Sabtu, 29 Desember 2007

Film Banyumas Sepanjang 2007; Membanggakan tapi Belum Menggembirakan

”Televisi adalah sastra rakyat hari ini,” kata Garin Nugroho. Bila saat dimulainya revolusi Gutenberg, buku dinamai sebagai jendela dunia, peran itu kini telah diambilalih oleh televisi. Dan televisi sangat membutuhkan produksi beragam jenis tayangan, satu diantaranya sajian film. Akan tiba waktunya, film-film produksi berbagai komunitas lokal menghiasi layar kaca, berderet bersama film impor.
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 ‘toh’ telah menetapkan sistem televisi jaringan yang mematok kian banyak tayangan lokal. Sehingga tentu membanggakan jika anak-anak muda yang lahir dari rumpun kebudayaan Banyumasan sudah mendahului jaman dengan memperkenalkan kategori Film Banyumas kepada publik. Setidaknya di tingkat nasional, dengan jumlah keikutsertaan festival film mencapai puluhan, film Banyumas tak luput dari perhatian.
Komunitas film yang secara samar mulai muncul di Purwokerto tahun 1999, kini telah menjadi jamak di Kabupaten Purbalingga dan Banyumas. Cilacap dan Banjarnegara, dengan jumlah komunitas yang lebih sedikit pun tak jemu-jemunya menggelar kegiatan. Keikutsertaan sineas Purbalingga pada Festival Film Eropa, dan undangan untuk Komunitas Sangkanparan dan sineas SMA 1 Cilacap di ajang Pusat Kebudayaan Prancis, menandai langkah maju di lingkungan penikmat film internasional.
Naif jika televisi menjadi satu-satunya tujuan produksi film lokal. Ajang eksebisi film, sistem distribusi mandiri dan festival film justru menjadi isu pokok yang kini digarap komunitas film. Sebagai produk alternatif dari industri film berskala raksasa, komunitas film juga menawarkan idealisme tertentu.
Manajer Program Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, Bowo Leksono mengusung isu membangkitkan kembali kecintaan pada bahasa beserta aspek budaya Banyumasan. Insan Indah dari Sangkanparan Cilacap lebih menjadikan film lokal sebagai alternatif tontonan dari tayangan tak membumi televisi nasional. Hadir pula kelompok produksi film yang lebih bersifat komersil, dan tidak berkaitan dengan kerja-kerja komunitas film.
Infrastruktur Minim
Sementara disisi lain, fakta bahwa begitu banyak persoalan yang membelit insan film tidak dapat ditampik. Pegiat film beserta produksinya masih berada di menara gading, alias sulit direngkuh khalayak awam. Sampai-sampai, di sebuah forum film, pegiatnya tak bisa memilah pengertian antara film dokumentasi dengan film dokumenter. Wacana film di Banyumas masih ‘diawang-awang’ . Itu akibat jumlah sumber daya yang dapat dikatakan masih sangat terbatas. Sama terbatasnya dengan infrastruktur yang juga masih minim. Masing-masing kelompok dan individu harus berjibaku mengelola dana, dan belum sanggup mengusaikan kerja edukasi secara lebih masif.
Kehadiran Festival Film Banyumas (FFB) yang untuk kali pertama digelar Komunitas Jurnalis Televisi Purwokerto (KJTP) menjadi salah satu penanda kepercayaan terhadap film Banyumas. Lepas dari berbagai kelemahan, ajang itu diharapkan bisa memantik semangat produksi. Sementara perubahan forum komunikasi antarkomunitas di eks Banyumas menjadi asosiasi film bernama Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) juga menjadi tonggak sejarah baru. Sejauhmana kinerja asosiasi yang diantaranya dibesut oleh perintis komunitas film pendek di Banyumas Besar masih terlalu dini dievaluasi. Yang jelas, tumbuhnya sejumlah ‘pusat’ -pusat baru kegiatan film di Banyumas Besar diharapkan mampu mendorong percepatan perkembangan film daerah. Dan tahun 2008 mendatang, menjadi batu ujian kesinambungan kiprah komunitas film Banyumas. (H39*)

