Kamis, 18 Desember 2008

BSF #14: Menengok Indonesia Masa Lampau

Selain memutar dokumentasi “Perjalanan CLC Sepanjang 2008”, BSF #14 pada Sabtu, 3 Januari 2009, pukul 19.30 WIB, di Café Bamboe, Jl Jend. Sudirman No. 126 Purbalingga, hendak mengusung sebuah film dokumenter penyabet Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) 2006 bertajuk “Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan”. Film yang disutradarai Seno Joko Suyono ini berkisah tentang orang-orang Rusia indonesianis yang amat mencintai, memperhatikan, dan menguasai ilmu keindonesiaan.



Film berdurasi 84 menit ini diawali penceritaan Ludmila Demidyuk yang begitu bangga pada sosok Utuy Tatang Sontani. Utuy adalah seorang sastrawan besar asal Cianjur dan menjadi salah satu aktivis Partai Komunis Indonesia yang karena persoalan politik akhirnya meninggal dunia di Rusia pada 17 September 1979. Utuy dikenal lewat cerita legendarisnya “Sangkuriang” yang di tuilis tahun 1955.



Disamping itu, ada juga beberapa cerita tentang Soekarno hingga Rendra. Tentang Tan malaka, Semaun, Muso, dan tokoh-tokoh PKI lainnya. Diceritakan, Soekarno yang berpidato tentang Pancasila di sebuah aula pabrik di Rusia memperoleh sambutan hangat dari para buruh dan masyarakat Rusia. Pidatonya berapi-api dan memperoleh applaus yang luar biasa walau orang-orang itu belum tentu paham apa yang dikatakan Soekarno.



Cerita lain, adanya informasi tentang dokumen-dokumen pengetahuan yang pernah eksis di Indonesia sejak zaman Majapahit di perpustakaan St. Petersburg, dimana Aleksandra (seorang etnografi muda Rusia) yang fasih berbahasa Indonesia dan pandai membaca naskah tua Jawa berusaha menggalinya.



Plot lain yang juga tak kalah menarik adalah sosok Elena Revunenkova, Direktur Museum Kunst Kamera di St. Petersburg, yang sangat memahami karakter Batak Purba atau Kuno karena lama mempelajari dan menyelidiki kesusastraan Indonesia kuno. Menurutnya ada enam ribu benda dari Indonesia dari masa lalu. “Waktu saya mulai bekerja di sini, saya dilarang meneliti teologi. Jadi saya meneliti etnograpi, khususnya Batak Kuno. Saya belajar sendiri bahasa Batak Kuno,” ucapnya.



Ada banyak lagi cerita menarik yang bisa menggugah dan membuat kita bangga sebagai orang Indonesia dalam film yang juga melibatkan Henny Saptatia Sujai dan Benny Benke dalam pengerjaannya.



Henny adalah doktor lulusan Rusia Jurusan Sosiologi dan Analisis Media yang saat ini mengajar di Jurusan Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Sementara Benny Benke adalah wartawan Suara Merdeka sekaligus sebagai pelaku seni.



Saat ini, Henny dan Benny mengajak beberapa pegiat film Banyumas mengerjakan beberapa film dokumenter di Jakarta. Salah satu karya yang sedang dalam pascaproduksi adalah film dokumenter panjang tentang kehidupan Manusia Gerobak di Ibukota. Bolex

Rabu, 03 Desember 2008

Catatan CLC Sepanjang 2008

Di penghujung tahun, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga mempunyai sederet catatan berkait aktifitas perfilman. Produksi, program pemutaran, workshop film, partisipasi festival dan beragam kegiatan lainnya turut menghiasi sepanjang tahun 2008 ini.

Kegiatan terbesar yang digelar CLC adalah Purbalingga Film Festival (PFF) pada 16-18 Mei 2008 silam. PFF sebagai program tahunan, disamping program bulanan Bamboe Shocking Film (BSF) yang terus berlangsung hingga Desember 2008 ini. Belum lagi beberapa pemutaran film baik di Purbalingga sendiri maupun di luar Purbalingga yang sifatnya tentatif.

