Sabtu, 25 Januari 2014

Produksi Dokumenter SMA Kutasari Purbalingga


Sepagi itu, sebelum terdengar adzan dari pengeras suara masjid dan mushola, Suwini (39) sudah berhadapan dengan lampu neon menata helai rambut demi rambut menjadi bakal bulu mata palsu.

Disela kesibukan sebagai ibu rumah tangga dan istri seorang penderes (perajin gula merah), Wini menyempatkan ngidep (membuat bulu mata palsu) untuk tambahan pendapatan suami yang memang tak mencukupi.

Sementara suami, Suwitno (41), sehari dua kali, pagi dan sore, harus turun naik 21 pohon kelapa yang disewa untuk mengambil air nira. Harga gula merah (jawa) tak semanis rasa gula yang dihasilkan pasangan tiga anak Witno dan Wini.

Kehidupan keluarga penderes dan pengidep yang tinggal di Desa Candiwulan, Kecamatan Kutasari, Purbalingga itu coba ditangkap kamera pelajar SMA Kutasari Purbalingga yang tergabung dalam Papringan Pictures ekstrakulikuler sinematografi menjadi sebuah film dokumenter.

“Banyak keluarga di wilayah Kutasari dan Purbalingga umumnya yang kepala rumah tangga berprofesi sebagai penderes dan perempuannya pengidep. Mereka yang diluar Purbalingga, tidak banyak tahu seperti apa kehidupannya, untuk itu dokumenter ini kami buat,” tutur Achmad Lutfi, periset sekaligus sutradara.

Lutfi dan beberapa temannya telah beberapa bulan melakukan pengamatan terhadap kehidupan keluarga penderes. Setelah dirasa cukup, mereka menjadwalkan pengambilan gambar selama lima hari, Rabu-Minggu, 22-26 Januari 2014.

“Selain teknik kamera yang diterapkan, kesabaran menjadi kunci dalam produksi dokumenter ini. Kami mengikuti jam demi jam kehidupan meraka dengan segenap konfliknya,” ungkap penata kamera, Lutfi Utami.

Kepala SMA Kutasari Joko Suryanto mengaku dirinya yang meminta siswa ekskul sinematografi untuk memproduksi film terkait kehidupan penderes. “Kami mengamati, perjuangan hidup keluarga penderes itu luar biasa. Setiap hari mereka berhadapan dengan resiko jatuh dari pohon kelapa. Menurut kami, ini menarik bila difilmkan,” ujarnya.

Selain bagian dari program ekskul sinematografi, produksi dokumenter ini rencananya dikirim pada program kompetisi pelajar SMA se-Banyumas Raya Festival Film Purbalingga (FFP) yang digelar Mei 2014 mendatang.

Kamis, 23 Januari 2014

Pengendalian Hama Wereng

Wereng sampai saat ini masih dianggap sebagai hama utama pada pertanaman padi karena kerusakan yang diakibatkan cukup luas dan hampir terjadi pada setiap musim pertanaman. Serangan Hama wereng coklat dapat mengakibatkan puso atau gagal panen. Secara langsung  kemampuan serangga wereng coklat menghisap cairan jaringan tanaman padi sehingga tanaman menjadi kering dan akhirnya mati.

Hama wereng hijau dapat menjadi penyebar virus tungro, virus yang menyebabkan penyakit kerdil yang dapat menyebabkan kehilangan hasil yang besar pada produksi tanaman padi. Fase pertumbuhan tanaman padi yang rentan terhadap serangan Wereng Hijau adalah saat fase persemaian sampai pembentukan anakan maksimum, yaitu saat tanaman padi umur 30 hari setelah tanam.



Serangan Hama Wereng



Wereng hijau menyukai tanaman yang dipupuk N (urea) dosis tinggi dengan jarak tanam rapat. Serangan yang rentan adalah sejak pembibitan hingga fase masak susu. Gejala kerusakan wereng hijau yang ditimbulkan adalah tanaman menjadi kerdil, anakan yang dihasilkan berkurang.

Wereng coklat menghisap cairan dari dalam jaringan pengangkut tanaman padi yang dapat menimbulkan kerusakan ringan sampai berat pada hampir semua fase tumbuh sejak fase bibit, anakan, sampai fase masak susu (pengisian). Gejala kerusakan wereng coklat yang tampak dari serangan wereng coklat terlihat dari daun yang menguning kemudian tanaman mengering dengan cepat (seperti terbakar).