Suara Merdeka, Jumat 27 Desember 2007

Kamis, 20 Desember 2007

BSF Suguhkan Film Terbaru

Di penghujung tahun 2007, Bamboe Shocking Film (BSF) ke-4 tampil dengan tiga film anyar karya anak-anak muda Kota Perwira. “Foto”, “HOP”, dan “Bunga Terakhir”, demikian judul ketiga film itu.
BSF, program bulanan yang digelar Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga ini akan menyapa pecinta sinema pada Sabtu, 22 Desember 2007, pukul 19.30 WIB, di Cafe Bamboe, Jl Jend. Sudirman No 116 atau sebelah timur alun-alun Purbalingga.
Menjadi (seperti) dewasa, dengan melakukan hal-hal yang dikerjakan kaum dewasa menjadi latar dalam film “Foto” dan “HOP”. Kedua film ini adalah sebagai wujud kecintaan pembuat film terhadap profesi dan tentu buah hatinya.
“Foto” bercerita tentang sebuah studio foto dengan segenap aktivitasnya. Datang pelanggan, bergaya, hasil foto diedit, dicetak lalu, bayar langsung. Tidak ada yang kebaruan dalam film garapan sutradara Ayun ini, namun yang istimewa adalah para pemainnya, anak-anak di bawah umur.
Pun demikian dalam film “HOP”. Bagaimana seorang balita (bawah lima tahun) mengendarai sebuah mobil seperti layaknya orang dewasa. Berkeliling kota dan bergaya ketika masuk komplek perumahan.
Berbeda dengan “Foto”, dalam “HOP” terdapat konflik yang dimunculkan. Bagaimana anak-anak yang tinggal di komplek perumahan bermain dengan hal yang menantang dan cenderung membahayakan diri mereka. Mendorong mobil beramai-ramai tanpa berpikir risiko. Namun dengan cara mereka
“Dunia anak-anak adalah dunia bermain-main yang menyenangkan dan kerap tidak memikirkan risiko dengan permainan yang membahayakan. Tapi tidak jarang pula mereka mampu menyelesaikannya sendiri dengan pengetahuan dan cara-cara mereka,” tutur Uswantoro, sang sutradara mengomentari film terbarunya.
Ceria, lucu, dan menggemaskan. Demikian kesan yang terdapat pada kedua film ini. Sementara “Bunga Terakhir” buatan pelajar SMA Muhammadiyah 1 Purbalingga juga tampil dengan dunia mereka, remaja, yang sebenarnya jauh dari realita remaja-remaja di kampung. Apapun, film ini menambah warna bagi perfilman di Purbalingga.
Bamboe Shocking Film (BSF) yang sudah empat kali berjalan menjadi ajang pemantik bagi anak-anak muda Purbalingga dan Banyumas umumnya, dalam menggemari dan mengembangkan hobi dibidang film. “Disamping ajang apresiasi, BSF juga sebagai pemanasan untuk ajang terbesar di Purbalingga yaitu Parade Film Purbalingga (PFP) yang segera hadir ditahun 2008,” tutur penanggung jawab program BSF, Trisnanto Budidoyo. Bolex

Minggu, 16 Desember 2007

Nonton Komidi Sorot di Banyumas

Putu Fajar Arcana KOMPAS Minggu, 16 Desember 2007

Siapa pernah menyangka jika di satu wilayah yang dianggap jauh dari jamahan industri budaya pop meluncur sebuah festival film. Karnaval Film Pendek Banyumas 2007 pada 7 Desember lalu, yang memutar film-film karya para pekerja film asal Cilacap, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara, seperti menjadi wahana baru menyatakan diri.

Direktur Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) Sigit Harsanto menuturkan, sebagian besar film-film yang diproduksi di wilayah mereka berangkat dari realitas kultural lokal yang khas dan unik. ”Hampir semua menggunakan bahasa Banyumasan,” ujar Sigit. Film-film itu diputar berdampingan dengan film-film produksi Eropa dari desa ke desa. Jika kebanyakan orang menyebut istilah layar tancep untuk menonton film, di wilayah sekitar Banyumas disebut komidi sorot. ”Penontonnya bisa ratusan, bahkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan pemutaran di kampus,” kata Sigit.

Dalam waktu yang nyaris berbarengan digelar pula festival-festival film dalam skala lebih besar dan mapan, seperti Jakarta International Film Festival (JiFFest), Festival Film Indonesia (FFI) di Riau, dan Festival Film Dokumenter (FFD) di Yogyakarta. Sebelumnya juga sudah digelar Jogja- NETPAC Asian Film Festival di Yogyakarta, Festival Film Asia Afrika, Queer Film Festival, dan LA Light Indie Movies di beberapa kota. Bahkan, jaringan bioskop teranyar Blitzmegaplex merasa perlu melakukan hal sama. Mereka, misalnya, menggelar Screamfest Indonesia, Festival Film Fantastik, dan Festival Film Korea.

Festival paling menonjol sepanjang tahun tentu saja JiFFest yang dimulai tahun 1999. Festival ini berhasil menjadi pelopor mendobrak hegemoni tontonan. Mereka membawa film-film alternatif yang selama ini tidak pernah beredar dalam ranah tontonan film di Indonesia. Selain membawa film-film Eropa, festival ini juga memutar film-film dari Asia Timur dan Asia Tengah yang tidak mendapatkan porsi layak di gedung bioskop.

