Rabu, 26 Februari 2014

Produksi Fiksi SMA 2 Purbalingga


Air kehijauan membentang luas dan pegunungan kebiruan di Bendungan Slinga Purbalingga menjadi latar dua sahabat, Asep dan Indra, saling mencurahkan hati seusai berjam-jam mengejar pencuri yang tak tertangkap.

Nyong bisa ikhlas prekara sandal, ningen dadi ana prekara liya, ya kiye ngko dewek ijolan diarani nyolong pit (Saya bisa ikhlas soal sandal, tapi jadi ada masalah lain, nanti kita gantian dituduh mencuri sepeda),” keluh Indra. “Kabeh mau ana hikmahe, yen ora merga pit kiye, dewek ya ora teyeng numpak pit selawase” (Semua itu ada hikmahnya, bila bukan karna sepeda ini, kita ya tidak bisa naik sepeda selamanya),” tukas Asep.

Dialog dua remaja itu merupakan nukilan dari film pendek bertajuk “Duren” (Durian) yang baru saja diproduksi Brankas Film SMA 2 Purbalingga. Pengambilan gambar selama sehari itu dilakukan pada Rabu, 26 Februari 2014 di Desa Penaruban dan Desa Slinga, Kecamatan Kaligondang, Purbalingga.

“Kami ingin mengulang kesuksesan film-film pendek yang dibuat oleh kakak-kakak kelas kami sebelumnya. Membuat film dengan cerita yang sederhana, nakal, dan ringan,” ujar penulis skenario Ella Septiana.

Ella menambahkan, film pendek yang dibuat Brankas Film tahun sebelumnya yang dinilai gagal atau kurang mendapat tempat dihati penonton karena cerita yang ditulis terlalu berat dan tidak dekat dengan kehidupan anak muda.

Sudah sejak 2007, Brankas Film dibawah naungan ekstrakulikuler Teater Brankas SMA 2 Purbalingga tidak pernah absen dalam produksi film pendek dan mampu menyabet berbagai festival film pendek. Baru dua tahun terakhir karya mereka kurang menonjol.

Sutradara Danang Bagus Prasetyo mengatakan, dasar teatar bagi mereka merupakan keuntungan tersendiri. “Sehingga kami tidak terlalu kesulitan dalam menjaring pemain sesuai karakter,” ujar siswa yang duduk di kelas XI ini.

Sementara menurut guru pembina ekskul Teater Brankas Nur Setiyadi, membuat film bagi anak-anak teater sudah bagian dari program tahunan. “Karena itu, sekolah berkewajiban memfasilitasi agar anak-anak mampu lebih berkembang,” ungkapnya.

Selain film fiksi pendek, Brankas Film juga sedang menyiapkan film dokumenter. Rencananya, keduanya hendak diturutsertakan pada program kompetisi pelajar Banyumas Raya Festival Film Purbalingga (FFP) 2014 pada Mei mendatang.

Kamis, 20 Februari 2014

Produksi Fiksi SMA Bukateja Purbalingga


Awalnya, Dirman, pemuda pencari rumput, hanya mampu mengutuk dirinya sendiri lantaran tak mampu menyelamatkan gadis cantik yang disekap dua lelaki di tengah hutan. Dengan sebuah sepeda, ia mengejar si gadis yang dibawa kabur dengan sepeda motor.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ketika sepeda Dirman mampu menyalip sepeda motor yang membawa si gadis cantik, justru mereka jatuh saling bertubrukan. Meski terluka, Dirman berusaha bangkit.

Rika agep nyulik bocah wadon kiye ya? Culna! (Anda hendak menculik anak gadis ini ya? Lepaskan!),” tantang Dirman. “Nyulik? Kiye anake nyong, anu ora waras! Ko gelem kambi anake nyong?(Menculik? Ini anak saya, yang sakit jiwa! Kamu mau sama anak saya?),” balas salah satu lelaki.

Demikian cuplikan adegan film pendek “Sekuntum Anggrek Putih” yang baru saja diproduksi Sabuk Cinema ekstrakulikuler sinematografi SMA Bukateja Purbalingga. Para pelajar itu memproduksi selama sehari, pada Kamis, 20 Februari 2014 di Desa Pandansari, Kecamatan Kejobong, Purbalingga.

“Skenario film pendek ini berasal dari cerpen berjudul “Apa Aku Gila” karya Lisnaeni Panggayuh, pemenang pertama Sayembara Cerita Muda Purbalingga (SCMP) tahun 2014 yang digelar Kelas Menulis Purbalingga,” ujar Tito Firesta Yonara, penulis skenario sekaligus kameraman.

Menurut Tito, ia dan beberapa teman di Sabuk Cinema, setelah mengantongi izin dari penulis cerpen, mencoba menuliskan kembali dalam bentuk skenario film pendek dari perspektif mereka. “Tidak mudah memang, karena harus disesuaikan dengan visual dalam film,” ungkap pelajar yang duduk di bangku kelas XI ini.

