Selasa, 27 Agustus 2013

Posisi THL dalan RUU ASN

Bedah RUU ASN : Tepatkah Pengelompokan Pegawai ASN Diterapkan Secara General ?

Pengantar

Pembahasan RUU ASN kini memasuki tahap yang menentukan. Setelah tuntas pembahasannya di Kabinet, bagaimana proses selanjutnya : apakah akan langsung disahkan oleh Presiden atau masih melalui proses pembahasan terakhir di DPR ? Sebagai calon Undang-Undang baru tentang kepegawaian publik perlu tahu ke mana arah kebijakan tentang kepegawaian berdasar konsepsi RUU ASN. Publik perlu berpendapat dan mengajukan keberatan bila perlu, bilamana didapatkan ketentuan atau beberapa ketentuan yang merugikan kelompok sebagai bagian dari publik yang akan bersentuhan dengan ketentuan-ketentuan dalam RUU tersebut. Begitu pula dengan komunitas THL TBPP, tentu sangat berkepentingan dengan ikhwal pemberlakuan RUU ASN ini nantinya. Berikut ini kami sajikan sebuah pandangan yang menkritisi beberapa ketentuan di dalam RUU ASN khususnya yang berkenaan dengan pengelompokan pegawai ASN yakni PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dalam kaitannya dengan kemungkinan posisi THL TBPP.

Pemerintah akhirnya menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang  tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). RUU yang sejak 2 tahun lalu mulai dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR ini merupakan RUU Inisiatif Komisi II DPR RI. Berikutnya pembahasan masih akan berlanjut di pihak DPR RI.

Secara umum RUU ASN bertitik tolak dari semangat perubahan dalam kerangka reformasi birokrasi. Menurut Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara (WamenPAN-RB) Eko Prasodjo perubahan yang dimaksud tidak hanya meliputi sistem, struktur, dan manajemen SDM, tetapi juga perubahan budaya, pola pikir, dan perilaku birokrasi itu sendiri.

Eko Prasodjo lebih lanjut menjelaskan perubahan tersebut meliputi pertama : penanaman budaya kinerja dan budaya pelayanan, kedua : cara pandang terhadap PNS sebagai sebagai sebuah profesi yang memiliki standar pelayanan profesi, kode etik profesi, dan pengembangan kompetensi profesi, ketiga : mereduksi atau mengikis  gejala pengaruh politik, hubungan kekerabatan, hubungan ekonomi, dan berbagai relasi lain dalam manajemen SDM serta keempat : menegakkan integritas dan mencegah terjadinya perilaku menyimpang dalam birokrasi.
Tentu semangat besar yang positif tersebut perlu mendapat dukungan nyata demi tercapainya tujuan dasar penyusunan RUU ASN tersebut yakni menempatkan pegawai ASN sebagai sebuah profesi yang harus memiliki standar pelayanan profesi, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku profesi, pendidikan dan pengembangan profesi, serta memiliki organisasi profesi yang dapat menjaga nilai-nilai dasar profesi.

Pertanyaannya adalah apakah kerangka dan substansi keseluruhan dari RUU ASN tersebut telah siap dan tepat untuk menjalankan misi perubahan dengan tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas ? Bagaimana potensi hubungan antara RUU ASN dengan Undang-Undang lain yang terkait dengan kepegawaian dan sistem kelembagaan pemerintah pada bidang tertentu ? Apakah semua ketentuan yang ada di dalam RUU ASN telah dijamin tepat untuk diterapkan secara umum (general) tanpa memperhatikan kekhususan pada bidang-bidang tertentu tersebut ?

Pembagian Kelompok Pegawai Menurut RUU ASN

Pada bagian lain WamenPAN-RB mengatakan untuk memperkuat sistem merit dalam birokrasi, pegawai ASN kelak akan terdiri dari PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dengan basis utama kompetensi, kompetisi, dan kinerja. Namun yang perlu dicatat adalah penjelasan selanjutnya bahwa berbeda dengan istilah pegawai honorer atau pegawai tak tetap pada masa sebelumnya, PPPK tidak dapat diangkat menjadi PNS.