Penampilan film-film alternatif itu, kata Direktur JiFFest 2007, Lalu Roisamri, dimaksudkan untuk mendidik konsumen dan meningkatkan apresiasi masyarakat umum terhadap film. ”Pada akhirnya akan terjadi apresiasi terhadap film nasional,” ujar Roisamri. Tahun lalu festival ini berhasil menjaring tak kurang dari 63.000 penonton. Bahkan, menurut Roisamri, telah ada sekitar 5.000 penonton tetap. ”Mereka minimal menonton satu film tiap hari,” katanya. Tahun ini dengan budget yang berkurang sekitar 10 persen, mereka menargetkan penonton minimal 60.000 dalam perhelatan yang berlangsung pada 7-16 Desember 2007 itu.

Pada Senin (10/12) lalu, penonton juga berduyun-duyun memasuki Benteng Vredeburg Yogyakarta. Hanya beberapa menit ruangan audio-visual di benteng itu terasa sesak. Mereka rela berdesak-desakan untuk menonton pemutaran film Paper Can Not Wraps Embers, film dokumenter besutan sutradara Rithy Panh dari Kamboja. Di tempat itu memang sedang berlangsung FFD. ”Apresiasi penonton di Yogyakarta terhadap film cukup tinggi,” ujar Direktur FFD 2007 Dwi Sujanti Nugraheni.

Hegemoni
Menurut sutradara Garin Nugroho yang juga Direktur Jogja-NETPAC Asian Film Festival, festival film yang belakangan menjamur di negeri ini pertama-tama adalah upaya menjawab keberagaman teknologi dalam industri kebudayaan.
”Ini era di mana pernyataan diri lewat komunitas menjadi begitu penting,” katanya. Realitas ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di dunia. Setiap tahun tak kurang terjadi 300 festival film.

Dekan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Marselli Sumarno menambahkan, festival film sudah mentradisi di Amerika dan Eropa. Selain ada Oscar yang dimulai tahun 1927, ada pula New York Film Festival dan Chicago Film Festival. ”Ini masing-masing dibuat oleh komunitas dengan pandangan khusus," tuturnya.

Kritikus film Seno Gumira Ajidarma melihat banyaknya festival film itu sebagai wacana kebudayaan, yakni terjadinya demokratisasi dalam politik sinema. Orang-orang yang dulu hanya jadi penonton kini bisa melahirkan film sendiri dan menggelar festival sendiri. ”Sebagian festival merupakan perlawanan terhadap wacana dominan yang dulu dihegemoni pemerintah,” ujarnya.

Memang, dulu FFI tidak boleh memiliki saingan. Pemerintah Orde Baru begitu gerah ketika di Bandung diadakan kegiatan yang menggunakan nama festival. ”Pemerintah berusaha menjaga kebenaran tunggal,” tambah Seno. Reformasi kemudian tak hanya memecah kebuntuan secara politik, tetapi juga menggerus hegemoni industri kebudayaan. Teknologi digital harus diakui telah memberi andil besar di dalam membahasakan identitas lokal, sampai ke pelosok dusun-dusun.

Orang-orang di sekitar Banyumas, menurut Sigit, sekarang sungguh gembira jika menyaksikan film yang menggunakan bahasa mereka sendiri. Ekspresi dengan bahasa lokal yang dimungkinkan teknologi digital itu seakan telah membebaskan satu entitas subkultur Jawa yang selama ini senantiasa hidup dalam bayang-bayang.

Garin Nugroho membahasakan ini dengan mengatakan, ”Komunitas menjadi tempat berkumpul, mempertahankan diri, membentuk dunia bersama, yang sekaligus bisa menjadi gaya hidup dan ekonomi.” Artinya, festival yang ada sekarang tidak sekadar euforia sebagaimana kuda lepas dari tali kekang. Festival film, selain sebagai medium hiburan dan penyaluran hobi, telah pula menjadi bahasa baru bagi entitas kultural untuk mengidentifikasi, menyatakan diri, dan sekaligus mempertahankan diri dari kemungkinan terabaikan.