Untuk produksi film, ditahun ini, sedikitnya ada 20 karya film pendek baik dokumenter maupun fiksi yang sudah dihasilkan anak-anak muda Purbalingga. Mungkin secara kuantitas, jumlah tersebut cukup banyak. Namun jelas secara kualitas masih harus terus ditingkatkan terutama dalam soal teknis.

Beberapa kali workshop film, baik yang diadakan di Yogyakarta maupun di Jakarta, CLC mengirimkan anggota untuk mengikutinya.

Sementara tahun 2008 ini, ada dua karya film dari Purbalingga yang mampu menembus sebagai jawara di ajang kompetisi film. Film dokumenter “Sang Pawang Air” mampu menembus sebagai Terbaik II di Kompetisi Dokumenter Forkami Jakarta dan Film fiksi “Chutel” sebagai Pemenang I Festival Video Edukasi di Surabaya.

Sementara film documenter fenomenal “Bioskop Kita Lagi Sedih” sempat diputar di Australia pada acara PPIA Conference: The Voice of The Future Leaders Victoria University Australia 2008. Acara tersebut dalam rangka 80 Tahun Kebangkitan Nasional.

BSF #13: Mengusung Film Empat Kota (Lagi)
Tak terasa, di akhir tahun 2008 ini, program bulanan CLC yaitu Bamboe Shocking Film (BSF) telah memasuki penyelenggaraan yang ke-13. Setelah pada November 2008 lalu, BSF #12 mengusung film dari empat kota, yaitu Jember, Malang, Semarang, dan Solo.

Pada gelaran BSF #13 kembali mengusung film empat kota. Keempat kota itu adalah Jakarta, Tangerang, Yogyakarta, dan Pontianak. Film-film tersebut adalah “Hallo Hehe!” sutradara Sigit Pramono (Tangerang), “Suatu Hari” sutradara Ridwan Kusuma Putra (Jakarta), “Kapan Orang Miskin Bisa Sekolah?” sutradara Zein Mufarrih Muktaf (Yogyakarta), dan “Loper the Lover” sutradara Rendy Febrian (Pontianak).

Keempat film fiksi dari empat kota tersebut hendak diputar pada Sabtu, 6 Desember 2008, pukul 19.30 WIB, di Café Bamboe, Jalan Jenderal Sudirman 126 Purbalingga. Mari bersama mengapresiasi karya! Bolex

Minggu, 16 November 2008

CLC Putar Film di Pameran Arsip & Perpustakaan Se-Jawa Tengah

Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga berkesempatan memutar film-film pendek karya anak muda Purbalingga di Pameran Arisip dan Perpustakaan Se-Jawa Tengah yang digelar di Gedung Bina Sejahtera, Purbalingga, tepat pada hari peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2008.

Keseluruhan film yang diputar berasal dari Purbalingga baik fiksi maupun dokumenter. Namun karena pameran yang terkesan mendadak ini berpengaruh terhadap pengunjung yang hadir. Pun berpengaruh terhadap tontonan film yang digelar.

Hal ini diakui Budi dari Kantor Pemeliharaan Dokumen Elektronik dan Perpustakaan Purbalingga. “Pameran ini memang kurang persiapan dan publikasi yang kurang tergarap. Praktis hanya anak-anak sekolah yang berkunjung karena mudah dimobilisasi,” katanya.

Turut memeriahkan pameran ini lengger pelajar dari Paguyuban Calung Pelajar Wisanggeni. Sementara CLC sendiri juga berkesempatan berpameran. Berbagai produk, baik karya film dalam bentuk kepingan DVD, leaflet, dan buletin, juga tropi hasil dari beragam festival yang diikuti.

CLC cukup rajin mengikuti berbagai pameran sebagai bentuk publikasi memperkenalkan komunitas kepada masyarakat. Nanki Nirmanto

JKFB Buka Stan di Halal Bil Halal Seruling Mas
Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) turut berkesempatan memperkenalkan diri di acara Halal Bil Halal Keluarga Besar Seruan Eling Banyumas (Seruling Mas).

