Minggu, 24 Agustus 2008

Film Banyumas Diputar di Courts-Circuit

Kali kedua, film dokumenter “Leng Apa Jengger” diputar setelah pemutaran perdana di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, desa dimana film yang mengupas kesenian khas Banyumasan ini diproduksi dalam rangkaian program Komidi Sorot Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).

Kesempatan kedua, Centre Culturel Francais (CCF) Jakarta memilih film hasil keroyokan filmmaker muda se-eks Karesidenan Banyumas untuk diputar di Ibukota Jakarta. Pemutaran film yang digarap duet sutradara Sigit Harsanto dan Bowo Leksono itu dilakukan pada Sabtu, 23 Agustus 2008, Pukul 17.00 WIB, di Kineforum Taman Ismail Marzuki (TIM) Jl. Cikini Raya No. 73 Jakarta Pusat.

Tak cuma itu, pemutaran film alternatif yang merupakan rangkaian acara Courts-Circuits (special a’courts d’ecran) juga menyuguhkan pameran, bazaar, dan diskusi film pendek dari Jumat-Minggu, 22-24 Agustus 2008. Dan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) turut memeriahkan pameran tersebut.

Hendak Menjadi Dokumenter Panjang
Film “Leng Apa Jengger” yang berdurasi 23 menit ini berkisah tentang satu tradisi di satu waktu di Banyumas, Jawa Tengah. Tradisi itu telah merubah takdir para lelaki menjadi ratu yang paling cantik di tengah para perempuan. Sedari belia, para lelaki terpilih di didik untuk menjadi penari lengger.

Film produksi La Cimplung ini merekam pengalaman pribadi Sadam, bocah lelaki yang setelah dewasa menjadi penari lengger terkenal bernama Dariah. Dan nasib Dariah yang mulai meniti hari-hari tuanya tergambar dalam film berlogat Banyumasan ini.

Namun tampaknya, para pembuat film ini belum merasa selesai dengan garapan yang cukup memakan waktu dalam tahap pascaproduksinya. “Masih banyak momen dan materi yang harus digali dan diambil gambarnya,” ujar Sigit Harsanto. Dalam waktu dekat, pengambilan gambar mulai dilakukan yang juga akan melibatkan tokoh budayawan Banyumas, Ahmad Tohari.

Pameran dan Diskusi
Selain kesempatan pemutaran film, JKFB juga berkesempatan membuka stan pameran film. Di meja JKFB tersedia bermacam souvenir, katalog dan kompilasi film. Termasuk dokumentasi sejarah terbentuknya JKFB berupa foto dan katalog. Selain JKFB, komunitas dari kota lain turut menyemarakkan pameran seperti Forum Lenteng, Boemboe, Minikino, Konfiden, dan The Marshall Plan.

Selain pemutaran film, juga digelar forum diskusi yang salah satunya mengangkat bahasan tentang “pendokumentasian film” dengan pembicara dari Yayasan Konfiden dan Forum Lenteng.

”Film itu tidak hanya dipoduksi tapi yang juga penting adalah perawatan. Perawatan film itu salah satunya dengan cara data base, baik secara individual maupun komunitas. Dan Konfiden merupakan salah satu badan yang melakukan pendataan dan mendokumentasikan film-film pendek di Indonesia yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemeritah.” ujar Agus Mediarta dari Yayasan Konfiden. Nanki Nirmanto

Senin, 11 Agustus 2008

Ketika Layar CLC Terkembang

Memasuki musim Tujuhbelasan, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga kembali menggelar program tahunan berupa pemutaran Layar Tanjleb keliling desa-desa di wilayah Kabupaten Purbalingga. Terutama di desa-desa yang pernah digunakan sebagai lokasi syuting pembuatan film. Hal ini sebagai wujud timbal-balik apa yang diberikan masyarakat untuk perkembangan film pendek di Indonesia.

Bahkan tahun ini, jamahan program Layar Tanjleb hendak melebar ke wilayah Kabupaten Banyumas dan Banjarnegara seiring program Komidi Sorot dari Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).