Film tidak lagi dinikmati sekadar ”komidi sorot” ketika tiada alternatif lain untuk memperoleh hiburan yang segar dan renyah, tetapi menjadi ruang ekspresi untuk menangkap fenomena sosial dan kultural di sekitar situs hidup satu komunitas…. (YOP/IAM/DHF/IVV)
Merayakan Keberagaman
Berbarengan dengan penggelindingan wacana postmodernisme, realitas multikulur tak lagi sekadar hadir di ruang-ruang seminar. Film yang tadinya identik dengan ekspresi eksklusif masyarakat urban perkotaan diadopsi pula oleh masyarakat yang secara kultural "sangat" terpencil. Realitas itu dipermudah oleh teknologi digital yang makin murah dan beragam. Untuk membuat film, misalnya, orang hanya butuh satu handycam dan laptop. Dengan sedikit penguasaan teknik, film yang disimpan dalam cakram CD sudah bisa diputar dari dusun ke dusun, bahkan sampai ke Eropa.

Pada subkultur Jawa, seperti eks-Karesidenan Banyumas yang meliputi wilayah Cicalap, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara, sejak tahun 2001 sudah terdapat aktivitas komunitas penikmat dan pembuat film-film pendek. Bahkan, pada 7 Desember lalu, Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) membuat festival bernama Karnaval Film Pendek Banyumas. Di situ tidak saja ditampilkan film-film pendek lokal karya mereka, tetapi juga mendatangkan langsung film-film dari Eropa. "Kami impor langsung dari Eropa dengan maksud membuat perbandingan bagi pekerja film lokal," ujar Direktur JKFB Sigit Harsanto, Kamis (13/12).

Harus pula diakui banyak festival film di daerah lahir setelah sekelompok pencinta dan pekerja film menggelar JiFFest tahun 1999. JiFFest ibarat anak kunci untuk membuka pintu, untuk merayakan keberagaman. Film- film yang tadinya dianggap "tabu" lantaran sistem monopoli, baik secara ekonomi maupun selera, tiba-tiba hadir di hadapan penonton.

Selain festival-festival yang bersifat "kedaerahan", jaringan bioskop terbaru seperti Blitzmegaplex menyodok dengan mengadakan berbagai festival. Mereka menggelar Festival Film Korea dan Screamfest Indonesia, serta dalam waktu dekat menggelar festival film anak. Bahkan, Departemen Luar Negeri merasa perlu pula menggelar festival film. Pada 6-8 Desember 2007, menurut Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri Umar Hadi, mereka menggelar Festival Film Asia Afrika.

Secara tidak langsung festival film membuat segmentasi pada tingkat konsumen. Dan itulah yang menurut Garin Nugroho menjadi ciri khas masyarakat dewasa ini. Komunitas menjadi begitu penting diperjuangkan, dipelihara, dan bahkan dipertahankan karena dalam komunitas itulah orang merasa bebas berekspresi tanpa merasa berbeda.

Dengan begitu, perayaan terhadap keberagaman sebagaimana yang telah dicapai sekarang adalah relasi-relasi dalam dan antarkomunitas untuk menyikapi perkembangan industri kebudayaan yang didorong teknologi digital dan medium ekspresi di tengah serbuan globalisasi yang dapat menyeragamkan selera. (IVV/DHF/IAM/YOP/CAN)

Sabtu, 15 Desember 2007

Karnaval Film Pendek Banyumas 2007

Pada hari Jumat 7 Desember 2007 bertempat di Gedung Soemardjito Unsoed Purwokerto, Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) bekerjasama dengan Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) mengadakan Karnaval Film Pendek Banyumas 2007 dengan tagline “film itu sexy”. Acara dimulai pukul 14.15 WIB dengan diantarkan pembawa acara Willy E. Christian disusul sambutan pembukaan oleh Sari Handayani selaku Project Officer Karnaval Film Pendek Banyumas 2007.

Dalam sesi pembukaan, hadir kurang lebih 100 audiens yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat Banyumas. Setelah sesi pembukaan, acara dilanjutkan sesi pawai Film Perancis pada pukul 14.30 WIB hingga pukul 15.30 WIB. Dalam sesi pawai film Perancis diputar empat film pilihan dari Perancis yaitu La Traverse, Treinta Anos, Pacotille, dan Omnibus yang menyuguhkan cerita dramatis mengenai kehidupan. Dari hal sepele sampai persoalan politik yang membawa mimpi buruk.

Acara dilanjutkan sesi temu penggiat film pendek Banyumas yang menghadirkan T. Lintang G., Ahsan Andrian (perwakilan Konfiden) serta Insan Indah Pribadi (perwakilan JKFB) dengan moderator Trisnanto (Cinema Lovers Community, Purbalingga). Sesi ini dimulai kurang lebih pukul 15.40 WIB hingga pukul 17.00 WIB dengan dihadiri kurang lebih 41 orang tamu undangan dari berbagai komunitas yang ada di Banyumas.