Acara yang diselenggarakan pada Minggu, 26 Oktober 2008 di Gedung Pewayangan, Komplek Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta ini dihadiri ratusan warga Banyumas yang berada di Jabodetabek.

“Inyong nembe ngerti kiyeh, nek neng mBanyumas ana film (Saya baru tahu, kalau di Banyumas ada film),” tutur Maria Artanti, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Jakarta asal Banyumas. Pengakuan serupa diakui puluhan warga Banyumas di Jakarta yang menyempatkan diri berkunjung ke stan JKFB sembari melihat, membaca, dan bertanya tentang keberadaan perfilman di Banyumas.

Namun demikian, tidak sedikit warga yang sudah mengetahui keberadaan komunitas film di Banyumas dari karya-karyanya. Sebagian dari mereka bahkan telah memiliki film-film tersebut dan menurut mereka bisa dijadikan klangenan ketika kangen kampung halaman.

Beberapa dari warga menawarkan kerja sama dengan JKFB, untuk meramaikan acara yang sifatnya kedaerahan. Turut menyemarakkan acara tersebut Paguyuban Calung Pelajar Wisanggeni dari Purbalingga dan Grup Calung Lengger Barongsay (Calengsay) dari Purwokerto. Bolex

Jumat, 14 November 2008

BSF #12: Mengusung Film Empat Kota


Empat kota; Semarang, Malang, Jember, dan Solo, hendak menyumbangkan karya film pendek fiksinya untuk diputar dan diapresiasi anak muda Purbalingga di program bulanan Bamboe Shocking Film (BSF). BSF yang memasuki putaran ke-12 ini hendak digelar pada Sabtu, 15 November 2008, pukul 19.00 WIB.

Karya dari Semarang berjudul “Jendela” mewakili anak-anak dari Studio 12 yang berbasis di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Diproduksi tahun 2007, film ini mengalir linier hampir tanpa konflik yang berarti.

Film berdurasi 16 menit yang disutradarai Kemal Dwi Septianto ini berkisah tentang bagaimana seorang lelaki yang tak mampu mengungkapkan perasaan pada seorang perempuan. Bagaimana seseorang akan tahu perasaan orang lain bila tak ada keberanian untuk saling mengungkapkan?

Dari Malang, dicomot dari karya film mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (Ummu). Tepatnya, film berjudul “Tanya” ini merupakan film tugas mahasiswa Jurusan Komunikasi Ummu.

Meskipun merupakan karya tugas, film berdurasi 15 menit dengan sutradara Adi Kristiawan tetap tampil cukup menawan. “Tanya” berkisah tentang Tanya, perempuan yang sedang mencari jatidiri. Siapa dan bagaimana dirinya harus berteman.

Sementara dari kota kecil Jember, film yang akan turut diputar bertajuk “Demi”. Film yang merupakan besutan sutradara Taufan Agustiyan Prakoso ini sangat kental nuansa lokal. Tepatnya kental dengan kultur sosial budaya Madura.

Film berdurasi 15 menit yang diproduksi tahun 2007 ini mengisahkan seorang lelaki yang demi kehormatan keluarga dan dirinya, mengorbankan segala hal. Termasuk nyawa sekalipun.

Terakhir, film dari Solo yang diambil dari sebuah kompilasi film milik Matakaca. Hendro W dengan cukup lancar membesut film bertajuk “Aku Jadi Wartawan” sepanjang 32 menit.

Film yang diproduksi tahun 2006 bercerita tentang seorang pemuda yang merasa tergugah untuk menjadi seorang kuli tinta. Berbagai cara ia lakukan meskipun keinginannya tak begitu direstui ibunya karena pengalaman ayah pemuda ini yang meninggal dalam tugas menjadi seorang wartawan.

Untuk yang keduabelas kalinya, Bamboe Shocking Film masih tetap tampil di Kafe Bamboe, Jalan Jenderal Sudirman Nomor 126 atau timur alun-alun Purbalingga. Bolex

CLC Ikuti Lokakarya Pemutaran Film

Salah satu program yang digelar selama penyelenggaraan Festival Film Pendek Konfiden (FFPK) 2008 adalah Lokakarya Pemutaran Film. Lokakarya yang diadakan pada 10-13 November 2008 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki ini terbuka bagi para penyelenggara festival film pendek di Indonesia.

Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga mengirimkan tiga utusan untuk berangkat ke Jakarta mengikuti lokakarya sekaligus menikmati festival. Mereka adalah Nanki Nirmanto, Mohamad Febriyanto, dan Dani Andrianto. Selain itu, ada Uwin yang mewakili Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).

Para peserta lokakarya berkesempatan menimba ilmu dari para mentor yang berasal dari Konfiden sendiri. Ada empat materi yang disampaikan setiap hari dengan satu materi setiap harinya.

Akhsan Andrian menggawangi materi Projeksionis pada hari pertama. Akhsan yang mengaku sudah menggarap projeksionis di Konfiden sejak tahun 2006, kali ini menjadi Programer di FFPK 2008. Untuk materi Pengenalan Akustik Ruang pada hari kedua dimentori Indra Notowidigdo yang biasa disapa Jambrong. Jambrong sudah bergabung di Konfiden sebagai projeksionis audio dari tahun 2006. Dalam FFPK 2008 ini, ia ditugaskan sebagai Penaggungjawab Projeksionis.

Pada hari ketiga, Lintang Gitomartoyo memberikan materi Manajemen Pemutaran. Lintang bergabung di Konfiden sejak tahun 2000. Pada festival kali ini, Lintang bertugas sebagai manajer festival. Sementara pada hari terakhir, Alex Sihar, sang direktur festival memberi materi Tentang Penonton.

Selain berkesempatan belajar tentang manajemen dan teknis sebuah festival, para peserta workshop dari Purbalingga, Purwokerto, Bandung, Semarang dan Jakarta sendiri juga berkesempatan menyaksikan belasan film kompetisi dan non-kompetisi yang diputar di Festival Film Pendek Konfiden (FFPK) 2008.

Pada FFPK 2008 kali ini, film pendek fiksi berjudul “Sugiharti Halim” sutradara Ariani Darmawan dari Kineruku Bandung menyabet dua kategori sekaligus yaiu Film Fiksi Terbaik dan Film Fiksi Favorit Penonton. Sedangkan film “Hulahoop Soundings” garapan Edwin mendapatkan Penghargaan Khusus Dewan Juri. Nanki Nirmanto

Sabtu, 08 November 2008

Film Purbalingga di Semarang

Wacana film Banyumas tampaknya tidak semata karena film itu berasal dari ranah Banyumas, wilayah yang secara geografis terletak di Jawa Tengah bagian barat. Pun tidak semata karena film Banyumas memakai dialog/bahasa Banyumasan.

Julukan film Banyumas lebih karena ciri khas yang melekat pada karya-karya film yang juga dibuat oleh anak-anak muda Banyumas. Ciri film Banyumas selain kuat karena bahasanya yang dikenal dengan istilah ngapak-ngapak, juga karena setting lokasi, pemain, dan ilustrasi musik. Lebih jauh dari itu adalah penggunaan tanda-tanda dan simbol-simbol visual lokal yang melengkapinya.

Berbicara Banyumas sebagai sebuah wilayah secara administratif terdiri dari empat kabupaten, yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara. Keempat kabupaten itu, dikala Pemerintahan Hindia Belanda masuk dalam satu karesidenan.

Film Banyumas di Luar Banyumas
Di luar wilayah Banyumas, film Banyumas dikenal pertama karena bahasanya yang sangat khas. Kekhasan ini karena Banyumas memiliki bahasanya sendiri berbeda dengan wilayah lain.

Pada Sabtu, 1 November 2008, bertempat di gedung Pusat Budaya Indonesia-Belanda Widya Mitra, Semarang, atas undangan komunitas Kronik Semarang, film Banyumas tampil di khalayak Semarang.