Tidak cukup itu, seperti tahun lalu, CLC juga akan kembali menggelar Layar Tanjleb di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Tepatnya di Perumahan Mustika Tigaraksa.

Materi Film yang Memasyarakat
Apa saja film-film yang diputar di program ini? Tentu disesuaikan dengan kondisi masyarakat bawah. Namun pada dasarnya banyak materi film-film pendek yang sesuai dan pada akhirnya disukai masyarakat.

Disamping materi film pendek dari Purbalingga sendiri, juga menghadirkan film-film pendek yang berasal dari kota tetangga yaitu Cilacap dan Purwokerto serta kota-kota lain seperti Yogyakarta, Solo, dan Surabaya. Sebagian besar diantaranya bertemakan perjuangan yang mencoba membakar semangat patriotisme.

Sebagai daya tarik di gelaran Layar Tanjleb itu, pihak CLC menyediakan doorprize bagi masyarakat yang berasal dari sponsor maupun CLC sendiri. Hadiah buat masyarakat biasanya berupa kupon makan bakso, mie ayam, atau bahkan potong rambut dan creambath gratis.

Menjauhkan Masyarakat dari Sinetron
Bulan Agustus adalah saat yang paling tepat untuk mengajak masyarakat menjauhkan tontonan wajib mereka setiap malam: sinetron. Masyarakat akan dengan rela meninggalkan layar kaca mereka untuk menyaksikan karya-karya film anak negeri yang sudah saatnya merebut hati masyarakat.

Biasanya layar ditancapkan di tanah lapang atau melintang di tengah jalan desa. Pergelaran Layar Tanjleb tak hanya memberi tontonan gratis yang menghibur dan edukasi bagi masyarakat, namun juga memberi rezeki bagi para pedagang baik makanan, mainan anak-anak, hingga pakaian.

Program Layar Tanjleb adalah salah satu strategi distribusi film-film pendek khususnya bagi masyarakat kecil yang tak banyak berkesempatan menyaksikan dan menikmati karya anak muda.

Sejak peristiwa pelarangan program Bioskop Kita oleh Pemkab Purbalingga dua tahun silam, CLC bergerilya ke desa-desa untuk menyapa masyarakat dengan karya. Bolex

JADWAL LAYAR TANJLEB 2008

NO.

HARI, TANGGAL

LOKASI

1.

Sabtu, 16 Agustus 2008

Perum Griya Perwira Asri

2.

Minggu, 17 Agustus 2008

Perum Mustika Tigaraksa Tangerang

3.

Minggu, 17 Agustus 2008

Dusun Sikadut, Desa Karangtalun, Kec Bobotsari, Purbalingga

4.

Senin, 18 Agustus 2008

Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga

5.

Senin, 18 Agustus 2008

Desa Plana, Kecamatan Somagede, Banyumas

6.

Selasa, 19 Agustus 2008

Banjarnegara

7.

Rabu, 20 Agustus 2008

Desa Kradenan, Kecamatan Mrebet, Purbalingga

8.

Sabtu, 23 Agustus 2008

Perum Griya Abdi Kencana Purbalingga

Kamis, 07 Agustus 2008

6 Film Banyumas di “Refleksi Boemboe 5 Tahun”

Sebanyak enam film produksi anak-anak muda Banyumas diputar di even “Refleksi Boemboe 5 Tahun”, Jumat-Sabtu, 1-3 Agustus 2008, di Kineforum, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Keenam film tersebut adalah Manuskrip sutradara Bayu Bergaswaras (Purwokerto), Tak Kenal dan Tak Sayang sutradara Bowo Leksono (Purbalingga), Anarchist Cookbook for Beginners sutradara Dimas Jayasrana (Purwokerto), Misi Penyelamatan Kucing sutradara Insan Indan Pribadi (Cilacap), Dompet sutradara Sari Handayani (Purwokerto), dan Mahkotaku 50:50 sutradara Heru C. Wibowo (Purbalingga). Selain film-film dari Banyumas, juga masih banyak film-film dari kota-kota lain dari seluruh Indonesia.