Dalam sesi temu penggiat, diangkat permasalahan seputar komunitas film di Banyumas dan eksistensinya. Pada diskusi ini para penggiat film saling bertukar pengalaman dan informasi dengan teman-teman dari Konfiden dan JKFB terkait komunitas film pendek, lengkap dengan permasalahan yang kerap bermunculan dalam komunitas. Dari sesi ini didapat beberapa kesimpulan yang secara garis besar mengharapkan komunitas film di Banyumas tidak menjadi menara gading dan kebutuhan agar komunitas film pendek lebih merakyat.

Selepas sesi temu penggiat film, acara memasuki waktu break selama lebih kurang dua jam. Menginjak sesi selanjutnya, acara dimulai pukul 19.10 WIB dengan pembukaan oleh Bapak H. Ratimin Sedjowikarto, S. Sos, M.Hum, mantan kepala Bakesbanglinmas Banyumas, yang mewakili Ketua DKKB. Dalam sambutannya beliau berharap acara seperti ini tidak hilang begitu saja dan dapat terus ada sebagai wadah kreatifitas penggiat film di Banyumas.

Pada sesi ini, audiens yang datang kurang lebih 100 orang. Setelah sambutan dari perwakilan DKKB acara dilanjutkan suguhan film dokumenter tentang JKFB, yang berdurasi kurang lebih 15 menit. Dalam film dokumenter JKFB dapat disimak tanggapan dan harapan para pembuat film, pemerhati film yang berasal dari wilayah eks-Karesidenan Banyumas maupun kota-kota lain seperti Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta mengenai dinamika kegiatan perfilman di eks-karisidenan Banyumas.

Pukul 19.30 WIB sampai pukul 20.10 WIB, acara dilanjutkan dengan pawai film pendek Konfiden. Sesi ini dibuka dengan sedikit pengantar dari T. Lintang G. yang memberikan gambaran film yang diputar pada sesi ini. Film-film yang diputar dalam pawai film Konfiden adalah pemenang festival film pendek Konfiden 2006, yaitu Harap Tenang Ada Ujian, Kwek dan Free as a Bird. Namun karena kendala teknis, dua film yang sedianya akan diputar (Harap Tenang Ada Ujian dan Kwek) tidak dapat ditayangkan pada sesi ini.

Acara pun dilanjutkan dengan pawai film dari wilayah eks-Karisidenan Banyumas (Cilacap, Banyumas dan Purbalingga) yang tergabung dalam JKFB. Sebelum pemutaran film dari tiga wilayah tersebut, Bowo Leksono selaku perwakilan dari JKFB memberikan sedikit pengantar terkait dengan film yang akan diputar pada sesi ini. Sesi pawai film pendek eks-Karisidenan Banyumas dimulai pukul 19.30 WIB dan berakhir pukul 21.15 WIB.

Dimulai dengan sesi pawai film Cilacap yang menampilkan lima film diantaranya Nilai 5, Waktu Habis, ESTU, Anak Pejabat, dan Membakar Langit. Dilanjutkan dengan pawai film Banyumas yang menampilkan empat film, yaitu Blind Date, Kenyo, TV-Angel, dan Nyong Teyeng. Akhir sesi film pendek ini ditutup oleh pawai film Purbalingga yang menampilkan tiga film yaitu, Peronika, Pasukan Kucing Garong, dan Lengger Santi.

Mendekati penghujung acara Karnaval Film Pendek Banyumas, panitia kembali mencoba memutar dua film pemenang festival film pendek Konfiden 2006. Namun, kendala teknis pun masih terjadi dan hanya satu film yang berhasil diputar yaitu film Kwek. Setelah diputarnya film pemenang festival film pendek Konfiden 2006, Kwek, acara pun ditutup pada pukul 21. 45 oleh MC Willi E. Christian. Selama acara berlangsung lebih kurang 500 penonton datang menyaksikan film pendek yang disuguhkan dalam Karnaval Film Pendek Banyumas 2007.