Sejumlah sembilan film diputar yang keseluruhannya berasal dari Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga. Arisan Film Forum (AFF) Purwokerto sebagai pihak kurator sengaja memutar kesembilan film yang mewakili tiga generasi. Dua generasi awal, dari film berjudul “Peronika” dan “Boncengan” mengandung tema kesalahpahaman. Sementara generasi terakhir tema film sudah beragam.

Seusai pemutaran, diskusi pun digelar. Beragam tanya dan tanggapan bergiliran. Intinya mempertanyakan apakah film Banyumas selalu memakai bahasa Banyumas? Jawabannya lebih luas dari itu, tentunya.

Selain kawan-kawan Kronik dan mahasiswa Undip kebanyakan yang hadir, juga dari komunitas teater, seperti Teater Temis Fakultas Hukum Undip, komunitas film di Unnes, serta dari komunitas film Matakaca, Solo. Bolex

Rabu, 29 Oktober 2008

Soal Regenerasi dan Kualitas Karya


Kesuksesan dalam menjalankan satu organisasi atau komunitas atau apapun namanya, bukan bagaimana menjadikan komunitas itu besar atau dikenal masyarakat luas. Namun bagaimana para pemangkunya mampu menciptakan regenerasi yang berkesinambungan.

Bila pada suatu masa sebuah komunitas itu berhasil menyandang nama besar, tapi di masa berikutnya malah mati suri atau mati sama sekali, berarti itu gegagalan terbesar yang penah disandang komunitas itu.

Para pemangkunya bisa dikatakan egois karena tak memberi kesempatan dan jalan bagi generasi selanjutnya untuk mempertahankan kesuksesan atau bukan tidak mungkin menjadikan lebih berjaya. Kebanggaan terhadap kejayaan meskipun sah, menjadi hal yang kurang bijak.

Jelas tak ada komunitas yang menginginkan mati di tengah jalan apalagi dalam masa kejayaan. Semua berusaha terus berjaya. Apalah daya, masalah klasik terbesar yaitu dana, kerap menjadi alasan yang selalu termaafkan. Dan memang demikian adanya. Namun dari semua itu, yang terpenting adalah bagaimana komunitas itu tetap berguna dan berdaya guna bagi komunitas dan masyarakatnya.

Komunitas Bersama Sebuah Kebutuhan
Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, sebagai sebuah komunitas para pecinta film yang di dalamnya tergabung kreator-kreator film muda di Purbalingga tak luput dari usaha regenerasi. Seperti halnya komunitas film lain di beragam kota di Indonesia.

Komunitas yang berdiri pada 4 Maret 2006 yang pada awalnya terbentuk dari empat komunitas, saat ini sudah sekitar 20 komunitas yang bergabung. Diantaranya lahir dari kelompok pelajar SMA. Tentu tak semua aktif dan produktif, hanya sebagian saja.

Sejak mula berdiri, CLC komit sebagai komunitas bersama yang menjadi payung bagi komunitas film kebanyakan di Purbalingga. Komitmen ini terjabarkan pada fasilitasi produksi (alat dan materi), pengumpulan karya, pendistribusian dan pemutaran.

Cara Bertutur yang Khas
Dua tahun sebelum kelahiran CLC, sudah ada beberapa karya film pendek. Salah satunya adalah film “Peronika” (2004) yang kerap menyabet penghargaan di berbagai ajang. Film yang banyak dibicarakan di luar Purbalingga ini dianggap khas warna kelokalannya.

Tak hanya dialog, musik, dan lokasi yang ada dalam film, tapi juga persoalan ide cerita yang diangkat: khas Banyumasan. Ini yang kemudian banyak dikiblati karya-karya lain di Purbalingga dan di Banyumas pada umumnya.

“Peronika” mengangkat tema besar terkait soal kesalahpahaman masyarakat level bawah. Film lain yang bertutur dengan tema serupa adalah “Metu Getih”. Berlanjut pada generasi berikutnya yang digarap para pelajar SMA melalui workshop CLC melahirkan karya berjudul “Boncengan” dan “Tasmini”.