Pengendalian Hama Wereng



Mengendalikan hama wereng pada tanaman padi  juga harus menggunakan cara yang dilakukan dalam PHT (Pengelolaan Hama Terpadu). Adapun cara tepat mengendalikan hama wereng  pada tanaman padi adalah ;

  1. Gunakanlah VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng) diantaranya; IR64, IR74, Ciherang, cimelati, Inpari 13, Padi Hibrida Maro,  Rokan,  Hipa-4,  Hipa-5,  Hipa-6, dll.
  2. Pengaturan pola tanam untuk memutus siklus perkembangan organisme penggangu tanaman. Lakukan pola tanam padi padipalawija. 
  3. Tanam jajar legowo untuk mengurangi kerapatan agar tanaman tidak terlalu lembab. Bisa digunakan system tanam jajar legowo.
  4. Pengurangan pemberian pupuk N (Urea) yang berlebihan, Rekomendasi pupuk urea pada tanaman padi adalah 300 kg per hektar atau per long 10 = 21 kg.
  5. Laporkan apabila terjadi serangan hama wereng kepada Petugas Pengamat Hama Kecamatan.
  6. Langkah terakhir gunakanlah pestisida secara bijaksana. Pengendalian hama wereng dengan cara penyemprotan  pestisida untuk insektisida diantaranya dapat menggunakan; aplaud, mipcin, winder, OBR, plenum dll.
    Penyemprotan Pestisida dengan bijaksana
  7. Hindari penggunaan insektisida piretroid sintetik karena dapat sebagai pemicu timbulnya wereng yang akibatnya akan terjadi ledakan wereng.
  8. Pada areal persawahan yang luas, lakukanlah penyemprotan masal, agar hama wereng pada lokasi tersebut dapat ditekan agar jumlah populasi perkembangbiakan hama wereng berkurang.
    

 by; Yusuf Himura

Keluarga Penderes dan Pengidep


Sepulang menjual gula merah, Suwitno (41) menghampiri Suwini (39), istrinya, saat sedang memasak mi instan di dapur untuk sarapan anak-anak mereka. Witno duduk lalu mengeluarkan uang Rp 60 ribu dari sakunya dan diberikan pada Wini.

Pagi itu, seperti biasa, tidak banyak gula merah (jawa) yang mereka hasilkan dari 21 pohon kelapa yang disewa untuk dideres. Harga gula merah seperti tidak pernah berpihak pada keluarga para penderes (pengambil air nira).

Ujarku rega gula ajeg bae kawit gemiyen ya? Padahal rega sembako ya mundak terus. (Saya kira harga gula merah tidak pernah naik sejak dulu ya? Padahal harga sembako naik terus),” tutur Wini. “Ya ngkana-ngkanane mestine ana sing ngatur. Dewek si gari nrima tok. (Ya disana mestinya ada yang mengatur. Kita tinggal nerima saja),” sela Witno.

Witno dan keluarga tinggal di RT 10 RW V Desa Candiwulan, Kecamatan Kutasari, Purbalingga. Mereka dikaruniai tiga anak, Elma Patiti (18) yang hanya sampai lulus SMP dan saat ini membantu orang lain berdagang di pasar, Julita Purwaningsih yang duduk di kelas VI SD Candiwulan, dan Khayan Qibatun Aizi yang masih berusia tiga tahun.

Selain sebagai buruh tani, mayoritas profesi warga di wilayah Kecamatan Kutasari adalah penderes. Jauh dari cukup pendapatan mereka dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Untuk itu, seorang istri harus mampu membantu suami mencari tambahan pendapatan.

Seperti yang dilakukan Wini dan kebanyakan perempuan di Kutasari bahkan di wilayah Purbalingga lain, yaitu dengan cara mengidep (membuat bulu mata palsu). Satu bulu mata palsu yang Wini rangkai diharga Rp 500. Sebulan ia hanya mampu memperoleh upah sekitar Rp 150 ribu.

Tidak ada waktu luang bagi Wini sebagai seorang ibu rumah tangga. Disamping sebagai pengidep, otomatis ia juga pengidel, yaitu istri yang membantu suami seorang penderes. Pengidel bertugas memasak nira hingga menjadi gula merah siap jual.

Sebelum Witno berangkat menderes pagi hari, Wini menyiapkan sarapan dengan nasi sisa semalam. “Beras Raskin ya urung teka-teka. Apa anu agi nggo mbantu korban banjir ya? (Beras jatah orang miskin ya belum datang. Apa buat membantu korban banjir ya?),” tanya Wini dengan segenap ketakpahamannya.