Jumat, 14 Desember 2007

Karya Siswa SMA N 1 Finalis FFD 2007

PURBALINGGA-Film karya siswa SMA N 1 Bobotsari, Purbalingga, Nanki Nirmanto, keluar sebagai finalis ajang Festival Film Dokumenter (FFD)2007. Festival, yang tahun ini memasuki penyelenggaraan keenam itu, digelar di Yogyakarta , 10-15 Desember mendatang. Nanki yang mengandalkan film berjudul “Bumi Khayalan” menjadi satu dari enam finalis kategori pemula. Bocoran ini diperoleh sejumlah pegiat film Banyumas yang menghadiri Festival Film Pendek Konfiden 2007 di Jakarta.
Saat FFD 2006, film dari Purbalingga berjudul “Bioskop Kita Lagi Sedih” diganjar penghargaan film dokumenter terbaik. Meski sejumlah pegiat film dari eks Karesidenan Banyumas juga mengirimkan karya, sejauh ini panitia baru menghubungi Nanki. “Kami akan sampaikan daftar resmi para finalis secepatnya,” kata koordinator Festival, Abraham Mudito, saat dihubungi lewat ponsel, kemarin. Panitia selanjutnya memberikan Nanki workshop gratis pembuat film dokumenter selama lima hari festival, sambil menanti malam penganugerahan. “Saya bangga, terutama bisa mengangkat nama sekolah di tingkat nasional. Workshop juga akan memberi saya pengetahuan tambahan karena saya belajar film secara otodidak,” ujar siswa kelas XII itu, kemarin.
Khawatir
Film memang bukan bagian dari kurikulum sekolah. Nanki “mencuri” ilmu melalui kegiatan komunitas film yang dipayungi Cinema Lovers Communty (CLC). Pada September lalu, di tengah musim hujan dan suasana puasa, mantan Pengurus OSIS ini berinisiatif membuat film dokumenter mengenai pemanasan global. “Dananya cuma Rp 70.000,” katanya.
Meski begitu, Nanki mengaku nasib keberangkatannya ke Yogyakarta berada di tangan sekolah. Dia khawatir tidak diizinkan karena duduk di kelas XII. “Saya sangat berharap sekolah memberikan izin untuk mengibarkan nama SMA N 1 Bobotsari di tingkat nasional,” pintanya.
Manajer Program CLC, Bowo Leksono, menyadari jika prestasi bidang film belum tentu mendapat apresiasi, terutama di sekolah yang tergolong masih kampung. “Kami sendiri hanya akan melihat, apakah sekolah Nanki bisa mengapresiasikan bidang yang masih baru ini,” katanya. (Sigit Harjanto-Suara Merdeka-30 November 2007)

Minggu, 02 Desember 2007

Banyumas dalam Sekerat Film

GATRA No. 03 TAHUN XIV / 29 November-5 Desember 2007

Gerilya para sineas muda di eks Karesidenan Banyumas. Mempertahankan cirri khas kampung halaman, malah ditolak masuk gedung bioskop.

“Yung, tukokna boncenganlah, bokonge inyong nggrinjel nek saben dina numpak neng wangkring (Bu, belikan boncengan, bokongku sakit bila tiap hari naik di atas palang sepeda),” demikian penggalan dialog film Boncengan karya Riza Saputri dari Purbalingga, Jawa Tengah.

Film berdurasi enam menit karya gadis 16 tahun itu diputar dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007 yang berlangsung pada 17-24 November 2007 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mengisahkan problem kemiskinan sebuah keluarga di Purbalingga yang hanya punya satu sepeda tanpa boncengan. Dengan dialek Jawa khas Banyumas, film ini mampu menggelitik telinga penonton untuk memberikan senyum simpul sebagai bentuk apresiasi.

Sebagai pemula di komunitas film, Riza mengaku shock sekaligus bangga filmnya lolos seleksi untuk dapat berkompetisi dengan sineas lain. Siswi kelas III SMA Negeri 2 Purbalingga ini megnatakan, hasil kreasinya tak mungkin sampai Jakarta tanpa bantuan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).

Menurut Riza, film Boncengan adalah karya hasil workshop yang diadakan CLC (Cinema Lovers Community), yang merupakan anggota JKFB. Dalam pelatihan itu, ia beserta timnya diminta membuat film yang difasilitasi panitia. Usai syuting, hasilnya diserahkan begitu saja.

Beberapa minggu kemudian, Riza dihubungi panitia yang menginformasikan bahwa filmnya telah diedit dan akan diikutkan dalam kompetisi pada Festival Film Pendek di Jakarta. Karena keterbatasan waktu dan kesibukan belajar, Riza hanya sempat mengirim identitas timnya lewat e-mail. “Di luar syuting, semua yang mengerjakan JKFB,” ujarnya.

Humas Eksternal JKFB, Bowo Leksono, mengatakan bahwa JKFB adalah asosiasi komunitas film di Banyumas yang terbentuk pada 21 Oktober 2007. tujuannya, menjadi lembaga fasilitator dan mediator dalam mengembangkan dan memajukan kegiatan perfilman di eks Karesidenan Banymas. Juga mendidik masyarakat agar tak tenggelam dalam arus globalisasi tanpa seleksi.

Meski secara resmi JKFB baru berdiri dua bulan, cikal bakalnya dirintis sejak 2005, dengan adanya forum komunikasi jaringan komunitas film Banyumas. Terdiri dari Arisan Film Forum (AFF) Purwokerto, Komunitas Sangkanparan Cilacap, dan CLC Purbalingga.

