Sabtu, 28 November 2009

Program Bersama; Kado buat Kota Tercinta


“Pernahkah kita bertanya, apa yang sudah kita berikan untuk kota kita tercinta?”. Pertanyaan ini sangatlah ringan, namun berat untuk menjawabnya. Apalagi sebagai anak muda, generasi yang konon menjadi tulang punggung bangsa, terkadang merasa belum melakukan apa-apa. Malahan sebaliknya, telah banyak yang diberikan oleh Purbalingga.

Tepat rasanya di tahun ini, diusia 178 tahun Kota Purbalingga, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga kembali memberikan ruang kreatif kepada anak muda Purbalingga untuk berkreasi. Ruang ini berupa program bersama dalam menampung kegelisahan anak muda untuk kemudian dipersembahkan sebagai Kado buat Kota Tercinta pada tanggal kelahirannya, 18 Desember 2009.

Dalam sepuluh tahun terakhir, tepatnya selama dua periode dibawah kepemimpinan Bupati Triyono Budi Sasongko, tak terbantahkan pembangunan fisik di Kota Purbalingga begitu gemilang. Masyarakat di luar Purbalingga tak henti-hentinya berdecak kagum.

Sebagai anak muda Purbalingga, bolehlah turut berbangga. Namun, lagi-lagi harus disadari, bahwa tidak ada satu pun pembangunan di segala bidang yang tidak merugikan rakyat sebagai efeknya. Dibalik gemerlap pembangunan; ada kesengsaraan, kemirisan, ironi, ketidakberdayaan masyarakat.

Kerap kali sisi lain dari pembangunan itu tidak ter-cover dan relatif terlewatkan. Bahkan oleh pihak-pihak yang seharusnya berada di garda depan dalam mengkritisi dan mengawasi sisi lain itu. Dan sebagai anak muda Purbalingga tidak boleh diam seribu bahasa.

Kondisi demikianlah yang akan dikritisi dan diangkat dalam Program Bersama itu ke dalam sebuah media (visual dan audiovisual), dalam bentuk karya film dokumenter pendek dan karya foto feature untuk kemudian dihadiahkan sebagai Kado buat Kota Tercinta; Purbalingga.

Bentuk kegiatan dari program bersama ini berupa pemutaran film dan pameran foto. Peserta yang boleh berpartisipasi adalah anak muda Purbalingga atau yang merasa muda dan peduli dengan kotanya. Pengerjaan karya boleh atas nama personal maupun komunitas dan boleh menyerahkan karya lebih dari satu, baik karya film maupun foto.

Pengumpulan karya terakhir pada 16 Desember 2009 atau dua hari menjelang perayaan Hari Ulang Tahun Purbalingga. Pembiayaan proses berkarya ditanggung peserta, sebagai wujud kemandirian berkarya. CLC sekedar memfasilitasi program.

Program bersama ini sekaligus menjawab ketidakseriusan Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Purbalingga dalam mengajak kalangan sineas muda Purbalingga untuk turut terlibat dalam even Gelar Budaya, pertengahan Desember 2009 mendatang.

CLC menilai, dinas baru itu, sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah, masih saja bertindak sebagai even organizer, belum memposisikan diri sebagai fasilitator. Sehingga tidak memberikan ruang gerak yang luas pada para seniman di Purbalingga untuk berkreasi.

Ada atau tidak ada Gelar Budaya, anak muda Purbalingga tidak boleh berhenti berkreasi, tidak boleh berhenti berkarya secara mandiri. Karena dari sinilah jawaban terhadap pertanyaan apa yang anak muda berikan pada kotanya. Bolex

Selasa, 17 November 2009

“Baju Buat Kakek” Lolos Seleksi FFA 2009


Sebuah kebanggaan tersendiri ketika film berjudul “Baju Buat Kakek” buah karya Misyatun, siswi kelas VIII SMP Negeri 4 Satu Atap Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga menjadi satu-satunya film anak dari Jawa Tengah yang terseleksi pada Festival Film Anak (FFA) 2009.

Film pendek berdurasi 15 menit ini merupakan hasil olah kreasi siswa-siswi yang tergabung dalam kegiatan Ekstrakurikuler Film SMP Negeri 4 Satu Atap (sekolah yang masih menginduk pada SD Negeri 2 Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol karena terletak di daerah terpencar dan terpencil).

“Dengan masuk seleksi Festival Film Anak 2009, kami senang dan bangga mempunyai anak didik yang kreatif meskipun mereka hanya tinggal di desa pelosok,” ujar Aris Prasetyo, guru seni rupa sekaligus guru pengampu ekstrakurikuler film di SMP tersebut.

