Minggu, 26 Februari 2012

“Kalung Sepatu” SMAN Kutasari Purbalingga Raih Special Mention Stos Film Fest 2012


Film pelajar Purbalingga kembali menoreh prestasi nasional. Kali ini film fiksi “Kalung Sepatu” sutradara Dwi Astuti dari Papringan Pictures ekskul sinematografi SMA Negeri Kutasari, Purbalingga meraih penghargaan special mention dalam ajang South to South (StoS) Film Festival 2012. Malam penganugerahan festival film dua tahunan ini digelar pada Minggu, 26 Februari 2012 di Goethe Institute (Pusat Kebudayaan Jerman) Jakarta.

Pada kategori fiksi, dari 7 film finalis, dewan juri tidak menghasilkan film terbaik. Tapi memberikan penghargaan juri (special mention) untuk film “Kalung Sepatu” dan “Jakarta 2012” sutradara Andra Fembriarto dari Jakarta.

Salah satu juri Perdana Kartawiyudha usai pengumuman mengatakan, kedua film peraih penghargaan itu cukup dekat dengan lingkungan sosial para pembuatnya. “Film-film itu unik sesuai dengan tema festival dan masalah yang diangkat dekat dengan filmmaker-nya,” ungkap pendiri lembaga kursus Serunya Screenwriting ini.

“Kalung Sepatu” berkisah tentang anak lelaki bernama Budi yang dilahirkan dari keluarga buruh tani nira. Budi yang hanya tinggal dengan seorang bapak, mempunyai kegilaan terhadap sepakbola.

Suatu ketika, Budi kesulitan membagi waktu antara membantu bapaknya yang sedang sakit mengambil air nira di pohon kelapa dengan latihan sepakbola. Sampai akhirnya sepatu sepakbola Budi dibakar bapaknya.

Sutradara “Kalung Sepatu” Dwi Astuti mengungkapkan rasa bangga karya filmnya mendapat apresiasi dan penghargaan. “Film “Kalung Sepatu” itu film perdana di sekolah kami. Karena itu, tugas kami memotivasi dan membagi pengalaman membuat film kepada adik-adik kelas kami untuk terus berkarya,” ujar siswi kelas XII ini.

Beberapa catatan prestasi bagi film berdurasi 15 menit yang diproduksi pada 2011 itu antara lain Finalis Festival Film Solo (FFS) 2011 Kategori Gayaman Award dan Film Fiksi Terbaik Festival Film Purbalingga (FFP) 2011.

Pada penyelenggaraan StoS Film Festival kali ini, 3 film fiksi dan 4 film dokumenter Purbalingga berhasil menjadi finalis. Sementara catatan StoS Film Festival 2010, film Purbalingga “Sang Pawang Air” sutradara Bowo Leksono juga berhasil meraih special mention.

Sabtu, 25 Februari 2012

Koordinator ICW: Potongan gambar money politic bisa sebagai barang bukti


Tekanan kuat Pemerintah Kabupaten Purbalingga melarang film “Bupati (Tak Pernah) Ingkar Janji” produksi Cinema Lovers Community (CLC) diputar di wilayah Purbalingga justru mendapat perhatian dari South to South (StoS) Film Festival 2012.

Festival dua tahunan ini memakai film berdurasi 45 menit tersebut sebagai pemantik diskusi bertema “Menembus Batas: Film/Media Visual sebagai Media Komunikasi ke Publik” pada Jumat, 24 Februari 2012 di Kineforum Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Diskusi yang diawali pemutaran film ini menghadirkan pembicara Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko, praktisi media Ismujiono, dan sutradara film “Bupati (Tak Pernah) Ingkar Janji” Bowo Leksono.

Danang Widoyoko mengatakan film yang kejadian-kejadiannya ada dibanyak tempat di Indonesia ini merupakan cerminan lokal realitas demokrasi kita. “Bagaimana gambaran riil demokrasi kita yang terbingkai janji-janji calon bupati dalam Pilkada yang realitanya berbeda dan ini berhasil dipotret,” ujarnya.