Hal ini sejalan dengan keterangan MenPAN-RB, Azwar Abukabar bahwa dalam RUU ASN tidak ada lagi tenaga honorer dan semacamnya, yang ada hanya 2 bentuk yakni PNS dan PPPK. Dari keterangan ke-2 pimpinan Kementerian PAN-RB tersebut menjadi jelas bahwa semangat Pemerintah cq Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam konsepsi Undang-Undang Kepegawaian baru bernama RUU ASN tersebut adalah “mengurung” tenaga-tenaga tertentu yang telah mengabdi pada negara dengan menempatkan mereka pada wadah bernama Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), apalagi jika pasal sisipan 99 A benar-benar ditetapkan keberadaannya.

Kelembagaan Penyuluhan dan Penyuluh Menurut Undang-UndangNo. 16 Tahun 2006

Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UUSP3K) telah menata dan membagi kelembagaan penyuluhan dalam tiga jalur yakni kelembagaan penyuluhan pemerintah, kelembagaan penyuluhan swasta dan kelembagaan penyuluhan swadaya. Pada kenyataannya hingga saat ini kelembagaan penyuluhan yang tertata dariPusat hingga Kecamatan barulah kelembagaan penyuluhan pemerintah. Itupun pada beberapa lini belum semua terwujud sesuai bentuk yang digariskan Undang-Undang. Sejalan dengan pembagian kelembagaan penyuluhan tersebut UUSP3K juga telah menetapkan 3 jenis penyuluh yakni : 1. Penyuluh PNS, 2. Penyuluh Swasta, dan 3.Penyuluh Swadaya.

Untuk bidang penyuluhan pertanian, saat ini kelembagaan penyuluhan pertanian pemerintah memiliki personil Penyuluh Pertanian PNS sebanyak 27.697 orang. Mengingat jumlah desa di Indonesia adalah sebanyak 72.143 desa maka jumlah kekurangan Penyuluh PNS adalah sebanyak 44.446 personil. Kekurangan ini sebagian diisi oleh Penyuluh Pertanian Honorer sebanyak 1.251 personil dan sebagian lagi dalam jumlah relatif besar diisi oleh Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP) sebanyak – jumlah saat ini – 21.585 personil. Penambahan tenaga penyuluh dari THL TBPP ini merupakan wujud dukungan Pemerintah Pusat yang merekrut tenaga kontrak tersebut pada tahun 2006 – 2008 yang selanjutnya diperbantukan pada lembaga penyuluhan  di Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Sebagai petugas penyuluh yang melaksanakan tugas pada jalur kelembagaan penyuluhan pemerintah, maka THL TBPP ini memiliki tupoksi dan beban kerja yang sama dengan Penyuluh Pertanian PNS. Dalam kerangka hukum dan dasar kebijakan UUSP3K mestilah tenaga penyuluh THL TBPP ini dipandang sebagai tenaga penyangga strategis yang bersifat transisi akibat kekurangan petugas Penyuluh Pertanian PNS. Setelah 5 – 7 tahun mengabdi mestinya juga ada penanganan yang memperjelas status kerja mereka sesuai dengan kerangka dan substansi UUSP3K.

Maka atas kesadaran kolektif bahwa menjadi hak mereka untuk memperjuangkan status kerja yang jelas dan dengan pemahaman bahwa memperjuangkan aspirasi merupakan hak yang dilindungi oleh Undang Undang Dasar 1945 dan diatur secara teknis di dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998, maka sekitar 7000 – 10.000 THL TBPP se-Indonesia datang dan berkumpul di sebuah ruang kosong di depan Pintu Utama Monumen Nasional Jakarta, 27 Juni 2013 untuk menyuarakan aspirasi mereka. Penyampaian aspirasi yang mereka namakan Aksi Kebulatan Tekad THL TBPP se-Indonesia ini, langsung mendapat perhatian Pemerintah. Sepuluh perwakilan THL TBPP pada aksi tersebut diminta datang ke Kantor Sekretariat Negara. Setelah pada kesempatan pertama mereka diterima dan berdialog dengan Kepala Bidang Organisasi Kemasyarakatan Setneg, beberapa menit kemudian para wakil THL TBPP ini diarahkan untuk berdialog langsung dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) dan Menteri Pertanian (Mentan).