Kesalahpahaman tampaknya menjadi tema menarik untuk mengangkatnya dalam sebuah karya film. Bagaimana tidak, kesalahpahaman itu sendiri adalah sebuah konflik yang sebenarnya bisa terjadi di masyarakat mana saja. Dan di rumpun Banyumas, kesalahpahaman kerap menjadi bahan tawa ringan.

Belakangan, ketika para pelajar sudah bisa mandiri, mereka menghasilkan tema karya lebih beragam yang kemudian muncul bersama di ajang Purbalingga Film Festival (PFF) 2008 lalu. Karya berjudul “Glue (Ada Apa dengan Bani), MB (Mimpi Basah), Kebongkar, Gairah Salimin, dan Blue Horor” mengupas kehidupan mereka sebagai pelajar namun tetap tak meninggalkan akar kelokalannya. Meskipun belum tentu sekualitas generasi sebelumnya, ini sebagai satu bukti ada generasi yang sedang berproses.

Bowo Leksono
Direktur CLC

Disampaikan pada acara “Kronik on Screen: Pemutaran dan Diskusi Film-Film Banyumas” | Semarang | Sabtu, 1 November 2008

Jumat, 24 Oktober 2008

BSF #11: Berjanji untuk Bikin Film Lagi


”Saya berjanji tidak akan berhenti sampai disini. Saya akan terus membuat film,” demikian janji Wahyu SB, seorang pelajar SMA Negeri 1 Bobotsari, Purbalingga di depan penonton Bamboe Shocking Film (BSF) #11, yang digelar Sabtu, 4 Oktober 2008 silam, di Kafe Bamboe, Purbalingga.

Wahyu, sutradara yang baru pertama membuat film pendek berjudul “Musibah” bersama Nanki Nirmanto ini tampak mantap berucap tidak kapok dalam berkarya di bidang film. Pun demikian dengan Andri, sutradara yang baru pertama membuat film dokumenter pendek berjudul “BLT”.

“Saya ingin seperti temen-teman yang lain, terus dan terus membuat film. Apalagi pekerjaan saya juga berhubungan dengan dunia suting menyuting,” tegas Andri pada kesempatan diskusi seusai pemutaran.

Malam itu, gelaran BSF sekaligus sebagai ajang silaturahmi seusai Lebaran. Empat film pendek digeber untuk memenuhi hasrat anak muda Purbalingga.

Keempat film pendek itu adalah “Musibah” sutradara Wahyu SB dan Nanki Nirmanto (fiksi-Purbalingga), “BLT” sutradara Andri (dokumenter-Purbalingga),”Ngarit” sutradara Wasis S. Wardhana (fiksi-Purwokerto), dan “Tak Kenal dan Tak Sayang” sutradara Bowo Leksono (dokumenter-Purbalingga).

Film fiksi “Musibah” berkisah tentang seorang anak yatim bernama Kurim yang sedari kecil menanggung bermacam cobaan hidup. Hingga beranjak remaja, nasib baik tetap tak berpihak padanya, termasuk saat mendekati wanita.

Agak berbeda dengan film “Ngarit” yang mengisahkan perjuang seorang anak karena merasa dirinya bisa hidup berkat bantuan seorang dukun bayi, ia pun sekuat tenaga ingin membantu sang dukun itu.

Lain hal dengan dua film dokumenter berjudul “BLT” dan “Tak Kenal dan Tak Sayang” yang sarat politik. “BLT”, seperti kita ketahui, mengupas ketimpangan pembagian bantuan yang tidak tepat sasaran. Jadi tidak mudah memandang seperti apa kemiskinan di Indonesia itu.

Sementara pada “Tak Kenal dan Tak Sayang”, gambaran nyata tentang ketidakpercayaan masyarakat terhadap para pemimpin dan calon pemimpin. Buat apa memilih bila tak ada perubahan lebih baik dalam hidup. Demikian prinsip masyarakat. Jadi bagi para pemimpin; jangan harap disayang rakyat bila tak dikenal. Bolex

Rabu, 24 September 2008

Memfilmkan "Manusia Gerobak" di Ibukota

Secara sporadis, saban memasuki bulan Ramadhan, puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan kaum miskin menyerbu ibukota tanpa ampun. Mereka hidup berpindah, berharap rezeki ada dimana-mana.