Dari keenam sutradara film Banyumas, empat sutradara hadir di acara tersebut. Insan Indah Pribadi dan Heru C. Wibowo serta Dimas Jayasrana dan Bowo Leksono. Kedua sutradara yang disebutkan terakhir ini memang tinggal di Ibukota.

“Refleksi Boemboe 5 Tahun” diselenggarakan dalam rangka memperingati usia kelima Boemboe, sebuah lembaga distribusi film pendek Indonesia. Acara ini bersamaan dengan gelaran Boemboe Forum 2008 yang menggelar pemutaran film, pameran, dan sarasehan.

Pendiri Boemboe Lulu Ratna berharap melalui program ini Boemboe dapat melakukan perenungan sekaligus berbagi rasa syukur atas perjalanan Boemboe sejauh ini. “Kami berbagi rasa syukur ini kepada semua pihak yang telah memberi dukungan moril maupun material selama ini,” tuturnya.

Sejak berdiri ditahun 2003, Boemboe telah berkiprahdalam turut mengembangkan dunia film pendek Indonesia di kancah nasional dan internasional. Selain gelaran tahunan Boemboe Forum (sejak 2004) dan gelaran dua tahunan 3 Cities Short Film Festival (sejak 2006), Boemboe juga menjalin kerjasama program dengan berbagai pihak.

Kerjasama dalam mengorganisir/mengkurasi program pemutaran film serta kegiatan yang bersifat membangun jaringan kerja ini adalah bagian dari program Boemboe Screening dan Boemboe Meeting Point.

Sementara promosi dan distribusi film pendek Indonesia menjadi bagian dari program Boemboe International & National Distribution yang diikuti dengan produksi DVD Boemboe sebagai bagian dari program database. Tentu kiprah lembaga semacam Boemboe akan terus dinanti para pembuat dan penikmat film pendek Indonesia. Bolex

Selasa, 05 Agustus 2008

Kalyana Shira Garap Antologi Dokumenter

Ada kabar baik di tengah seragamnya genre film yang muncul di layar bioskop. Ternyata, masih ada saja sineas yang mencoba melakukan terobosan dalam menyuguhkan karyanya dan tak sekadar ikut-ikutan tren sedang yang ramai. Setidaknya begitu yang diniatkan rumah produksi Kalyana Shira Films dalam proyek berikutnya.

Proyek ini dimulai dari sebuah kompetisi film dokumenter bertajuk “Think Act Change: The Body Shop Documentary Film Competition 2008”. Sebuah ajang tahunan untuk pembuat film dokumenter berbakat. Kalyana Shira Foundation hadir di sini lewat Master Class Category. Tema yang diangkat adalah “Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi”.

Workshop ini sendiri digelar pertengahan Juli 2008 di Teater Kecil TIM dan diikuti oleh 34 peserta dari 12 kota. Dari delapan proposal terpilih kelak, akan ditunjuk empat sutradara dalam Pitching Forum untuk mewujudkan empat film dokumenter yang akan didistribusikan di layar lebar.

“Proposal itu akan dilihat kekuatan storyline-nya, keunikan approach-nya, hingga character development-nya,” ungkap Nia Dinata selaku Ketua Kalyana Shira Foundation sekaligus produser Kalyana Shira Films. Pada akhirnya, Kalyana Shira akan memberikan full fellowship dengan menanggung biaya pembuatan dan distribusi film.

Saat ditanya soal biaya, teh Nia tidak merinci dengan spesifik.”Itu adjustable kok, bisa disesuaikan dengan kebutuhan cerita,” kilahnya kalem. Sepertinya sambungan Perempuan Punya Cerita nih. Bobby Batara_www.21cineplex.com

Tak Ada Kebijaksanaan dari Kalyana Shira
Nasib baik ternyata belum berpihak kepada para filmmaker Banyumas. Kesempatan pertama untuk menggarap film layar lebar ternyata kandas di tengah jalan.