Menurut Ismujiono peristiwa pelarangan pemutaran film ini sendiri merupakan publikasi bagi film dan komunitas pembuatnya. “Kondisi ini semakin membuat masyarakat luas penasaran akan isi filmnya. Terlebih film ini mengangkat fenomena yang tidak banyak terekspos media,” katanya.

Sementara menurut Bowo Leksono, ada kabar yang sampai ke pihaknya bahwa bupati sempat akan memperkarakan isi dari film tersebut. “Tuduhannya kami melakukan pencemaran nama baik. Bila tuduhan ini terjadi, justru yang kami tunggu-tunggu,” tegasnya.

Proses Hukum
Menjawab pertanyaan peserta diskusi terkait potongan gambar politik uang, apakah kemudian film ini bisa menjadi barang bukti untuk diproses secara hukum? Danang menjelaskan sangat bisa apalagi aktornya calon bupati sendiri yang sekarang menjabat. “Potongan gambar money politic dalam filmnya Bowo Leksono bisa sebagai barang bukti untuk menggugat bupati dan ini bisa mempunyai dampak secara langsung,” jelas Koordinator ICW ini.

Di Purbalingga, film ini baru diputar dua kali. Pemutaran kedua di Desa Kradenan, Kecamatan Mrebet, nyaris dibubarkan aparat. Karena itu, tidak ada lagi pemuda desa yang mendapatkan izin putar di desanya. Rencana roadshow pun gagal.

Salah satu pendiri StoS Film Festival Siti Maimunah diakhir diskusi menawarkan film ini untuk turut masuk program roadshow ke berbagai daerah di Indonesia. “Film ini baik untuk pembelajaran berdemokrasi di Indonesia,” ujarnya.

Minggu, 19 Februari 2012

Produksi Film “Bukan Bangku Sekolah” SMAN Kutasari Purbalingga


Dua anggota aparat dengan sepeda motor melaju lalu berhenti di halaman sebuah plasma (pabrik bulu mata/rambut palsu rumahan). Belasan buruh yang keseluruhannya perempuan yang sebelumnya berbincang ceria pun sontak terdiam dan saling berbisik.

Aparat masuk untuk menemui bos/pemilik plasma mempertanyakan kebenaran tempat itu mempekerjakan buruh di bawah umur seperti diberitakan koran. Tidak begitu lama, mereka pun keluar dari ruangan bos dengan senyum mengembang.

Nukilan adegan ini dibangun oleh para pelajar SMA Negeri Kutasari Purbalingga yang tergabung dalam Papringan Pictures Ekskul Sinematografi. Mereka sedang melakukan pengambilan gambar film fiksi sebagai program tahunan selama dua hari, Minggu-Senin, 19-20 Februari 2012.

Film bertajuk “Bukan Bangku Sekolah” ini berkisah dua remaja bersahabat Roh dan Tum. Mereka baru menamatkan sekolah dasar namun mempunyai keinginan yang berbeda. Roh ingin melanjutkan sekolah, sementara Tum ingin langsung bekerja.

Keadaan ekonomi membawa kedua remaja ini berkubang di dunia kerja sebagai buruh bulu mata palsu, seperti halnya ratusan remaja lain. Pada akhirnya, pilihan apapun menjadikan mereka serba salah.

Realita yang Difiksikan
Film yang seluruh lokasi sutingnya di wilayah Kecamatan Kutasari, Purbalingga ini berangkat dari hasil film dokumenter yang diproduksi sebelumnya. Riset dokumenter itu terkait ratusan buruh di bawah umur yang ada di Kecamatan Kutasari yang bekerja di plasma buruh rambut dan bulu mata palsu.

Sutradara “Bukan Bangku Sekolah” Winda Novia Wardani mengutarakan 80 persen cerita film fiksi ini adalah realita yang terjadi pada para buruh anak dan tempat kerja mereka. “Adegan-adegan yang kami ciptakan berangkat dari kenyataan. Seperti aparat keamanan yang mendatangi plasma dan kampanye calon bupati yang menjanjikan pendidikan gratis hingga tingkat SMA,” tutur siswi kelas XI.