Sekitar dua bulan memasuki tahap praproduksi, ekskul yang tahun lalu vakum membuat film fiksi pendek ini kembali berproduksi. Tampaknya, mereka ingin kembali meraih sukses film pendek yang dibuat dua tahun silam.

Menurut sutradara Dinda Putri Hapsari, ia dan teman-temannya tidak mau berhenti berkarya. “Program ekskul sinema ya membuat film, apapun kendalanya karna bagi kami yang penting kerjasama dan kekompakan agar tidak bubar,” tegas siswi kelas X ini.

Sementara pembina ekskul sinema Meinur Diana Irawati mengatakan, meskipun sekolah sudah mendukung, keberlanjutan ekskul tetap berada pada niat dan semangat anak-anak didik. “Sekolah itu sifatnya memfasilitasi, kami para guru hanya berusaha agar anak-anak tetap semangat berkarya,” tutur guru pengampu pelajaran Ekonomi.

Sebelumnya, ekskul sinema SMA Bukateja Purbalingga ini telah menelorkan dokumenter bertajuk “Angguk” yang nantinya bersama film pendek ini akan diikutsertakan pada program kompetisi pelajar Banyumas Raya Festival Film Purbalingga (FFP) 2014.

Sabtu, 15 Februari 2014

Produksi Fiksi SMA Rembang Purbalingga


Giras, cucu Mustarja, menemukan setumpuk baju yang di bungkus kain jarit di dasar gudang daun cincau kering. Baju-baju yang ternyata seragam lengger adalah milik Mustarja yang disembunyikan anaknya, Sugito.

Sugito merasa malu pada bapaknya, karena hingga usia lanjut, masih saja menari lengger. Giras lalu memberikan bungkusan itu kepada kakeknya lalu membuka dan menunjukkan pada Giras. “Kiye sing gawe nyong semangat urip, Ras!” (Ini yang membuat saya bersemangat hidup, Ras!),” tegas Mustarja.

Cuplikan kisah itu salah satu adegan pada film pendek bertajuk “Si Lengger Lanang” yang baru saja dibuat Pak Dirman Film ekstrakulikuler sinematografi SMA Rembang Purbalingga. Para pelajar itu memproduksi film selama dua hari, Jumat-Sabtu, 14-15 Februari 2014 di Desa Panusupan, Kecamatan Rembang, Purbalingga.

“Cerita film pendek kami berdasar pada film dokumenter yang kami produksi sebelumnya. Sudah seperti tradisi bagi ekskul kami, membuat cerita fiksi diilhami dari kisah dokumenternya,” ujar penulis skenario Lilit Widiyanti.

Sebelumnya, pelajar yang tergabung dalam Pak Dirman Film memproduksi dokumenter berjudul “Segelas Teh Pahit” tentang kisah lengger lanang yang masih tersisa di Desa Panusupan bernama Manarwi (80). Dari kisah itu, mereka terilhami untuk kemudian memproduksi versi fiksinya.

Menurut sutradara Ela Nur Wijayanti, semua pemain diambil dari warga Desa Panusupan. Hal ini, katanya, karena kedekatan yang sudah dibangun dengan warga desa sebelumnya. “Meski begitu, ternyata tidak mudah mengatur pemain orang tua, apalagi anak-anak. Untunglah, mereka bersemangat dan dilakukan dengan rasa senang,” tutur pelajar yang duduk di kelas XI ini.

Guru pembina ekskul sinema Puji Rahayuning Pratiwi mengatakan, proses produksi film bagi siswa menemukan tantangan pada dua hal, internal dan eksternal. “Internal, anak-anak harus pandai-pandai mengatur waktu sekolah, karena harus dikerjakan berbulan-bulan. Sementara eksternal, ya harus berhubungan dengan pihak-pihak luar dimana film itu akan diproduksi,” ujar guru pengampu mata pelajaran Matematika ini.

Seperti halnya film dokumenter, film fiksi ini juga hendak diikutkan pada kompetisi pelajar Banyumas Raya Festival Film Purbalingga (FFP) 2014 pada Mei mendatang.

Sabtu, 08 Februari 2014

Produksi Dokumenter SMK YPLP Perwira Purbalingga


Matahari hampir tegak lurus di atas kepala. Seorang lelaki bertubuh hitam legam berjalan menelusuri bantaran Sungai Klawing di wilayah Desa Jetis, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga. Ia diikuti dua pelajar yang membawa peralatan kamera.

Lelaki bernama Imam Sardi (42) itu naik sebuah perahu miliknya, lalu menyalakan mesin. Ia siap menambang pasir untuk kedua kali pada hari itu. Kedua pelajar itupun tak berhenti di pinggir sungai, mereka turut serta menaiki perahu.

