Selasa, 22 April 2008

BSF #8 -- Air di Mata Filmmaker Banyumas


Air bersih adalah salah satu kebutuhan penting manusia. Benda yang dulu dianggap benda sosial, kini anggapan itu tak lagi relevan. Kelangkaan air bersih banyak dialami penduduk di belahan dunia. Tak terkecuali tanah air kita.

Meskipun Indonesia dikaruniai banyak air dengan curah hujan yang relatif tinggi, namun kelangkaan air tetap terjadi di berbagai daerah. Banyak warga yang kesulitan mengakses air bersih. Air bersih menjadi kebutuhan mendasar yang tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.

Persoalan rumit air, disikapi para pembuat film di Banyumas dengan karya-karya film pendek mereka. Terdapat delapan karya film pendek dokumenter yang hendak diusung pada program Bamboe Shocking Film! (BSF) yang digelar Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga.

Program bulanan yang sudah memasuki bulan kedelapan ini akan digelar pada Sabtu, 26 April 2008, pukul 19.00 WIB, di Café Bamboe, sebelah timur alun-alun Purbalingga. Bagaimana air di mata filmmaker Banyumas?

Cerita Mangsa Ketiga
Sutradara Ari Wahyu Setiawan, Produksi Pilaxz Production, Cilacap
Sinopsis: Keluh kesah warga desa Mentasan, Cilacap saat musim kemarau tiba.

Kampung Laut
Sutradara Insan Indah Pribadi, Produksi Komunitas Sangkanparan, Cilacap
Sinopsis: Kampung Laut adalah salah satu daerah yang dikelilingi oleh lautan. Meskipun banyak air, namun kondisi air di Kampung Laut dapatdikatakan memprihatinkan. Selain airnya asin, pada musim kemarau, mereka sulit mendapatkan air bersih. Dan pada musim hujan mereka memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari.

Sang Pawang Air
Sutradara Bowo Leksono, Produksi Gold Water, Purbalingga
Sinopsis: Mujamil bukan seorang insinyur apalagi profesor. Ia hanya seorang guru agama di sebuah SD dan SMP. Namun kepedulian pada masyarakat mampu mendorongnya menciptakan alat pembagi air bersih. Pantas ia dijuluki "pawang air".

Banyu Ilang
Sutradara Sigit Harsanto, Produksi Oemah Film, Purwokerto
Sinopsis: Banyumas merupakan nama sebuah kabupaten di Jateng. Nenek moyang warga Banymas mewariskan kearifan lokal yang menyiratkan hubungan harmonis antara manusia dan air. Namun, akibat krisis ekonomi, generasi sekarang melupakannya. Hutan rakyat, hutan perkebunan dan bahkan hutan lindung dieksploitasi tanpa mengindahkan usaha perbaikan kembali. akibatnya, hanya dalam 4 tahun, sebanyak 85% mata air menghilang. Hanya tersisa 444 mata air bagi 1,7 jiwa. Akibatnya eksploitasi krisis dan konflik pun meningkat.

Poh Kumbang
Sutradara Ayuningtyas Hapsari, Produksi RGB Picture, Banyumas
Sinopsis: Desa Poh Kumbang adalah sebuah desa yang berhasil dalam keterpurukan masalah air. Desa terpencil yang dilewati DAS ini berhasil menjadi desa percontohan konservasi air, padahal sebelum ada konservasi air, desa ini selalu banjir dan kekeringan sehingga banyak sumber penyakit.

Sleweran Karang Jati
Sutradara Wasis Setya Wadhana, Produksi La Cimplung, Purwokerto
Sinopsis: Kehidupan masyarakat Karangjati dengan keterbatasannya dalam mendapatkan air. Sleweranlah satu-satunnya sahabat mereka. Hanya saja situasi mereka untuk mendapat air, sangat dilematis.

Dalam Air Cinta pun Ada
Sutradara Heru C. Wibowo, Produksi UTDC Film, Purbalingga
Sinopsis: Seberapa besar pengaruh air dalam hubungan percintaan.