Nasib dan Kejelasan Masa Depan THL TBPP di Ambang Waktu Pemberlakuan RUU ASN

Dalam dialog tersebut para wakil THL TBPP memaparkan aspirasinya secara jelas dan gamblang bahwa mereka menginginkan status kepegawaian yang pasti dalam bingkai hukum UUSP3K yakni status Penyuluh Pertanian PNS, sebuah posisi dimana mereka secara defacto telah mengemban dan menjalankan tugas-tugas serupa selama ini, dengan landasan pelaksanaan Pasal 16A UU No. 43 Tahun 1999.

Namun dalam tanggapannya MenPAN-RB mengatakan THL TBPP harus mengikuti prosedur test untuk bisa menempati posisi formasi Penyuluh Pertanian PNS. Bagi yang tidak memenuhi ketentuan atau tidak lolos seleksi test tersebut akan diarahkan ke dalam wadah PPPK. Di sinilah kebuntuan dialog itu terjadi.THL TBPP masih tetap dalam keyakinan dan pemahaman bahwa berdasarkan ketentuan UUSP3K dan dasar implementasi Pasal 16 A UU No. 43 Tahun 2013 mereka berhak untuk diarahkan langsung ke formasi Penyuluh Pertanian PNS. Sementara MenPAN-RB tetap bersikukuh bahwa era pengangkatan langsung sudah usai dengan terbitnya PP No. 56 Tahun 2012 yang hanya berlaku untuk 4 kategori yang semuanya berbasis batas waktu perekrutan sebelum tahun 2005, sementara THL TBPP direkrut antara tahun 2006/2007 – 2008/2009.

Beberapa Aspek Penting yang Perlu Mendapat Perhatian Lebih MenPAN-RB

1.     Pada era akhir 1990-an hingga pertengahan 2000-an banyak sekali terjadi perekrutan tenaga honorer di umumnya lembaga pemerintah di daerah, terutama tenaga guru. Hal sebaliknya yakni penyusutan jumlah terjadi pada petugas penyuluh pertanian. Puncak penyusutan jumlah penyuluh pertanian terjadi pada tahun 2007 di mana hanya ada 24.908 petugas penyuluh pertanian PNS pasca diberlakukannya UU Otonomi Daerah. Atas dasar itulah kemudian direkrut sekitar 25.000 THL TBPPse-Indonesia. Maka dalam hal ini patut menjadi keheranan kenapa pihak KemenPAN-RB tetap bersikukuh pada patokan waktu tahun 2005 sehingga THL TBPP terlewat dari pengaturan pengangkatan langsung menjadi PNS pada PP 56 Tahun 2012 ?

2.     Berdasarkan substansi ketentuan THL TBPP jelas memenuhi Pasal 16 A ayat 1 yang kemudian diperkuat lagi oleh ketentuan jenis penyuluh pada Pasal 20 ayat 1 dan ketentuan pengangkatan penyuluh PNS pada Pasal 20 ayat 2 dan penjelasannya pada UUSP3K. Jika kemudian THL TBPP yang sudah mengabdi 5 – 7 tahun dan pada saat perekrutannya telah melalui mekanisme test tulis secara nasional, maka masa pengabdian selama sekian tahun dan standar perekrutan test tulis secara nasional tersebut tidak memiliki nilai positif sedikitpun dalam pandangan pihak KemenPAN-RB.

3.     Masih perlu kajian mendalam apakah penerapan pembagian pegawai ASN nantinya ke dalam kelompok PNS dan PPPK akan tepat bila diterapkan pada kelembagaan pemerintah tertentu seperti kelembagaan penyuluhan pertanian ? Jika dalam satu atap kelembagaan penyuluhan pertanian terdapat 2 kelompok penyuluh dengan tupoksi dan beban kerja yang sama, tapi yang satu berstatus PNS dan yang lain PPPK – yang tentunya dengan hak-hak yang berbeda, bukankah dalam jangka panjang akan memunculkan sekat psikologis secara nyata dan implikasinya tentu tidak akan sederhana ?