Sayang, setelah berbentuk asosiasi JKFB, AFF memutuskan belum ikut bergabung, dengan alas an kegiatannya belum efektif. Namun bukan berarti mereka memutuskan komunikasi. “Jika ada program pembuatan atau pemutaran, mereka tetap terlibat. Hanya saja, dalam forum formal, mereka absent,” ungkap Bowo.

Menurut dia, berjejaring diperlukan oleh komunitas film untuk menyempurnakan keterbatasannya, baik dalam bidang informasi, fasilitas, keterampilan, maupun pendanaan. Selain itu, kata Bowo, asosiasi sangat diperlukan untuk membentuk aturan yang lebih mengikat dan menumbuhkan rasa tanggung jawab anggota dalam melaksanakan tugas.

Misalnya, apabila ada pemutaran, pembuatan film, atau kegiatan apa pun yang berkaitan dengan film, baik dari dalam Banyumas maupun dari luar, akan ditawarkan siapa yang mengerjakan proyek tersebut secara bergantian. Dengan demikian, masing-masing komunitas diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.

JKFB juga melakukan pelatihan dan workshop perfilman di sekolah-sekolah. Hal ini bertujuan untuk regenerasi. “Berhasil tidaknya organisasi dilihat dari kemampuannya melahirkan calon penerus. Makanya, kami perlu mengadakan ekspansi,” ujar Bowo.

Selain mencari calon penerus melalui pelatihan dan workshop, JKFB juga berharap mendidik dan mengubah paragidma masyarakat yang lambat laun mulai tenggelam pada arus industrialisasi perfilman yang stagnan. Selama ini, mereka merasa terus dicekoki sinetron dan film yang melulu tentang percintaan dan menunjukkan kehidupan glamour sehingga menjadi konsumtif. Padahal, masih banyak film dengan tema cinta dan kemanusiaan lain yang lebih riil dan bisa diambil hikmahnya.

Mengembangkan dan memajukan kegiatan film tak semudah yang dibayangkan. Banyak hambatan dan kendala yang dihadapi. Misalnya, tak ada dukungan akses dari pemda setempat apabila mereka akan membuat atau memutar film. “Jangankan mendapat dana, mengurus izin syuting atau pinjam tempat untuk memutar film saja birokrasinya berbelit,” kata Bowo.

Pernah pula suatu kali tiba-tiba turun surat pelarangan untuk memutar film di gedung yang berlokasi di areal pendopo Kabupaten Purbalingga. Padahal, dua bulan sebelumnya, izin tersebut sudah diberikan. Alasannya mengada-ada; gedung hanya bisa digunakan untuk menerima tamu dari luar dan penyimpanan data.

“Alasan itu tak masuk akal. Yang sebenarnya, pemda hanya tak mau gedung pendoponya dikunjungi masyarakat awam yang notabene tukang becak dan pedagang kecil,” tutur Bowo. Berhubung waktu mepet dan undangan telah tersebar, Bowo nekat datang untuk memutar film.

Karena tetap dilarang, mereka pun melakukan demo, hingga akhirnya dibubarkan satuan polisi pamong praja alias satpol PP. “Saya dan beberapa teman ditarik dan berdebat dengan komandan satpol PP,” ujar Bowo. Kejadian itu sempat direkamnya dan diedit menjadi sebuah film dokumenter dengan judul Bioskop Kita Lagi Sedih.

Akhirnya film itu menjadi film terbaik dalam Festival Film Dokumenter 2006 di Yogyakarta. Selain itu, masih ada beberapa film mereka yang menang dalam festival bertaraf nasional. Misalnya, Senyum Lasminah yang menjadi film terbaik II pada Festival Video Edukasi 2007 (kategori budi pekerti) dan Adu Jago sebagai film dokumenter terbaik serta Pasukan Kucing Garong yang menjadi film fiksi terbaik dalam Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007.

Bahkan film Peronika dan Metu Getih ditampilkan pada Festival Film Eropa 2007. selain Boncengan, dalam Festival Film Pendek Konfiden 2007 ada tiga film Banyumas lainnya yang lolos kompetisi, yaitu Lengger Santi (Purbalingga), Di Ujung Kehancuran (Cilacap), dan Anarchist Cookbook for Beginner (Purwokerto).

Menurut Bowo, tujuan keikutsertaan insane film Purbalingga di pentas film bertaraf nasional adalah mengusung misi budaya. Film-film yang sarat nuansa local Banyumasan ini minimal diharapkan bisa mengenalkan keunikan budaya mereka pada masyarakat luas.

Sejauh ini, banyak karya film independen tak bisa dinikmati masyarakat karena keterbatasan ruang media pemutarannya. Padahal, tema cerita yang disuguhkan lebih kreatif dan tak kalah menarik dari film industri. Dan, melalui jaringan, kemungkinan karya mereka dapat diapresiasi masyarakat akan lebih terbuka lebar.