Bowo Leksono (Purbalingga) dan Gatot Artanto (Sokaraja) duet filmmaker yang berkesempatan mengikuti Program Master Class The Body Shop kerjasama Kalyana Shira Foundation dan Dewan Kesenian Jakarta. Mereka berdua berhasil masuk delapan besar dan tinggal melakukan pitching yang artinya berhasil masuk final.

Untuk menghadapi babak final, Bowo sudah melakukan riset di Purbalingga tentang sulitnya akses terhadap kesehatan reproduksi di daerah tempat kelahiran Pahlawan Nasional Jenderal Soedirman itu.

“Namun pihak Kalyana Shira Foundation tiba-tiba mengubah jadwal pitching dan saat itu kami sedang shooting di Sumba dan Bali. Kami tidak mendapatkan kebijaksanaan untuk presentasi di hari yang lain. Mereka tetap kekeh dengan perubahan jadwal itu,” ujar Bowo.

Maka, gugurlah kesempatan emas bagi filmmaker Banyumas untuk turut berkiprah dalam memajukan perfilman Nasional. Bolex

Sabtu, 02 Agustus 2008

Film Purbalingga Kembali Raih Penghargaan

Setelah terbaik kedua tahun 2007, pegiat film Purbalingga merebut penghargaan film terbaik pertama di Festival Video Edukasi 2008. Duo sutradara Agus Sudiono dan Uswantoro dari Rumah Produksi Glovision memperbaiki peringkat melalui film berjudul “Cuthel”. Film berdurasi 19 menit itu merupakan satu-satunya film Banyumas yang masuk nominasi sekaligus memenangi ajang tahunan ini.

Malam penghargaan oleh Balai Pengembangan Media Televisi (BPMT) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional itu digelar di Gedung Kesenian Cak Durasim, Surabaya, Jumat, 25 Juli 2008.

Tahun ini film memperebutkan hadiah dua kategori, yaitu pelajar dan umum. Lima puluh enam film dari seluruh Indonesia terdaftar sebagai peserta. “Cuthel” memperoleh penghargaan terbaik kategori umum dan berhak membawa piala serta uang tunai Rp 20 juta.

“Ini film pertama kami yang dibuat tahun 2006. Jadi bukan film baru. Meski berharap menang, penghargaan ini sangat mengejutkan,” ujar asisten sutradara “Cuthel” Heru C. Wibowo.

Inspiratif
Film “Cuthel” diilhami kisah Turnadi, pria yang hanya memiliki satu tangan dan satu khaki.warga sering mengolok-olok sehingga membuat istri dan anaknya marah. Namun Turnadi enggan mengandalkan belas kasihan orang lain. Dia meyakinkan istri dan anaknya agar mensyukuri nikmat Allah.

Ia menjaring ikan dan membuat sangkar burung untuk menyekolahkan buah hatinya. Diyakinkan bahwa pendidikan penting untuk masa depan yang lebih baik. “Kisah Turnadi yang kami angkat memang inspiratif. Kami tergugah untuk memfilmkan. Dulu tak pernah berpikir ikut festival,” tambah Heru.

Setahun sebelumnya pioner film pendek Purbalingga, Bowo Leksono, meraih penghargaan terbaik kedua lewat “Senyum Lasminah”. Saat ini dia bersama Gatot Artanto (Sokaraja) menanti kepastian penggarapan film layar lebar untuk tayang di bioskop dalam ajang “The Body Shop: Documentary Film Competition 2008” dan Kalyana Shira Foundation pimpinan sutradara Nia Dinata.

“Sayang, panitia mengubah jadwal. Pada saat yang sama kami berada di Bali dan Sumba. Meski akan menjadi pengalaman layar lebar pertama bagi film Banyumas, kami tidak bisa mengadakan pertemuan dengan pihak Kalyana Shira Foundation. Padahal kami sudah menyiapkan lokasi shooting di Purbalingga,” ungkapnya. Sigit Harsanto_Suara Merdeka