4.     Pemunculan tenaga penyuluh dengan wujud PPPK secara permanen di dalam kelembagaan penyuluhan pemerintah dengan sendirinya akan bertentangan ketentuan jenis penyuluh sebagaimana diatur di dalam UUSP3K. UUSP3K adalah dokumen negara yang legal dan sah serta masih segar berlaku hingga saat ini, sementara RUU ASN baru bersifat rancangan. Oleh karena itu wajar bila beberapa ketentuan di dalam RUU ASN khususnya pengelompokan pegawai patut dan perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan tertentu yang terkait di dalam UUSP3K.

Pemerintah bersama DPR masih perlu mengkaji lebih mendalam dan lebih serius menyangkut hal-hal khusus semacam ini jika memang RUU ASN akan diarahkan untuk membangun SDM Pemerintah yang profesional dan sekaligus memiliki jiwa kesatuan yang kuat. Dalam hal ini Kementerian Pertanian dan komunitas THL TBPP yang secara nyata merupakan tenaga penyangga utama kegiatan penyuluhan pertanian dalam jumlah yang signifikan untuk mendukung dan melengkapi tugas-tugas Penyuluh Pertanian PNS selama 5 – 7 tahun terakhir ini, perlu dilibatkan dan didengar suaranya secara jernih dan obyektif dalam pembahasan-pembahasan yang menyangkut ketenagaan penyuluh pada jalur kelembagaan penyuluhan pemerintah.

Terakhir, pemerintah masih menyisakan pekerjaan yang belum dirampungkan terkait implementasi UUSP3K yakni menyangkut ketentuan Pasal 40 Bab XIII Ketentuan Penutup, di mana Pasal tersebut menyebutkan : “Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Peraturan pelaksanaan tersebut tentu wajib mengatur teknis segala ketentuan yang ada di UUSP3K termasuk diantaranya amanat memprioritaskan pengangkatan penyuluh PNS demi memenuhi kekurangan kelompok tenaga tersebut di lapangan sesuai Pasal 20 ayat 2.

Nah, jika UUSP3K diterbitkan atau disahkan pada tanggal 15 Nopember 2006 oleh Presiden kemudian diundangkan pada hari yang sama oleh Menkum dan HAM, maka batas penetapan peraturan pelaksanaan tersebut seharusnya berada pada titik waktu 15 Nopember 2007. Sekarang, hari ditulisnya catatan opini ini adalah tanggal 12 Juli 2013. Berarti sudah sangat lama (hampir 7 tahun) keterlambatan itu berlangsung.

Sumber: Bedah RUU ASN, Tepatkah Pengelompokan Pegawai ASN Diterapkan Secara General ?
OPINI Kompasiana – Penulis : Nur Samsu – THL TBPP Jawa Timur

Penulis adalah Koordinator Tim Kajian Hukum Status Kepegawaian THL TBPP pada FORUM KOMUNIKASI THL TBPP NASIONAL dan Anggota Bidang Advokasi dan Hukum FORUM KOMUNIKASI THL TBPP JAWA TIMUR

Penutup
Di dalam Buku Pedoman Penggunaan Dana Dekonsentrasi Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian  TA 2013 Bab V Butir 45 disebutkan bahwa : "Penyelesaian Peraturan Presiden Tindak Lanjut UU No. 16/2006 dan Peraturan Lainnya"(Halaman 49 Dokumen Pusluhtan BPPSDMP Kementan)

Semoga saja Perpres yang dimaksud sedang dalam tindak lanjut penyelesaian oleh Pihak BPPSDMP/Pusluhtan Kementan dan semoga peraturan pelaksanaan serupa menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan ketenagaan penyuluh dan pengadaannya segera ditetapkan - sesuai ketentuan Pasal 20 ayat 2 UUSP3K beserta penjelasannya. Sekali lagi Pasal berisi amanat untuk memprioritaskan pengangkatan Penyuluh Pertanian PNS untuk mencukupi kekurangannya yang hingga saat ini menunjuk angka sekitar 44.446 formasi jika dihitung dengan jumlah desa di seluruh Indonesia. Tentu saja kita berharap, sebagaimana disampaikan Menteri Pertanian Suswono pada saat dialog 27 Juni 2013 dengan perwakilan THL TBPP bahwa Kementan mendukung dan mendorong pengangkatan Penyuluh Pertanian PNS dengan memprioritaskan THL TBPP. Mari kita kawal bersama untuk memastikan arah garis kebijakan bisa bergerak sesuai kerangka hukum UUSP3K. 
Banyak agenda penting yang perlu kita kawal depan yang membutuhkan totalitas dukungan, sikap positif dan kebersamaan yang kukuh dari teman-teman THL TBPP se-Indonesia. Untuk itu mari kita serap bersama ruh dan atmosfer Ramadhan ini dan dengan iringan munajat kita lantunkan doa dan harapan agar mimpi kita semua demi kejelasan status kerja yang pasti akan segera terwujud. Aamiin Ya Rabbal Alamin.