Film yang sempat menjadi pembuka di ajang Purbalingga Film Festival (PFF) pada Mei 2009 lalu ini berkisah tentang siswi bernama Prapti yg mengetahui vonis mati kakeknya karena terkena kanker otak. Pada suatu hari, Kakek Prapti , yang seorang pembuat anyaman cething, mampir ke sebuah toko kain setelah dia berjualan cething bersama Prapti cucunya.

Kakek berniat membeli kain mori/kain kafan sebagai persiapan karena merasa umurnya tak lama lagi. Tapi kain mori yg dicari kakek tidak ada. Prapti yang lugu, awalnya tidak memahami bahwa kain mori adalah kain pembungkus jenazah.

Betapa sedih Prapti saat mengetahui bahwa kain mori yang dicari kakeknya adalah baju untuk orang meninggal. Prapti membuka tabungannya,bahkan rela menjadi pemulung untuk melengkapi tabungannya membeli kain mori sebagai kado terakhir, sebuah Baju Buat Kakek.

Selama kurang lebih satu setengah tahun ekstrakurikuler film di SMP ini berjalan, telah menghasilkan sedikitnya tiga karya, yaitu “Profil SD-SMP”, film pendek “Baju Buat Kakek” dan “Sang Patriot”.

Dukungan sebagai Film Terfavorit
Dari sekitar 46 film yang masuk, akan dinilai oleh juri untuk film terbaik. Selain itu, dipilih pula film terfavorit yang ditentukan dari paling banyak komentar dan suka melalui facebook milik “Festivalfilm Anak”.

Untuk mendukung film “Baju Buat Kakek’, Anda diharapkan menjadi teman “Festivalfilm Anak’ di facebook untuk kemudian membuka halaman video dan memberi komentar di bawah video “Baju Buat Kakek”.

Pada 14-15 November 2009 lalu, 29 film peserta FFA telah diputar dalam Gempar Sumut di lapangan Merdeka sebagai sosialisasi kepada masyarakat. Festival Film Anak (FFA) yang sudah memasuki tahun kedua ini merupakan perhelatan akbar tahunan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) berkolaborasi dengan komunitas film indie di Sumatera Utara (SFD, MSM, KOFI '52, Kensington dan IMMC) dalam rangka mengadu bakat anak dan remaja (10-19 tahun) dalam sinematografi dan produksi film-film pendek (fiksi dan dokumenter). Bolex

Potensi Semarang untuk Film Pendek


Semarang mempunyai potensi besar terhadap perkembangan film pendek di Jawa Tengah. Seperti halnya Solo dan Purwokerto yang mempunyai basis kampus. Setidaknya, kota-kota tersebut bisa mampu bersejajar dengan Yogyakarta, yang sudah lebih dulu maju di bidang film pendek.

Meskipun sebenarnya, bukan jaminan pula kampus akan selalu membawa perubahan dan kemajuan pada bidang tertentu. Tapi setidaknya, dunia kampus merepresentasikan potensi anak muda yang luar biasa, minimal dari sisi intelektual dan semangat keanakmudaannya.

Antusiasme dan semangat anak muda Semarang terwakili pada Diskusi Film Pendek bertajuk “Ide Mini dengan Hasil Maksi”, Minggu, 15 November 2009 lalu, di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang (Unnes).

Diskusi yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unnes kerja bersama Oengoe Cinema Club dan Konfiden Jakarta ini, menjadi puncak kegiatan Parade Film Pendek Unnes yang digelar selama tiga hari.

Pembantu Dekan III FBS Unnes Drs. Dewa Made Kartadinata membuka acara diskusi tersebut. Ia menyampaikan harapan agar hasil diskusi mempunyai pengaruh positif terhadap kegiatan dimasa mendatang. “Kami menghimbau pada peserta diskusi agar kalian banyaklah bertanya, mengkritisi dengan menganalisa bagaimana seluk-beluk film pendek,” katanya.

Beragam Tanya
Diskusi menghadirkan narasumber, yaitu Bowo Leksono (sutradara film pendek dan Direktur Cinema Lovers Community Purbalingga) dan Damar Ardi Atmaja (programer film pendek dari Importal Semarang), serta Dimas (pemeran utama film “Sandal Jepit” dari SMA 1 Purbalingga).

Sebagai pemantik diskusi, diputar terlebih dulu beberapa film pendek dari berbagai kota. Kesempatan perdana, film-film hasil Kompetisi SMA di Purbalingga Film Festival 2009. Untuk kemudian film-film dari kota lainnya.

Peserta yang hadir cukup aktif dengan banyaknya pertanyaan yang disampaikan. Pertanyaan peserta beragam mulai dari bagaimana memunculkan ide kreatif, teknis pengambilan gambar dan pencahayaan, rolling job dalam produksi film pendek, sampai bagaiman kriteria film untuk bisa masuk festival.