Pelajar yang tergabung dalam Kafiana Production ekstrakulikuler sinematografi SMK YPLP Perwira Purbalingga sedang memproduksi sebuah film dokumenter yang mengangkat keluarga penambang emas hitam di sungai terbesar di Purbalingga.

“Ya kami sedang membuat dokumenter tentang kisah penambang pasir. Konsep produksinya, kami mengikuti selama beberapa hari perjalanan keluarga penambang pasir. Bagi kami, kehidupan mereka sangat menarik,” ungkap Octa Berna Ratungga, selaku sutradara.

Beberapa bulan melakukan riset, bahkan sempat beberapa kali berganti subyek, para pelajar yang baru setahun memiliki ekskul sinema itu memproduksi dokumenter selama empat hari, Kamis-Minggu, 6-9 Februari 2014.

Pagi dini hari, para pembuat film sudah berada di halaman rumah penambang. Mereka menunggu penghuni rumah bangun dan mulai mengambil gambar aktifitas keseharian mulai bangun tidur hingga kembali beranjak ke tempat tidur.

Menurut salah satu kru, Zakaria Maolana Romadon, dokumenter seperti ini tidak hanya telaten dalam visual tapi juga audio. “Berusaha jangan sampai ketinggalan momen, karna dari situ cerita film ini dibangun,” ujar pelajar yang didapuk sebagai kameraman ini.

Kepala SMK YPLP Perwira Purbalingga Kurniawan Hery S., S.Pd., mengatakan memproduksi film dokumenter itu salah satu cara siswa untuk melatih kepekaan pada lingkungan dimana mereka tinggal. “Banyak hal di Purbalingga ini yang menarik dan perlu difilmkan. Ini baik bagi pembelajaran siswa,” tuturnya.

Seperti halnya dokumenter yang diproduksi pelajar setingkat SMA lainnya, film ini rencana hendak diturutsertakan pada program Kompetisi Pelajar Banyumas Raya Festival Film Purbalingga (FFP) 2014 pada Mei mendatang.

Kisah Penambang Emas Hitam


Beberapa pekan silam, Imam Sardi (42), seorang penambang pasir Sungai Klawing Purbalingga dipanggil ke Markas Kepolisian Resort (Mapolres) Purbalingga. Lelaki warga Desa Jetis, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga ini sempat merasa takut.

Belakangan ada laporan masyarakat, beberapa penambang emas hitam di jalur Sungai Klawing wilayah Jetis melanggar aturan penambangan dengan mengambil pasir di bantaran sungai yang berakibat longsor dan hilangnya pohon-pohon yang ditanam di atasnya.

“Ternyata salah tangkap. Saya, terlebih istri saya, sempat merasa sangat takut. Saya tidak pernah menambang di pinggiran, selalu di tengah sungai. Meski begitu di kantor polisi, saya tetap diminta tanda tangan surat pernyataan,” tutur Sardi.

Sardi, sejak menikah dengan Jumeni (41) pada tahun 1992, beralih profesi dari sopir ke penambang pasir. Hanya berjarak sekitar 50 meter rumahnya yang masih berdinding bambu dengan sungai terbesar di Purbalingga itu.

Menurut bapak dari Eva Mega Restiani (18), Suci Ramadani (10), dan Anisa Nifkul Laila (4) ini, menambang pasir itu gampang-gampang susah. “Gampangnya, pasir selalu tersedia di sungai, alam yang menyediakan, yang penting kita jangan asal mengambil. Susahnya, bila tidak menambang ya tidak dapat uang, menambang saja belum tentu dapat uang bila pasir kita tidak ada yang membeli,” terang lelaki berkulit legam ini.

Dalam sehari, Sardi menambang dua kali. Bila rezeki sedang gampang, bisa bolak-balik lebih dari dua kali. Sekali menambang, ia mampu mengantongi Rp 30 ribu untuk ukuran sekitar satu kubik emas hitam.

Sejak sekitar tiga tahun silam, keluarga Sardi telah memiliki perahu dan mesin sendiri dengan cara menyicil selama kurang dari lima tahun. Namun demikian, pekerjaan Sardi masih bergantung pada bos depot penambangan pasir yang turut mengatur pemasaran pasir para penambang.

Apapun profesi Sardi adalah anugerah bagi istri dan ketiga anaknya. Menurut Jumeni, ia sangat bersyukur bersuamikan Sardi. “Bojoku kuwe ora pediren, apa-apa sing demek bisa dadi duit. Kuwe senenge nyong neng kono.(Suami saya itu tidak canggungan, apapun yang dikerjakan bisa jadi uang. Itu senangnya saya disitu),” ujar ibu rumah tangga yang juga bekerja sebagai buruh tani serabutan ini.

Oleh: Octa Berna Ratungga dan Zakaria Maolana Romadon
Pelajar SMK YPLP Perwira Purbalingga