Oleh:
Achmad Ulfi dan Lutfi Utami, pelajar SMA Kutasari Purbalingga

Minggu, 19 Januari 2014

Hati Hati Isu Kelangkaan Pupuk

Salam Indonesia,
Awal tahun 2014 pasti sangat banyak ragam dan cara-cara untuk memasarkan produk pertanian. Tapi alangkah tepatnya agar para produsen memberikan uraian tentang produk yang mereka jual, agar nantinya para pemakai produk tidak kecewa setelah menggunakanya. Kali ini para petani dan pengecer pupuk harap berhati-hati dengan isu-isu negatif yang mungkin juga didaerah anda sudah berkembang. 
Ada isu kelangkaan pupuk ?
Benar pa tidak ? kita tidak usah terlalu mempermasalahkanya,

Sebaiknya kita menanggapi dengan kepala dingin. Contoh nyata ditempat saya ada seorang pengecer pupuk yang katanya sudah mendapatkan kiriman pupuk mirip dengan NPK. Pengecer tesebut tidak mengetahui tentang produk pupuk ini, alhasil ada sebagian petani yang memakainya. Setelah saya datangi ternyata petani ini mendengar isu kelangkaan pupuk, akhirnya membeli pupuk jenis ini, petani ini mengira pupuk ini mirip dengan pupuk NPK pada umumnya warnaya merah hampir sama tetapi, tanpa melihat dan menanyakan kandungan didalam pupuk itu.

Pupuk ini tergolong baru ditempat saya agar kita tidak salah pilih mari kita simak bersama-sama. Pupuk NPK standar yang beredar di pasaran mempunyai kandungan N 15 %, P 15 , K 15 %. kita lihat gambar berikut ;
Gambar. NPK yang biasa petani Pakai Urea !5 %

Gambar. Bukan Pupuk NPK Phonska kandungan Urea 1 %

pupuk ini mempunyai kandungan yang berbeda, jadi saran saya hati-hatilah dalam membeli pupuk, bisa jadi gambar diatas adalah pupuk yang lain. Berikanlah tanaman anda dengan pupuk kimia secara bijaksana, perbanyak pupuk organik kurangi pupuk kimia Artikel yang sama juga bisa dilihat di Hati-hati terhadap pupuk, Kemasan baru pupuk pertanian  

Produksi Dokumenter SMA Bukateja Purbalingga


Selama beberapa malam, di sebuah balai rumah limasan, para remaja dan pemuda Desa Pasunggingan, Kecamatan Pengadegan, Purbalingga kembali berlatih tarian Angguk, salah satu kesenian tradisi Banyumas yang nyaris punah.

Sementara orang-orang tua, yang sebagian bahkan berusia lebih dari 60 tahun bertindak sebagai penabuh dan pelantun syair-syair yang diambilkan dari kitab Barzanji. Alat-alat musik yang ditabuh berupa genjring, jidur, dan kendang.

Proses berlatih kesenian langka bernapas islami itu merupakan bagian dari pengambilan gambar film dokumenter yang dilakukan pelajar yang tergabung dalam Sabuk Cinema ekstrakulikuler sinematografi SMA Bukateja Purbalingga selama tiga hari, Jumat-Minggu, 17-19 Januari 2014.

“Senang rasanya bergaul siang-malam dengan anak-anak muda seusia kami yang masih mau dan bersemangat menari seni tradisi. Ini salah satu alasan kami mendokumenterkan mereka,” tutur Tito Firesta, salah satu kru yang melakukan riset.

Saat ini, Martoyo (70), adalah pimpinan grup Angguk “Sri Rahayu” Desa Pasunggingan yang merupakan turunan ketiga. Keberadaan kesenian langka itu sudah ada sejak zaman Belanda. Meski sulit, regenerasi terus dilakukan.

Selama beberapa bulan terakhir, para pelajar itu melakukan riset. Bolak-balik ke desa, menemui dan bergaul dengan para pelaku kesenian Angguk. Mereka mengambil data kesenian Angguk dari Perpustakaan Film dan Buku Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).

Menurut Uli Retno Dewanti, yang bertindak selaku sutradara, memfilmkan kesenian langka ini merupakan pengalaman tersendiri. “Tidak semata hasilnya, tapi proses kami bergaul dan berada di tengah-tengah masyarakat pecinta dan pelaku seni tradisi,” ungkap siswi yang masih duduk di kelas X ini.