Selamat Menunaikan Ibadah Shaum Ramadhan


taken by Khairdin Pramana Jaya

Sumber : FK THL Nasional

Senin, 26 Agustus 2013

Pemkab Purbalingga tak Mampu Tangani Buruh Cilik



Bioskop Remaja Smega Movie

Kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga memberi kemudahan izin investasi tidaklah selamanya membawa keberkahan. Bagaimana pun, pembangunan membawa konsekuensi negatif bagi suatu wilayah. Tampaknya Pemkab Purbalingga tidak siap dengan realita ini.

Puluhan pabrik, yang kebanyakan bergerak di bidang bulu mata palsu, berdiri di Purbalingga. Di satu sisi, ribuan tenaga kerja terserap, di sisi lain, anak-anak yang masih di bawah usia kerja menjadi korban.

Kenyataan itu ditangkap dalam sebuah video berjudul “Buruh Cilik” oleh Smega Movie ekskul sinematografi SMKN 1 Purbalingga yang diputar dan didiskusikan bersama beberapa video lain bertema “Pendidikan dan Lapangan Pekerjaan” di acara Bioskop Remaja dalam rangka Hari Remaja Internasional, Sabtu sore, 24 Agustus 2013 di aula SMKN 1 Purbalingga.

Saat diskusi, Sekretaris Dinas Pendidikan Purbalingga Drs. Subeno, S.E., M.Si mewakili Kepala Dinas Pendidikan yang saat ini diduga terjerat kasus tindak pidana korupsi mengakui ada sekitar 400 anak di Purbalingga putus sekolah dan menjadi buruh cilik. “Program wajib belajar 12 tahun di Purbalingga tidak mampu menjangkau, karena mereka bekerja di plasma di desa-desa,” ujarnya.

Hal itu juga diakui Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Industrial dan Ketenagakerjaan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Purbalingga Tukimin mewakili Kepala Dinasnya. Menurutnya, menurut aturan, anak-anak boleh bekerja namun hanya 3 jam sehari. “Yang sering melanggar itu plasma-plasma yang ada di pelosok,” katanya.

Sementara Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komunitas Purbalingga Yoga Budi Santoso mempertanyakan, sebenarnya visi dan misi Kabupaten Purbalingga itu apa? “Tidak pernah jelas. Apakah akan dikembangkan ke wilayah agraris ataukah industri?,” ungkap aktivis buruh ini.

Banyak persoalan perburuhan yang terjadi di Purbalingga sebagai konsekuensi dari kemudahan investasi yang kemudian dikuasai para pengusaha dari Korea. Sayang, salah satu anggota DPRD Kabupaten Purbalingga dari komisi yang menangani bidang perburuhan yang telah menyatakan kesanggupan, tidak datang.

Pemutaran dan diskusi Bioskop Remaja di SMKN 1 Purbalingga ini merupakan putaran ke-4 dari 7 titik pemutaran di Purbalingga. Program Jalan Remaja ini difasilitasi Cinema Lovers Community (CLC) yang merupakan prakarsa dari Yayasan Kampung Halaman bekerja sama Ford Foundation.

Kamis, 22 Agustus 2013

Fasilitas Jamban Pabrik yang Kurang itu Menyalahi HAM



Bioskop Remaja Kafiana Production

Video pendek yang dibuat Octa Berna Ratungga dari Kafiana Production SMK YPLP Perwira Purbalingga memang sederhana. Video berjudul “Jamban Pabrik” ini berupa gambar-gambar stopmotion para buruh perempuan yang sedang mengantri ke toilet berlatar suara berapa buruh tentang minimnya fasilitas jamban di pabrik.