Sementara guru pembina ekskul sinematografi Catur Andianto mengatakan sebagai sebuah ekskul yang baru jalan setahun, sinematografi mendapat dukungan dari pihak sekolah. “Apa yang dipelajari dalam sinematografi sangat bagus untuk perkembangan mental dan pengetahuan bagi siswa,” ujar guru Bahasa Indonesia ini.

Sabtu, 18 Februari 2012

KKN Unsoed di Cilacap Gelar Layar Tancap


Tahun 1980-an, hiburan rakyat layar tancap berupa pemutaran film di ruang publik begitu hidup. Memasuki era 1990-an seiring mati surinya perfilman nasional mati pula perusahaan-perusahaan jasa pemutaran film layar tancap. Kini, tontonan itu sudah jarang ditemukan.

Layar tancap kekinian ada, khususnya di wilayah Banyumas Raya, seiring kemajuan teknologi digital dengan pelaku para pegiat film independen. Mereka menggunakan peralatan putar digital yang serba praktis terlebih materi film yang diputar adalah produk lokal.

Berbagai kesempatan, tempat dan acara, layar putih bisa dibentangkan di tempat lapang atau di jalan. Seperti di kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Posdaya Universitas Soedirman di RW XVII Kelurahan Gumilir, Kecamatan Cilacap Utara, Cilacap, Sabtu, 18 Februari 2012.

Koordinator KKN Posdaya Unsoed Yanuar Purbo mengatakan kegiatan layar tancap yang bekerjasama dengan Cinema Lovers Community (CLC) tidak sekedar memberi hiburan gratis kepada masyarakat tapi juga tontonan yang mendidik. “Dengan berkumpul bersama sembari menonton film, kebersamaan kami dengan warga semakin terasa,” ungkapnya.

Keseluruhan film yang diputar adalah film-film pendek yang diproduksi anak muda Purbalingga seperti Pigura sutradara Darti dan Yasin, Sarung sutradara Anis Septiani, Ada Gula Semut sutradara Bowo Leksono, Kado Suket sutradara Puspa Juwita, Mata Buruh sutradara Nanda Dian Sari, Endhog sutradara Padmashita Kalpika, Ling Lung sutradara Amrizal Faturrohman, Kalung Sepatu sutradara Dwi Astuti, dan Sekitar Midnight sutradara Felix dan Pito.

Sudah sejak sore hari, warga terutama anak-anak antusias menyambut adanya tontonan film lokal ini. Terlebih saat malam tiba. Ratusan warga tua dan muda termasuk para kader Posdaya Tunas Alamanda Kelurahan Gumilir berkumpul di jalan dan halaman rumah warga dimana layar putih terbentang. Acara makin meriah dengan pembagian doorprize dari mahasiswa KKN untuk warga.

Menurut Lurah Gumilir Edi Hartoyo, SE, pihaknya merasa senang para mahasiswa KKN mampu memberi hiburan yang mendidik bagi warganya. “Selain untuk mempererat silaturahmi antarwarga, layar tancap juga efektif untuk sosialisasi program desa,” tuturnya.

Minggu, 12 Februari 2012

Produksi Film “Mentari di Sambirata” SMAN Rembang Purbalingga


Lepas subuh, puluhan pelajar sudah berada di sebuah hamparan pasir diantara dua aliran sungai di Gerumbul Sambirata, Desa Wanogara Kulon, Kecamatan Rembang, Purbalingga. Mereka sedang menunggu eloknya sinar mentari yang datang dari ufuk timur.

Para pelajar SMA Negeri Rembang Purbalingga yang tergabung dalam ekskul sinematografi itu sedang melakukan suting film pendek bertajuk “Mentari di Sambirata”. Pengambilan gambar selama dua hari, 12-13 Februari 2012, keseluruhannya dilakukan di Gerumbul Sambirata tempat dimana satu-satunya sentra gerabah di Purbalingga.