Tak hanya kalangan mahasiswa dan umum, pelajar SMA, pun turut bersemangat mengikuti diskusi tersebut. Damar Ardi menjelaskan, ia membuat tema diskusi dengan menyesuaikan kondisi Semarang yang miskin karya film pendek. “Saya berharap acara ini menjadi penyemangat pemuda Semarang untuk berkarya dengan ide yang sederhana saja yang ada di sekitar kita,” ujarnya.

Ketua BEM FBS Sri Waluyo merencanakan kegiatan Parade Film Pendek ini akan dijadikan agenda rutin dalam peringatan Bulan Bahasa dan Seni di Universitas Negeri Semarang. “Ini merupakan langkah positif untuk perkembangan film pendek di Indonesia,” jelasnya. rulia

Senin, 09 November 2009

Bulan Bahasa dan Seni: Unnes Gelar Parade Film Pendek


Film pendek sudah mendapat tempat tersendiri di hati mahasiswa. Terbukti beberapa tahun terakhir, setiap perayaan Bulan Bahasa dan Seni, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (FBS Unnes) memasukkan film pendek menjadi tontonan menarik untuk diapresiasi.

Bertajuk Parade Film Pendek Unnes 2009, even ini akan digelar selama tiga hari mulai 13-15 November 2009, bertempat di Gedung B6 dan B1-106 Fakultas Bahasa dan Seni Unnes, Sekaran, Gunungpati, Semarang.

Gelaran acara yang terbuka untuk umum dan gratis ini diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FBS Unnes kerja bersama Oengoe Cinema Club, sebuah unit kegiatan mahasiswa sinematografi di kampus itu. Acara ini juga mendapat dukungan dari Konfiden Jakarta.

Koordinator parade yang juga Ketua Oenge Cinema Club Radityo Bharmono mengatakan, Parade Film Pendek ini sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap tumbuh kembang film pendek di Indonesia. “Disamping itu juga untuk menggairahkan perkembangan film pendek pendek di Semarang dan di kampus Unnes sendiri,” tuturnya.

Pada parade kali ini, tak hanya menghadirkan film-film dari mahasiswa Unnes. Pun film-film pendek dari kota lain, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Purwokerto dan Purbalingga. Bahkan ada sesi khusus yang memutar film-film pendek hasil olah kreatif pelajar SMA dari Purbalingga.

Diskusi Film

Tidak saja pemutaran film yang akan ditampilkan pada parade itu, tapi juga diskusi film yang menghadirkan Bowo Leksono, sutradara film pendek asal Purbalingga dan Damar Ardi Atmaja, programer film pendek dari Semarang.

Diskusi bertema “Ide Mini Hasil Maksi” ini menekankan pada pencarian ide yang sederhana namun mampu menciptakan hasil karya film yang maksimal dan berkualitas. Diskusi bersifat terbuka bagi pelajar SMA sederajat, mahasiswa dan umum. Berharap para pelaku video dan film di kota Semarang dan sekitarnya mengapresiasi gelaran ini. Bolex

Sabtu, 07 November 2009

Membuat Film sebagai Hobi


Beberapa waktu lalu, ada seorang siswi salah satu SMA di Purbalingga mengirimkan SMS pada saya. Seperti biasa, hendak meminjam handycam untuk syuting film. Biasanya, kawan-kawan SMA mengobrolkan dulu film apa yang hendak mereka produksi sebelum ‘nembung’ untuk memakai peralatan CLC. Kali ini, sebaliknya.

Ternyata mereka mendapat tugas dari salah satu guru untuk membuat film. Hmmm… Atas dasar apa si guru ini dengan semena memberi tugas siswa untuk membuat film. Apakah dia pernah mengajarkan, walau sedikit, teori dan praktik produksi film? Atau karena menilai film pendek sedang menjadi trend di kalangan siswa SMA di Purbalingga? Dan tahu, banyak anak didiknya bergaul akrab dengan CLC?

Saya dan kawan-kawan CLC mencoba mengambil positifnya. Semoga tugas dari guru ini menjadi daya dorong dan memperluas ruang ekspresi bagi siswa. Namun, mengapa sekolah tidak memberi keleluasaan pada siswa untuk memanfaatkan peralatan audiovisual yang ada di sekolah? Apa karena sekolah tahu bahwa CLC memfasilitasi untuk itu? Entahlah.

Sangat disayangkan bila sekolah-sekolah di zaman ini yang sudah dilengkapi peralatan multimedia, dan tak termanfaatkan sebagaimana harusnya. Belum lagi, tak sedikit sekolah yang mempunyai ruang multimedia dengan bangunan mewah, namun berfungsi layaknya museum.