“Dengan surat resmi dari sekolah, kami tidak diizinkan mengambil gambar video oleh pihak manajemen pabrik. Beruntung ada salah satu satpam pabrik yang mau diajak kerjasama dengan catatan boleh mengambil foto saja,” ujar Octa saat diskusi bertema “Hak Azasi Manusia” usai pemutaran Bioskop Remaja di pendapa Kantor Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Purbalingga, Kamis malam, 22 Agustus 2013.

Octa melanjutkan, alasan ia dan teman-temannya memvisualkan jamban pabrik karena selama ini jarang orang peduli. “Bayangkan, ada ribuan buruh di satu pabrik, jambannya cuma belasan saja. Bagi kami itu melanggar HAM,” ungkap siswa kelas XI jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ).

Selain pembuat video, diskusi menghadirkan seorang buruh pabrik bulu mata palsu Jumiati dan guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) SMK YPLP Perwira Purbalingga Tri Aryanto, S.Pd. Ada puluhan ribu buruh dari puluhan pabrik di Purbalingga yang sebagian besar dibidang bulu mata palsu.

Keberadaan puluhan ribu buruh di Purbalingga sebagian besar tidak mengetahui akan hak-hak dasarnya. Kalaupun memahami, tidak ada keberanian untuk menuntut haknya. Termasuk keberadaan jumlah toilet yang tidak seimbang dengan jumlah buruh yang ada. Padahal perempuan membutuhkan waktu lama ketika ada di toilet.

Menurut Jumiati, sebagai rakyat kecil, ia tidak tahu banyak tentang hak-haknya sebagai buruh. “Kalau pun tahu, kami takut menuntut pada manajemen perusahaan. Harapannya ya WC di pabrik ditambah lagi, biar lebih nyaman,” ungkapnya.

Sementara  Tri Aryanto, S.Pd mengatakan idealnya, jumlah jamban di pabrik ya 10 persen dari jumlah buruhnya. “Buruh di Purbalingga memang tidak ada gregetnya. Banyak hak-hak dasar yang tak dipenuhi, tapi tidak berani menuntut, pasrah saja,” jelasnya.

Pemutaran dan diskusi Bioskop Remaja di Desa Onje oleh Kafiana Production ini merupakan putaran ke-3 dari 7 titik pemutaran di Purbalingga. Program Jalan Remaja ini difasilitasi Cinema Lovers Community (CLC) yang merupakan prakarsa dari Yayasan Kampung Halaman bekerja sama Ford Foundation.

Rabu, 21 Agustus 2013

Data Anak Putus Sekolah Lemah



Bioskop Remaja Forkappi Desa Gandasuli

Salah satu kelemahan eksekutif dalam hal ini Pemerintah Daerah ada pada data. Di Desa Gandasuli secara kasat mata masih banyak anak-anak usia sekolah terpaksa bekerja membantu ekonomi keluarga. Namun menurut data Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga, di Desa Gandasuli 100 persen anak usia sekolah sudah lanjut sekolah.

Kenyataan ini terungkap dalam pemutaran dan diskusi Bioskop Remaja dalam rangka Hari Remaja Internasional yang digelar Forum Komunikasi Pemuda-Pemudi Desa Gandasuli (Forkappi) Rabu, 21 Agustus 2013, di Balai Desa Gandasuli.

Penilik Sekolah UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Bobotsari Sri Wahyudati mengatakan Pemerintah Kabupaten Purbalingga mempunyai program Wajib Belajar 9 Tahun jadi anak wajib bersekolah sampai ke jenjang SMA. “Itu tugas kami untuk mendata anak-anak yang tidak bersekolah dan mendorong mereka untuk bersekolah,” ungkapnya.

Realita itu semakin terlihat jelas ketika remaja Desa Gandasuli memproduksi video tentang anak Desa Gandasuli yang bekerja di sawah yang sore itu videonya turut diputar bersama video karya remaja lain sebagai bahan diskusi.