Film yang rencananya hendak dikirim ke Festival Film Purbalingga 2012 ini mengisahkan seorang gadis bernama Martini yang tinggal di sebuah desa dengan masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidup dari membuat gerabah.

Jarang pemuda desa betah tinggal di desa. Martini hanya salah satu yang berusaha bertahan. Sementara Wartono, kekasihnya, dengan mantap berpamitan ke Jakarta. Ningsih, teman kecil Martini, juga hendak hengkang ke ibukota.

Semua itu karena tidak ada yang bisa diharapkan dari membuat gerabah. Bagi Martini, bertahan di desa bukan sekedar sebagai pelestari budaya. Bahwa orang-orang yang ke Jakarta pun belum tentu meraih kesuksesan.

Dukungan Sekolah
Sutradara film “Mentari di Sambirata” Astri Rakhma Adisty mengatakan film ini berangkat dari proses produksi film dokumenter yang sudah diproduksi sebelumnya tentang nasib para pengrajin gerabah Sambirata. “Kami merasa belum selesai berproses dengan masyarakat Sambirata. Karena itu, kami mempersembahkan lagi kisah fiktifnya,” ujar sutradara terbaik Festival Film Anak Medan 2011 ini.

Saat pengambilan gambar, masyarakat Gerumbul Sambirata antusias membantu para pelajar dalam proses pengambilan gambar. Tidak hanya itu, anak-anak dan orang dewasa yang dibutuhkan untuk menjadi figuran pun mudah didapat.

Menurut guru pembina ekskul sinematografi, Puji Rahayuning Pratiwi, S.Pd., sebagai sebuah kegiatan ekstrakulikuler, produksi film ini mendapat dukungan penuh dari pihak sekolah. “Tidak hanya dana produksi tapi juga waktu untuk siswa melakukan kegiatan kreatif dengan memberi izin tidak berangkat ke sekolah,” ungkapnya.

Selasa, 07 Februari 2012

Menyoal Ruang Berkesenian di Purbalingga


Bicara ruang fisik terkait ekspresi dan apresiasi seni di Kabupaten Purbalingga tak terlepas dari kabupaten-kabupaten tetangga di wilayah Banyumas Raya. Penamaan istilah Banyumas Raya merujuk pada kabupaten eks-karesidenan Banyumas, yaitu di empat kabupaten (Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara), yang ruang berkeseniannya tidak menggembirakan. Kondisi demikian terjadi sudah sejak lama.

Praktis diantara empat kabupaten itu hanya Banyumas, tepatnya Purwokerto sebagai pusat pemerintahan kabupaten Banyumas, yang memiliki gedung kesenian. Itu pun tidak berfungsi dengan baik.

Konflik vertikal dan horisontal kental melingkupi sehingga gedung kesenian bernama Sutedja (nama itu diambil dari komponis se-zaman Ismail Marzuki asal Banyumas) seperti mangkrak. Jarang sekali ada peristiwa kesenian di gedung berarsitek Belanda itu. Selain kondisinya yang kurang terawat, sistem pemanfaatan gedung pun tidak dibuat dengan baik.

Bila Banyumas sebagai kabupaten yang paling maju di Banyumas Raya saja tidak memberikan kenyamanan ruang bagi seniman dan apresiannya, apalagi di tiga kabupaten lain? Kemajuan Purwokerto sebagai ibukota Kabupaten Banyumas secara fisik terlihat dari pesatnya perdagangan dan menjadi pusat pendidikan dengan bertebarannya kampus.

Kabupaten Cilacap yang secara geografis berada di pesisir pantai selatan menjadi pusat berdirinya perusahaan-perusahaan nasional dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) seperti semen Holcim dan Pertamina. Kondisi menguntungkan ini ternyata masih belum berpihak pada pelaku seni di Cilacap.