Sementara guru pembina ekskul sinematografi Meinur Diana Irawati mengatakan, produksi film dokumenter ini menjadi penting karena melatih siswa bergaul dan mempelajari masyarakat dengan cara terjun langsung. “Hal ini yang tidak mereka dapatkan dalam pelajaran formal, karna itu ekskul sinema dibutuhkan,” jelas guru pengampu pelajaran Ekonomi.

Bila film dokumenter tentang Angguk ini selesai, rencananya akan diikutsertakan pada program kompetisi dokumenter tingkat Banyumas Raya di Festival Film Purbalingga (FFP) pada Mei mendatang.

Selasa, 14 Januari 2014

Angguk, Kesenian Langka Bernapas Islam


Mengisi hari-hari tua, Maryoto (70), dalang kesenian Angguk asal Desa Pasunggingan, Kecamatan Pengadegan, Purbalingga ini dengan cara bertani. Sejatinya, bertani bagi Maryoto dan sebagian anggota grup kesenian Angguk adalah pekerjaan utama, sementara berkesenian hanya sampingan.

Kesulitan air bagi warga Pengadegan pada umumnya mengakibatkan pertanian yang dikerjakan adalah berkebun dengan tanaman singkong dan jagung, bukan pertanian padi. Tidaklah luas tanah pertanian yang dikerjakan Maryoto yang merupakan tanah turun-temurun.

Tak hanya tanah yang diwariskan, Maryoto pun mewarisi kesenian langka Angguk yang sudah ada sejak zaman Belanda di desanya dari kakek dan bapaknya. “Saya ini generasi ketiga yang menjalankan seni Angguk. Sebelumnya bapak saya Ahmad Roji dan kakek saya Asep Wijaya,” tutur kakek yang mempunyai 5 anak dan 10 cucu ini.

Kesenian Angguk merupakan kesenian bernapaskan Islami. Ciri-cirinya dengan gerakan penari yang berjumlah delapan orang dengan gerakan mengangguk-angguk. Konon, anggukan merupakan bentuk penghormatan kaum muslim saat mereka saling bertemu. Selain itu, alat musik untuk mengiringi tarian berupa rebana, bedug, dan kendang. Sementara syair-syair yang dilantunkan diambil dari kitab Barzanji.

Tarian Angguk ini dibawakan oleh delapan penari yang semuanya laki-laki. Dua penari dibagian depan disebut barong atau mbarep, empat penari tengah prajurit, dan dua penari belakang dinamakan buntil. Khusus penari buntil diperankan oleh anak-anak atau remaja.

Regenerasi
Keterlibatan anak-anak dalam kesenian Angguk ini, meyakinkan Maryoto, bahwa kesenian langka peninggalan nenek moyang ini akan mampu bertahan. Kerap anak-anak SD atau SMP main ke rumah Maryoto yang sekaligus sebagai sanggar seni Angguk “Sri Rahayu”.

“Mencari pemain Angguk caranya ya dengan merayu anak-anak yang suka main ke rumah. Kalau mereka suka, tinggal menemui orang tuanya. Seringkali anaknya ingin bermain Angguk tapi orang tuanya yang tidak setuju, atau sebaliknya,” ungkap Maryoto yang juga bertindak sebagai dalang Ebeg.

Saat ini, penari Angguk yang berperan sebagai buntil yaitu Gilang Pratama yang sudah duduk di bangku kelas XI SMKN Bawang Banjarnegara dan Kris Egianto yang masih duduk di kelas IX SMPN 3 Pengadegan Purbalingga.

Menurut Kris Egianto, awal bergabung dengan grup Angguk “Sri Rahayu” beberapa bulan lalu karena kerap bermain ke rumah Maryoto yang memang tak jauh dari rumahnya. “Kadang melihat mereka latihan, saya seperti jatuh cinta pada kesenian Angguk. Orang tua saya setuju dan mendukung saya bergabung,” jelas remaja yang juga suka bermain sepakbola.

Tidak ada rasa khawatir di wajah Maryoto, kesenian langka Angguk ini akan punah. Mata batinnya mampu melihat anak-anak yang akan bergabung dan meneruskan kesenian Islam ini. Karena itu, salah satu usaha Maryoto dengan memperbaharui gerakan dan cara menabuh alat musik agar lebih dinamis.

Oleh: Tito Firesta, Uli Retno Dewanti, Nugroho Budi Santosa
Pelajar SMAN Bukateja Purbalingga