Menurut ketua Forkappi Hudiman, video yang remaja Gandasuli produksi ini semestinya bisa menjadi data bagi para pemangku kebijakan. “Namun selama ini, Pemkab Purbalingga masih memandang sebelah mata komunitas film di Purbalingga,” ujarnya.

Sayang, narasumber diskusi yang hadir diwakilkan penilik sekolah karena ternyata baik Kepala Kantor UPT Kecamatan Bobotsari maupun Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga sedang diduga terjerat kasus tindak pidana korupsi.

Sementara yang paling disayangkan ketidakhadiran anggota DPRD Kabupaten Purbalingga dari komisi yang menangani bidang pendidikan. Meskipun sebelumnya menyatakan sanggup, namun hingga acara usai tak terlihat batang hidungnya.

Pemutaran dan diskusi Bioskop Remaja di Desa Gandasuli merupakan putaran ke-2 dari 7 titik pemutaran di Purbalingga. Program Jalan Remaja ini difasilitasi Cinema Lovers Community (CLC) yang merupakan prakarsa dari Yayasan Kampung Halaman bekerja sama Ford Foundation.

Selasa, 20 Agustus 2013

Lewat Film, Para Pejabat Harus Turut Merasakan



Bioskop Remaja Papringan Pictures

“Kami berharap, film-film seperti ini tidak hanya diputar saat ini di Banjaran saja, tapi di seluruh Kabupaten Purbalingga bahkan kalau bisa sampai stasiun televisi. Sehingga para pejabat tahu bagaimana rasanya hidup di sekitar TPA (tempat pembuangan akhir-red) yang dikerumuni ribuan lalat dan air sampah yang mencemari sumur-sumur kami,” tegas Tugimin, salah satu warga Desa Banjaran saat diskusi usai pemutaran Bioskop Remaja.

Pemutaran dan diskusi Bioskop Remaja dalam rangka Hari Remaja Internasional yang diselenggarakan Papringan Pictures ekskul sinematografi SMAN 1 Kutasari Purbalingga bekerjasama pemuda Desa Banjaran Kecamatan Bojongsari Purbalingga digelar Selasa, 20 Agustus 2012 jam 15.30 di TPQ Desa Banjaran.

Sekitar 75 warga desa dan pelajar memadati ruang TPQ yang dijadikan aula. Mereka antusias menyaksikan 9 video diary bertema “Lingkungan” dengan salah satu video yang dibuat oleh Papringan Pictures terkait kondisi warga di sekitar TPA Banjaran yang memprihatinkan selama bertahun-tahun.

Hadir sebagai narasumber diskusi, Ketua Pemuda Desa Banjaran Arif Setiawan, Dhani Armanto dari LSM Telapak Purwokerto, dan Kepala Bidang Peningkatan Kapasitas Teknologi Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Purbalingga Herianto. Sayang, undangan pembicara untuk Komisi DPRD Kabupaten Purbalingga yang menangani persoalan lingkungan tidak hadir.

Arif Setiawan mengatakan pencemaran tanah, sumur, dan udara TPA Banjaran sebagai TPA di Kabupaten Purbalingga terus terjadi selama bertahun-tahun. “Kami selalu dikecewakan setiap kali meminta keadilan kepada pemerintah kabupaten dan DPRD,” ungkapnya.

Sementara dari Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Purbalingga Herianto menjelaskan BLH mendukung keberadaan TPA Banjaran dengan syarat keberadaannya mampu melindungi warga sekitar dari pencemaran. “Ada solusi berupa sistem penanganan pencemaran TPA dan ini menjadi tanggung jawab Dinas Pekerjaan umum sebagai pelaksana teknis,” jelasnya.

Dhani Armanto dari LSM Telapak Purwokerto menjelaskan, berdasarkan anggaran perubahan APBD Kabupaten Purbalingga tahun 2013, semestinya TPA Banjaran sudah tertutup sehingga tidak berbau dan tidak mencemari warga. “Ketika warga masih merasa tercemari, artinya hak-hak warga masih belum terpenuhi,” tegasnya.

Program Jalan Remaja 1208 tahun 2013 yang diprakarsai Yayasan Kampung Halaman dan difasilitasi Cinema Lovers Community di Purbalingga ini digelar di 7 titik Bioskop Remaja dengan beragam tema pemutaran.