Tanpa Gedung Kesenian
Kondisi Kabupaten Banjarnegara tak jauh beda dengan Kabupaten Purbalingga. Pusat kota kedua kabupaten ini relatif tenang, terlebih di malam hari. Lewat jam 9 malam, pertokoan tutup, kota sepi, bahkan boleh dibilang mati. Hanya menyisa beberapa titik pusat kuliner.

Hal yang membedakan, Purbalingga dikenal lebih marak pembangunan fisik. Meski realitanya masih terpusat di kota. Jalan, patung, taman kota, dan gedung-gedung mercusuar, beberapa proyek bangunan pariwisata. Belum lagi pabrik-pabrik yang turut didirikan di pusat kota. Kenyataan fisik ini berhasil membuai mata orang akan sebuah keberhasilan.

Di tengah kesemrawutan konsep tata kota Purbalingga ternyata tidak bisa ditemukan bangunan yang diperuntukkan bagi kaum seniman dan para apresiannya. Bila dihitung, ada belasan gedung baik milik instansi pemerintah maupun swasta. Namun, gedung-gedung itu setipe. Hanya pas untuk pernikahan selebihnya untuk pertemuan dan rapat partai.

Belum dibutuhkan seluas taman budaya sebenarnya. Sebuah gedung sederhana yang representatif bagi kehadiran peristiwa budaya, cukup sudah. Sehingga tak lagi orang mengeluh lepas jam 9 malam kota menjadi mati tanpa tempat hiburan karena jelas tanpa mal dan gedung bioskop.

Tanpa bermaksud membandingkan, fasilitas gedung lebih banyak untuk bidang olahraga. Terakhir sebuah gelanggang olahraga (gelora) dibangun megah bernama Goentoer Darjono yang menjadi pusat kegiatan olahraga di Purbalingga. Banyak gedung lain yang juga dimanfaatkan sebagai pusat olahraga seperti GOR Mahesa Jenar. GOR tersebut bahkan sempat menjadi venue bagi Purbalingga Film Festival ditahun 2008.

Nasib kesenian, baik modern apalagi tradisi, selalu terpinggirkan. Seniman harus pandai menyiasati ruang yang ada dan seadanya. Siasat ini terkait teknis dan dana. Bagaimana ruang-ruang yang tidak representatif itu menjadi ‘lumayan’ sebagai sebuah ruang eksebisi dan tidak banyak menghabiskan dana.

Ruang Pemutaran Film
Sejak tahun 2004, konsentrasi berkesenian anak muda Purbalingga bergeser ke cabang seni baru bernama sinematografi. Film pendek menjadi pilihan mereka berekspresi dan berkarya. Basis terkuat di kalangan pelajar SMA, karena tidak ada kampus di Purbalingga. Selain beberapa kelompok produksi film non-pelajar.

Sebuah komunitas bernama Cinema Lovers Community (CLC) terbentuk melakukan kerja-kerja fasilitasi. Selain produksi, komunitas ini juga menjalankan program workshop, eksebisi (pemutaran) dan distribusi karya. Sejak 2007 hingga saat ini, program festival film pun digelar.

Banyak kendala yang dialami CLC dalam menjalankan program pemutaran film. Ketiadaan gedung (ruang) kesenian membuat para pegiat film harus panjang akal. Setiap kali menggelar program pemutaran di ruang tertutup (indoor) pegiat berusaha menyulap ruangan menjadi bioskop. Hanya sering kali pengap karena tidak ada fasilitas pendingin.

Pilihan ruang pemutaran lain dengan menjalin kerjasama dengan café. Meskipun secara teknis, permutaran film di café jauh dari nyaman, paling tidak menjadi pilihan ruang bagi pengkarya dan pilihan tontonan bagi apresian.

Gerilya para pegiat film Purbalingga tidak hanya ke sekolah-sekolah untuk memutar film di ruang-ruang kelas dan menggelar workshop. Mereka juga menyambangi masyarakat hingga pelosok desa memberi tontonan alternatif dengan media layar tancap.

