Senin, 16 Februari 2009

Workshop Video SLTP: Melatih Kepekaan Sosial


Salah satu rangkaian program Purbalingga Film Festival (PFF) 2009 adalah digelarnya Workshop Video SLTP di Kabupaten Purbalingga. Program ini sedang berlangsung setiap hari Minggu, dari tanggal 15, 22, hingga 29 Februari 2009 mendatang, dari pagi hingga sore hari, di Gedung NU Cabang Purbalingga.

Koordinator workshop video SMP, Nanki Nirmanto mengatakan, workshop ini berupa pelatihan pembuatan video dokumenter sederhana, terbuka bagi pelajar SMP/sederajat di Kabupaten Purbalingga dengan bimbingan dari Cinema Lovers Community (CLC). “Para peserta dibimbing dalam mengembangkan ide, melakukan riset/penelitian, dan merancang produksi/pembuatan video dokumenter sederhana,” tuturnya.

Setelah mendapatkan materi teori dan praktik di ruangan seputar produksi video pada pertemuan pertama, para peserta akan melakukan riset/penelitian ke lapangan sesuai ide yang dikembangkan melalui diskusi kelompok.

“Saya jadi mendapat pengalaman baru, karena selama ini yang saya ketahui penelitian itu hanya di pelajaran Biologi, seperti meneliti organ tubuh katak. Di workshop ini kami juga dilatih berdiskusi,” ungkap Nurul Ana Ardiani siswi SMP Negeri 1 Bobotsari.

Workshop atau pelatihan ini bertujuan lebih pada mengenalkan pelajar SMP pada teknologi audiovisual dan bagaimana memanfaatkan teknologi tersebut untuk menghasilkan sebuah karya video seperti yang selama ini mereka saksikan di layar kaca.

Tercatat, sepuluh peserta dari empat SLTP yang muridnya mendaftar sebagai peserta workshop. Mereka berasal dari SMP Negeri 1 Purbalingga, SMP Negeri 3 Purbalingga, SMP Negeri 1 Bobotsari, dan SMP Istiqomah Sambas Purbalingga.

Tak Dapat Dukungan Sekolah
Sudah sejak awal 2009, CLC menawarkan ke beberapa sekolah terutama yang terletak di pusat Kota Purbalingga, namun tidak mendapat respon yang menggembirakan. Setelah proposal ‘ngendong’, pihak CLC pun mendatangi semua sekolah dan menanyakan respon dari sekolah.

“Rata-rata sekolah beralasan sedang berkonsentrasi pada mata pelajaran dan kegiatan semacam workshop yang berasal dari pihak luar harus disesuaikan dengan kurikulum yang ada. Tentunya tidak akan ada kurikulum SMP di Purbalingga yang sesuai dengan kegiatan membuat video,” tutur pegiat CLC, Heru C. Wibowo.

Akhirnya, CLC memutuskan dengan atau tanpa dukungan sekolah tetap menjalankan program workshop. “Cukup dengan dukungan semangat dari peserta serta sepengetahuan dan dukungan orang tua murid. Bagaimanapun semua ini juga untuk kepentingan generasi penerus dan itu menjadi tanggung jawab kami yang selama ini bergerak di dunia video atau film,” ujarnya.

CLC sengaja memilih video dokumenter dengan harapan, para pelajar SMP yang masih tergolong remaja tidak sekedar belajar membuat video, tapi juga melatih kepekaan dan kepedulian pada persoalan lingkungan sosial sekitar. Dan hasil dari produksi video dokumenter sederhana ini rencananya diputar perdana di Purbalingga Film Festival (PFF) pada 21-23 Mei 2009, di Hotel Kencana Purbalingga. Bolex

Sabtu, 07 Februari 2009

BSF #15: Elegi Bulan Februari


Tepat tanggal 14 Februari 2009, Sabtu, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga di program bulanan Bamboe Shocking Film (BSF) #15 berencana memutar dua film dokumenter tragedi. Di hari dan bulan kasih sayang ini, CLC via pemutaran film, turut menyerukan kita semua untuk saling menyayangi dan mengasihi sesama.

“Bunga Dibakar” sebuah film dokumenter garapan Ratrikala Bhre Aditya berkisah tentang seorang pejuang HAM Indonesia. Seseorang yang gigih membela kepentingan dan hak-hak kaum tertindas dan akhirnya meninggal karena keberaniannya itu di tahun 2004.

Munir, SH, aktivis dan juga pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meninggal dunia di dalam Pesawat Garuda dari Jakarta tujuan Amsterdam, Belanda. Munir berangkat ke Belanda untuk menghadiri seminar sekaligus mengurus bea siswa yang diterimanya dari Inggris (British Achievening Awards).

Kabar terakhir, salah seorang terdakwa pembunuh Munir, Muchdi PR bahkan divonis bebas. Satu lagi tragedi peradilan Indonesia yang terjadi di era reformasi ini. Muchdi yang juga mantan Deputi Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN) dinyatakan tidak terbukti bersalah membunuh Munir.

Film berdurasi 45 menit ini diawali adegan saat-saat pemakaman aktivis HAM kemudian cerita mengalir dari guru dan saudara-saudara Munir yang mengisahkan masa kecil Munir. Keberanian Munir memang sudah tertanam sejak kanak-kanak.

Kawan-kawan seperjuangan Munir pun bersaksi bagaimana kegigihan Munir dalam melawan ketidakadilan yang kerap dilakukan aparat militer. Orde Baru adalah zaman dimana militer sangat represif terhadap rakyatnya. Dan Munir berada di tengah-tangah pembalaan rakyat itu, bicara lantang dan penuh keberanian.

Sekarang ini, para pimpinan militer yang merupakan mantan-mantan jenderal yang luput dari jeratan hukum karena dosa-dosa HAM dimasa lalu, kembali muncul dengan sisa kejayaannya dan tanpa malu mendaulatkan diri sebagai pemimpin partai politik.
Sesungguhnya, Munir hanya ingin Indonesia memiliki militer yang humanis, yang menyayangi rakyatnya sendiri. Film ini kembali menegaskan bahwa Munir tidak ingin “mati” sebelum mati.

Film dokumenter kedua adalah garapan Tedika Puri Amanda dari Kota Malang, Jawa Timur bertajuk “Berita Terakhir”. Film berdurasi 11 menit ini menceritakan bagaimana warga desa yang menjadi korban penembakan polisi hutan karena dianggap mencuri kayu di hutan.

CLC memutar kedua film tragedi tersebut sekaligus mengajak penonton melihat realita yang terjadi di masa lalu dan masa sekarang. Apalagi, 2009 adalah tahun politik yang kemungkinan besar akan terjadi gesekan bila kita tidak memodali diri dengan pendidikan politik yang baik. Kalau toh kita harus memilih, tentu memilih pemimpin yang tak punya masa lalu kelam. Bolex