Air Kehidupan
Sutradara Muhammad Febrianto, Produksi Care Community, Purbalingga
Sinopsis: Keberadaan air yang mulai terancam di dunia yang sebenarnya air adalah kehidupan. Bolex

Selasa, 08 April 2008

Festival Film di Kota Kecil

Disampaikan saat Jember Film Festival, Sabtu 5 April 2008
Duaribu empat, itulah salah satu momen terpenting bagi para pegiat film di Purbalingga, kota kecil di mana masih saja banyak orang bertanya: di mana letaknya?

Tentu bukan tentang letak Kota Purbalingga yang akan saya catat di sini, melainkan orang-orang muda yang memotori lahirnya karya-karya film Purbalingga, pada tahun tersebut hingga saat ini.

Tekad dan Berserikat
Saat itu tentu saja terbersit dalam pikiran mereka: film apa? Lalu pertanyaan bergeser menjadi: kalau sudah jadi, mau diputar di mana? Pertanyaan itu masih berlanjut dan akan sangat panjang apabila dideret sedemikian rupa. Percayalah, terlalu banyak ketakutan untuk berkarya hanya akan membuat kepala terasa ngilu.

Orang-orang muda dari kota antah-berantah ini akhirnya berpikir sederhana, bahwa mereka membuat film karena memang harus membuat. Tak lebih tak kurang. Persetan dengan segala macam ketakutan.

Teknologi yang relatif murah dan mudah sudah barang tentu mendorong lahirnya proses-proses kreatif ini. Selain tentu saja sebongkah tekad yang bulat-mantap untuk melakukan eksplorasi seni. Maka berkaryalah mereka. Siapkan ide dan konsepsi. Datangkan alat perekam seadanya. Bersepakatlah dengan beberapa kawan yang dikenal. Sediakan tenaga sekuat kuda. Dan jangan pelit keluarkan duit meski kesusahan sedang melilit.

Bermodal itulah, anak-anak muda Purbalingga membikin karya sampai sekarang. Kondisi demikian saya rasa dialami pula oleh kawan-kawan di kota lain, termasuk yang paling tak terdeteksi dalam peta sekalipun!

Satu demi satu film terproduksi. Berbarengan dengannya, belasan komunitas film di Purbalingga muncul. Maka pada 4 Maret 2006 dirasa perlu membentuk satu lembaga asosiasi komunitas film di Purbalingga, Cinema Lovers Community (CLC). Kerja-kerja asosiasi berupa fasilitasi produksi dan distribusi film dilakoni oleh CLC, selain mengadakan pemutaran film pendek.

Mulai dari pemutaran dengan ruang kecil, roadshow ke sekolah-sekolah, layar tancap, hingga gedung berkapasitas besar. Namun bagi pembuat film dan masyarakat Purbalingga, ruang pemutaran yang ada masih dirasa kurang dan akhirnya dianggap perlu menggagas sebuah festival film.

Kebutuhan Festival
Dalam kurun waktu satu tahun setelah kelahirannya, CLC mengadakan sebuah festival kecil berskala lokal, Parade Film Purbalingga (PFP), yang dihelat pada 7 Juli 2007. Melihat kebutuhan yang lebih, program yang dirancang tiap tahun ini diperluas dengan melibatkan komunitas-komunitas film di Indonesia. Perubahan nama dirasa perlu untuk menjangkau ingatan masyarakat umum. Maka tercetuslah nama: Purbalingga Film Festival (PFF).

Festival ini digagas tanpa perlu menjawab pertanyaan konyol di manakah letak Kota Purbalingga, karena niat baik untuk turut memperkuat perkembangan film pendek Indonesia sudah di ubun-ubun.

Dan posisi festival film di kota kecil yang tak tercantum dalam peta itu tentu bukan untuk diperlawankan dengan kota-kota yang lebih—sebutlah—dikenal, melainkan untuk semakin menguatkan persebaran film-film pendek agar memasyarakat dan nantinya menjadi kultur yang benar-benar ada, bukan sekedar mengada.

Maka para hadirin yang terhormat,
Sambutlah Jember Film Festival!
Sambutlah Purbalingga Film Festival!
Sambutlah festival film di kota-kota kecil lainnya!


Bowo Leksono
Direktur Purbalingga Film Festival