Layar tancap bagi pegiat film Purbalingga menjadi ruang putar yang ampuh. Disamping mampu menyerap banyak penonton, layar tancap juga menjadi tontonan warga yang relatif aman. Keamanan disetiap gelaran kesenian menjadi kendala tersendiri bagi para seniman karena menjadi makanan empuk aparat kemanan dengan jalan mempersulit izin pentas.

Persoalan perizinan keamanan yang menjadi salah satu kendala besar tentu tidak akan ada bila pemerintah daerah dengan kebijakannya memfasilitasi warga berupa gedung kesenian yang pembangunan dan sistem pemanfaatannya melibatkan kaum seniman dan masyarakat.


Bowo Leksono
Pegiat film, tinggal di Purbalingga

Minggu, 05 Februari 2012

7 Film Purbalingga Finalis StoS Film Fest 2012


Sebanyak 7 film pendek dokumenter dan fiksi dari Purbalingga berhasil menjadi finalis di ajang South to South (StoS) Film Festival 2012. Dengan perincian 4 film dokumenter pendek dan 3 film fiksi pendek. Untuk fiksi, seluruh sutradara adalah pelajar SMA.

Film-film tersebut adalah “X(Kali)” sutradara Ayun Endrayanto, “Dari Kolong Ibukota” sutradara Benny Benke, “Mata Buruh” sutradara Nanda Dian Sari, “Trima Hidup Apa Adanya” sutradara Bowo Leksono, “Kado Suket” sutradara Puspa Juwita, “Kalung Sepatu” sutradara Dwi Astuti, dan “Sarung” sutradara Anis Septiani.

Menurut sutradara film “Mata Buruh” Nanda Dian Sari, dirinya tidak pernah membayangkan film pertamanya masuk finalis sebuah festival film. “Saya membuat film ya karena saya ingin belajar. Dengan film, saya bisa belajar mengenal lingkungan. Subyek dalam film dokumenter saya ada di lingkungan sekitar, tentang buruh bulu mata palsu yang tidak mendapat jaminan kesehatan dengan baik,” tutur mahasiswa Fisip Unsoed Purwokerto ini.

Sementara pegiat Cinema Lovers Community (CLC) Muhammad Febrianto mengatakan dengan banyaknya film Purbalingga yang menjadi finalis menandakan banyak pula isu yang diangkat ke dalam medium film yang sesuai dengan festival ini. “StoS Film Fest memfokuskan esensi isu lingkungan, baik dikemas melalui sudut politik, sosial, budaya, dan ekonomi,” katanya.

Sejak dibuka pendaftaran festival kali keempat ini, panitia menerima 53 film pendek dokumenter dan 32 film pendek fiksi dari seluruh pembuat film di Indonesia. Sejumlah 13 film pendek dokumenter dan 7 film pendek fiksi dinyatakan lolos ke putaran final.

Seluruh film finalis berkesempatan diputar dan diapresiasi selama festival berlangsung dari 22-26 Februari 2012, di Jakarta. Dewan juri akan menetapkan film pendek dokumenter terbaik, film pendek fiksi terbaik, StoS award film pendek dokumenter pilihan penonton dan film pendek fiksi, serta dimungkinkan adanya special mention masing-masing kategori.

Menurut Programer StoS Dimas Jayasrana, penilaian terhadap film-film yang masuk dilakukan dengan tidak meninggalkan ide cerita, sudut pandang artistik, serta nilai dan norma sinematografi. “Namun di dalam proses penjurian StoS, ada satu titik penilaian yang ditekankan, yaitu sikap dasar. Artinya, film-film yang dipilih oleh juri mampu diterima dan dicerna secara logika,” ungkapnya.

Tidak hanya logika para juri, tambah Dimas, namun juga bagi masyarakat luas. Karena itu, penonton sengaja diikutsertakan sebagai penilai agar terlihat antusiasnya terhadap StoS dan pemahaman dari isi film yang ditayangkan.