Untuk mendorong kedinamisan dan memenuhi kebutuhan komunitas yang terus berkembang serta mempermudah kerja jaringan, asosiasi yang telah berbentuk itu akan didaftarkan sebagai badan hukum berbentuk yayasan. Tak ada kekhawatiran di masa depan terjadi konflik di antara mereka jika asosiasi tersebut berkembang. “Sejak awal sudah banyak konflik yang kami alami, dan itu tidak menyurutkan langkah untuk memajukan film Banyumas,” kata Bowo pula.

Untuk menutup biaya pembuatan film dan menjalankan organisasi, JKFB masih mengandalkan kocek para anggotanya. Selain itu, juga mengompilasikan film dan mendistribusikannya secara independen. Munculnya komunitas film di daerah ini penting untuk mengembangkan perfilman nasional.

Mira Lesman mengatakan, selam ini aktivitas perfilman hanya terpusat di Jakarta. Akibatnya, banyak sineas muda berbakat dari daerah yang terabaikan. Padahal, kemungkinan besar kemampuan mereka lebih unik.

Jaringan komunitas itulah yang diharapkan dapat menampungnya. “Kehadiran mereka sangat penting untuk memperkaya dan memberi warna pada dunia perfilman Indonesia,” Mira menegaskan. ELMY DIAH LARASATI

Presentasi JKFB di FFPK 2007






Festival Film Pendek Konfiden 2007 (FFPK 07) tengah berlangsung hingga 24 November nanti. Kemeriahan terasa melekat dalam festival film pendek tahunan yang diselenggarakan oleh Yayasan Konfiden. 180 film pendek mendaftar dalam festival ini dan terpilihlah 32 film pendek dan dokumenter untuk mengikuti ajang kompetisi festival ini dan dari ke 32 film tersebut, tercatat 4 film dari Banyumas masuk dalam ajang kompetisi.

Selain ajang kompetisi film pendek, FFPK 07 juga menyelenggarakan program prsentasi, diskusi, serta temu komunitas. Dan kali ini Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) mendapatkan kehormatan dalam FFPK 07 karena mendapatkan jatah mengisi program festival berupa pemutaran film, presentasi, serta pameran.

Keterlibatan ini merupakan usaha JKFB untuk mensosialisasikan kegiatan perfilman di Banyumas melalui komunitas film yang tergabung dalam asosiasi ini. CLC dari Purbalingga serta Komunitas Sangkanparan adalah 2 wakil JKFB yang hadir dalam program ini.

Antusiasme pengunjung dalam program JKFB terlihat jelas. Pada sesi pemutaran film, pengunjung terlihat mengapresiasi karya-karya film Banyumas dengan antusias. Begitu pula dengan sesi presentasi serta pameran.

“Jelas ini merupakan prestasi tersendiri bagi perfilman Banyumas”, tutur Insan dari Komunitas Sangkanparan. Antusiasme pengunjung terhadap program JKFB menunjukan bahwasannya Banyumas merupakan satu kekuatan yang patut diperhitungkan, terlebih ketika hadir dengan ciri khas identitasnya yang berbeda dari kebanyakan.

“Ini merupakan titik awal bagi JKFB sebagai asosiasi untuk melakukan sosialisasi secara luas kepada masyarakat. Tidak hanya di Banyumas, bahkan sampai ke tingkat nasional”, Bowo Leksono menambahkan. Sebagai salah satu penggiat komunitas film CLC Purbalingga, kehadiran JKFB dengan mempresentasikan kerja-kerja yang telah dilakukan, menunjukan bahwa penggiat film Banyumas telah mulai melakukan sesuatu yang riil dan wajib dikembangkan.

Menurut Agus Mediarta, salah seorang programer FFPK 07, JKFB merupakan contoh luar biasa dari bentuk jejaring komunitas film yang harus ditiru oleh komunitas-komunitas film di kota lain. Kerja bersama melalui bentuk asosiasi adalah salah satu metode untuk mengatasi persoalan bersama sehingga pengembangan kegiatan perfilman dapat berjalan dengan baik.

Festival yang akan ditutup pada tanggal 24 November 2007 nanti, merupakan ajang festival film pendek terbesar di Indonesia. Festival film pendek tahunan ini adalah salah satu ruang terpenting dalam pengembangan kegiatan perfilman, khususnya ditingkat komunitas film. Tahun depan, Konfiden berjanji akan melibatkan lebih banyak komunitas film dalam kegiatan festival tersebut. (http://www.jkfb.wordpress.com/)