Rabu, 29 Oktober 2008

Soal Regenerasi dan Kualitas Karya


Kesuksesan dalam menjalankan satu organisasi atau komunitas atau apapun namanya, bukan bagaimana menjadikan komunitas itu besar atau dikenal masyarakat luas. Namun bagaimana para pemangkunya mampu menciptakan regenerasi yang berkesinambungan.

Bila pada suatu masa sebuah komunitas itu berhasil menyandang nama besar, tapi di masa berikutnya malah mati suri atau mati sama sekali, berarti itu gegagalan terbesar yang penah disandang komunitas itu.

Para pemangkunya bisa dikatakan egois karena tak memberi kesempatan dan jalan bagi generasi selanjutnya untuk mempertahankan kesuksesan atau bukan tidak mungkin menjadikan lebih berjaya. Kebanggaan terhadap kejayaan meskipun sah, menjadi hal yang kurang bijak.

Jelas tak ada komunitas yang menginginkan mati di tengah jalan apalagi dalam masa kejayaan. Semua berusaha terus berjaya. Apalah daya, masalah klasik terbesar yaitu dana, kerap menjadi alasan yang selalu termaafkan. Dan memang demikian adanya. Namun dari semua itu, yang terpenting adalah bagaimana komunitas itu tetap berguna dan berdaya guna bagi komunitas dan masyarakatnya.

Komunitas Bersama Sebuah Kebutuhan
Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, sebagai sebuah komunitas para pecinta film yang di dalamnya tergabung kreator-kreator film muda di Purbalingga tak luput dari usaha regenerasi. Seperti halnya komunitas film lain di beragam kota di Indonesia.

Komunitas yang berdiri pada 4 Maret 2006 yang pada awalnya terbentuk dari empat komunitas, saat ini sudah sekitar 20 komunitas yang bergabung. Diantaranya lahir dari kelompok pelajar SMA. Tentu tak semua aktif dan produktif, hanya sebagian saja.

Sejak mula berdiri, CLC komit sebagai komunitas bersama yang menjadi payung bagi komunitas film kebanyakan di Purbalingga. Komitmen ini terjabarkan pada fasilitasi produksi (alat dan materi), pengumpulan karya, pendistribusian dan pemutaran.

Cara Bertutur yang Khas
Dua tahun sebelum kelahiran CLC, sudah ada beberapa karya film pendek. Salah satunya adalah film “Peronika” (2004) yang kerap menyabet penghargaan di berbagai ajang. Film yang banyak dibicarakan di luar Purbalingga ini dianggap khas warna kelokalannya.

Tak hanya dialog, musik, dan lokasi yang ada dalam film, tapi juga persoalan ide cerita yang diangkat: khas Banyumasan. Ini yang kemudian banyak dikiblati karya-karya lain di Purbalingga dan di Banyumas pada umumnya.

“Peronika” mengangkat tema besar terkait soal kesalahpahaman masyarakat level bawah. Film lain yang bertutur dengan tema serupa adalah “Metu Getih”. Berlanjut pada generasi berikutnya yang digarap para pelajar SMA melalui workshop CLC melahirkan karya berjudul “Boncengan” dan “Tasmini”.

Kesalahpahaman tampaknya menjadi tema menarik untuk mengangkatnya dalam sebuah karya film. Bagaimana tidak, kesalahpahaman itu sendiri adalah sebuah konflik yang sebenarnya bisa terjadi di masyarakat mana saja. Dan di rumpun Banyumas, kesalahpahaman kerap menjadi bahan tawa ringan.

Belakangan, ketika para pelajar sudah bisa mandiri, mereka menghasilkan tema karya lebih beragam yang kemudian muncul bersama di ajang Purbalingga Film Festival (PFF) 2008 lalu. Karya berjudul “Glue (Ada Apa dengan Bani), MB (Mimpi Basah), Kebongkar, Gairah Salimin, dan Blue Horor” mengupas kehidupan mereka sebagai pelajar namun tetap tak meninggalkan akar kelokalannya. Meskipun belum tentu sekualitas generasi sebelumnya, ini sebagai satu bukti ada generasi yang sedang berproses.

Bowo Leksono
Direktur CLC

Disampaikan pada acara “Kronik on Screen: Pemutaran dan Diskusi Film-Film Banyumas” | Semarang | Sabtu, 1 November 2008

Jumat, 24 Oktober 2008

BSF #11: Berjanji untuk Bikin Film Lagi


”Saya berjanji tidak akan berhenti sampai disini. Saya akan terus membuat film,” demikian janji Wahyu SB, seorang pelajar SMA Negeri 1 Bobotsari, Purbalingga di depan penonton Bamboe Shocking Film (BSF) #11, yang digelar Sabtu, 4 Oktober 2008 silam, di Kafe Bamboe, Purbalingga.

Wahyu, sutradara yang baru pertama membuat film pendek berjudul “Musibah” bersama Nanki Nirmanto ini tampak mantap berucap tidak kapok dalam berkarya di bidang film. Pun demikian dengan Andri, sutradara yang baru pertama membuat film dokumenter pendek berjudul “BLT”.

“Saya ingin seperti temen-teman yang lain, terus dan terus membuat film. Apalagi pekerjaan saya juga berhubungan dengan dunia suting menyuting,” tegas Andri pada kesempatan diskusi seusai pemutaran.

Malam itu, gelaran BSF sekaligus sebagai ajang silaturahmi seusai Lebaran. Empat film pendek digeber untuk memenuhi hasrat anak muda Purbalingga.

Keempat film pendek itu adalah “Musibah” sutradara Wahyu SB dan Nanki Nirmanto (fiksi-Purbalingga), “BLT” sutradara Andri (dokumenter-Purbalingga),”Ngarit” sutradara Wasis S. Wardhana (fiksi-Purwokerto), dan “Tak Kenal dan Tak Sayang” sutradara Bowo Leksono (dokumenter-Purbalingga).

Film fiksi “Musibah” berkisah tentang seorang anak yatim bernama Kurim yang sedari kecil menanggung bermacam cobaan hidup. Hingga beranjak remaja, nasib baik tetap tak berpihak padanya, termasuk saat mendekati wanita.

Agak berbeda dengan film “Ngarit” yang mengisahkan perjuang seorang anak karena merasa dirinya bisa hidup berkat bantuan seorang dukun bayi, ia pun sekuat tenaga ingin membantu sang dukun itu.

Lain hal dengan dua film dokumenter berjudul “BLT” dan “Tak Kenal dan Tak Sayang” yang sarat politik. “BLT”, seperti kita ketahui, mengupas ketimpangan pembagian bantuan yang tidak tepat sasaran. Jadi tidak mudah memandang seperti apa kemiskinan di Indonesia itu.

Sementara pada “Tak Kenal dan Tak Sayang”, gambaran nyata tentang ketidakpercayaan masyarakat terhadap para pemimpin dan calon pemimpin. Buat apa memilih bila tak ada perubahan lebih baik dalam hidup. Demikian prinsip masyarakat. Jadi bagi para pemimpin; jangan harap disayang rakyat bila tak dikenal. Bolex