINGGA-Komunitas dan pegiat perfilman dari Cilacap, Banyumas, dan Purbalingga mengubah forum komunikasi yang mereka bentuk menjadi sebuah asosiasi. Keputusan itu diambil dalam “Jambore Film Banyumas” di Bumi Perkemahan Munjuluhur Purbalingga, Sabtu-Minggu, 20-21 Oktober 2007.

Selain pelajar dan pekerja film lokal, jamboree diikuti pegiat film Banyumas yang bekerja di luar Banyumas. Banjarnegara tidak memiliki wakil akibat komunitasnya belum kokoh.

“Pertemuan menyepakati asosiasi akan memberi dukungan terhadap komunitas. Selain program dan pendanaan, diharapkan bisa memberi bantuan peralatan dan sumber daya manusia,” kata pegiat Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, Bowo Leksono.

Langkah itu perlu diambil karena meski film Banyumas telah mencapai perkembangan cukup berarti, beberapa komunitas masih menghadapi kesulitan dalam produksi dan manajerial karya.

Di tingkat nasional, lanjut dia, sudah muncul kebutuhan untuk mengapresiasi karya-karya para sineas asal Banyumas. “Itu didorong oleh kemenangan film Banyumas di beberapa festival. Namun kami belum bisa membuat pusat data film yang memadai untuk memudahkan mereka,” tambahnya.

Bisa berubah
Programer film, Dimas Jayasrana, mengatakan negara Eropa sudah melongok film Banyumas. Mereka ingin membawa program ke daerah yang sampai saat ini belum cukup dianggap sebagai pusat seni semacam Yogyakarta itu.

“Paling tidak sudah dua tawaran yang kami tolak karena kalau hanya komunitas dikhawatirkan terlalu lemah. Melalui asosiasi keadaan bisa berubah di masa mendatang,” ujarnya. Selama ini, menurut dia, peredaran film Banyumas di berbagai festival, termasuk mancanegara, efektif mengenalkan budaya Banyumas serta kegiatan seninya.

Jika lembaga dari luar yang mendatangi Banyumas, akan bermanfaat untuk mendukung kampanye pariwisata dan mendorong pertumbuhan ekonomi. “Aktivitas perfilman yang kebanyakan digawangi anak muda juga bisa memberikan kontribusi nyata bagi daerah, selain menaikkan pamor budaya Banyumasan,” ujarnya.

Asosiasi disepakati bernama Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) dan Andreas (Banyumas) dipilih sebagai direkturnya. Kantor pusat di Kota Purwokerto. Uniknya, strategi pendanaan asosiasi terutama disokong oleh iuran anggota, khususnya yang sudah bekerja.

“November-Desember kami akan fokus ke tiga festival film di Jakarta dan Yogyakarta. Setelah itu mulai menyusun program bagi komunitas,” tutur Andreas. Sigit Harjanto-Suara Merdeka-23 Oktober 2007