Ada siswa yang tidak diperbolehkan menyentuh peralatan padahal sudah menjadi hak mereka. Tentu dengan alasan takut rusak. Lagipula, mana ada barang di dunia ini yang tidak rusak? Kalau toh diperbolehkan, hanya siswa yang berprestasi secara akademis saja. Sialnya, ada saja sekolah yang hanya guru-gurunya saja yang memanfaatkan fasilitas sekolah. Padahal, tidak juga menjadi pintar para guru itu. Disini perlu ada keikhlasan dari para pengelola sekolah dan kesadaran bahwa fasilitas sekolah diperuntukkan untuk siswa.

Bagi anak-anak SMA di Purbalingga dan Banyumas pada umumnya, membuat film bukanlah hal baru. Mereka mengenal film pendek dari generasi sebelumnya. Anak-anak SMA di Purbalingga sudah mengenal apa dan seperti apa itu film pendek sejak 2004. Saat itu, ada sekelompok anak muda yang mendatangi sekolah-sekolah dengan memutar film-film pendek karya mereka. Dari sinilah awal perkenalan anak-anak SMA dengan film pendek dan juga awal menanam benih regenerasi.

Bagi para pendahulu film pendek di wilayah Banyumas, memperkenalkan film pendek kepada generasi muda, tidak kemudian bermaksud menciptakan para pembuat film. Tapi bagaimana memberi dan memanfaatkan ruang berekspresi. Saya sendiri bahagia bahwa membuat film menjadi hobi saya. Bila hobi ini kemudian menjadi pekerjaan yang menghasilkan uang, yang mampu menghidupi kita, tentu lebih menyenangkan. Bukankah tidak nyaman bila bekerja bukan pada bidangnya dan tak kita sukai?


*Bowo Leksono
Disampaikan pada diskusi Parade Film Pendek Unnes 2009 l Bulan Bahasa l Semarang, 15 November 2009

Jumat, 06 November 2009

Memaksimalkan Ide Mini


Membuat film pendek bukan berarti lebih mudah dibanding membuat film panjang, hanya lantaran perbedaan durasi. Kerap kali, membuat film pendek jauh lebih sulit. Bagaimana tidak, kita menciptakan cerita yang kemudian divisualkan dalam waktu yang relatif singkat.

Sebenarnya, letak sulitnya bukan pada soal hitungan durasi. Namun bagaimana karya kita itu mampu mengantarkan pesan pada penonton. Soal durasi, sebagai pemula, sebaiknya tidak terlalu bergantung kepadanya. Mengalirlah.

Kita akan berhitung soal durasi bila sudah menghasilkan beberapa karya film. Dari situlah kita bisa mengukur dan berpatok pada durasi. Sembari memperkuat sisi penceritaan. Sisanya, kita akan tertempa oleh kebiasaan dan pengalaman dalam berkarya.

Pada tahun-tahun awal saya berkarya, terbiasa membuat film dengan kru yang sederhana. Tiga sampai lima orang saja. Praktis, satu orang memegang lebih dari satu pekerjaan. Bahkan beberapa karya film pendek saya, saya kerjakan sendirian.

Alhasil, saya bisa mengambil gambar sekaligus menyutradarainya, demikian pula saya mengeditnya. Kondisi ini bukan untuk gagah-gagahan, karena semua masih serba sederhana. Referensi, pengalaman, jaringan, peralatan, kawan-kawan yang terlibat, dan banyak lagi lainnya.

Keuntungannya, saya jadi belajar banyak hal soal seluk-beluk proses produksi sebuah film pendek. Namun, tidak selamanya kita akan mampu mengerjakan semuanya sendirian, karena film pada dasarnya adalah karya kolektif.

Yang kerap menjadi pertanyaan kawan-kawan adalah bagaimana memulai dalam berkarya. Kemudian kebingungan berlanjut pada bagaimana prosesnya. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari kawan-kawan yang sudah mempunyai landasan niat dan semangat untuk memproduksi tentunya.

Saya selalu menjawab “ide”lah awalnya. Dan bagaimana memunculkan ide, saya pikir susah untuk diperdebatkan, karena masing-masing manusia mempunyai kemampuan tersendiri dalam melahirkan ide.

Tak harus memaksa diri melahirkan ide yang “wah”. Lihat dan rasakan sekeliling kita, yang dekat dengan kita. Yang kecil, yang mini, dan sederhana. Tentunya referensi dan pengalaman hidup adalah sumber ide yang meruah. Kemudian baru ketangkasan dan kebiasaan kita dalam berkarya.

Dengan demikian, kita belajar membuat karya film pendek dengan ide mini, ide yang sederhana, namun dengan hasil yang maksimal, yang memuaskan tentunya. Memuaskan kita dan penonton film kita.


*Bowo Leksono
Disampaikan pada diskusi “Ide Mini dengan Hasil Maksi”
Parade Film Pendek Unnes 2009 l Bulan Bahasa l Semarang, 15 November 2009