Para kaum papa itu membawa “rumah” mereka kemana pun pergi. Rumah yang dimaksud adalah gerobak kayu yang memang berfungsi menyimpan barang-barang sekaligus untuk tidur layaknya sebuah rumah huni.

Mereka dikenal dengan “Manusia Gerobak” yang terlihat mulai banyak di jalanan Jakarta di bulan Ramadhan dan semakin banyak menjelang lebaran.

Manusia Gerobak bukanlah pengemis. Mereka tidak meminta-minta,mengharap belas kasih orang lain. Manusia Gerobak hidup dari memungut barang-barang bekas seperti botol minuman mineral, kardus, kertas, dan barang lain yang sekiranya masih laku untuk dijual. Namun, mereka tak menolak bila ada orang kaya yang memberi. Karena itulah, di malam hari di bulan suci, para Manusia Gerobak menanti uluran tangan di trotoar jalan.

Mereka datang dari berbagai daerah. Bogor, Cianjur, Tegal, Malang, Wonogiri, Yogyakarta, Solo, dsb. Sebagian sudah bertahun-tahun di Jakarta dan sebagian besar lagi karena musiman.

Difilmkan
Apa yang tak ada di Ibukota Jakarta? Orang-orang kaya, pun orang-orang miskinnya. Gedung-gedung menjulang, rumah dan mobil-mobil elit, pun sekelas rumah gerobak. Keironisan ini bukan hal yang mencengangkan di Jakarta, karena memang menjadi kenyataan sehari-hari.

Realita miris inilah yang sedang ditangkap Benny Benke dan Bowo Leksono bersama Fahim Rauyan, Dias Arazy dan Ginanjar menjadi sebuah film dokumenter. Film tentang Manusia Gerobak di ibukota.

Sudah sejak awal lima lelaki itu berkeliling kota Jakarta, menyambangi kaum papa. Berbincang sambil menyelami kerasnya hidup di ibukota. Mereka bertemu dengan puluhan kaum marginal dengan beragam latar. Bolex

Selasa, 23 September 2008

BSF#10 Berjalan Tanpa Kehadiran Filmmaker


“Sudah sampai mana? Acara mau dimulai neh!!”. Sebuah sms meluncur dari ponsel milik Direktur Cinema Lovers Community (CLC) Bowo Leksono ke salah satu filmmaker yang malam itu filmnya diputar di ajang Bamboe Shocking Film (BSF) #10.

Balasan tidak lewat sms namun sang filmmaker langsung angkat ponsel dan membalas dengan menelepon. “Maaf Mas, aku ngga ada kendaraan untuk ke Purbalingga. Gimana ya??”. Demikian salah satu alasan yang susah diterima dari salah satu filmmaker.

Ya, gelaran BSF#10 pada Sabtu malam, 13 September 2008, di Café Bamboe, Jl. Jenderal Sudirman No. 126 Purbalingga ini berjalan tanpa kehadiran satu pun pembuat filmnya. Malam itu, BSF mengusung enam film karya mahasiswa Jurusan Komunikasi Universitas Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Perlu diketahui, waktu tempuh antara kampus Unsoed di Purwokerto dan lokasi gelaran BSF di Purbalingga tak lebih dari satu jam. Perlu kesabaran memang, apalagi saat bulan Ramadhan.

Pengobat Kecewa
Meskipun tanpa kehadiran para pembuat film dari enam film yang diputar (padahal sekitar 40 mahasiswa dalam satu kelas yang terlibat pembuatan film itu), namun gelaran BSF tetap berlangsung.

Bahkan tidak mengurangi kehangatan dan keceriaan di malam Ramadhan itu. Apalagi tenaga volounter termasuk baru di BSF yang berasal dari pelajar SMA Negeri 1 Purbalingga yang berjumlah sembilan anak. Mereka bersemangat mendapatkan pengalaman lain dari yang lain.

Karena baru, Bening dan Dinur yang bertugas sebagai presenter belum mengenal bahwa yang maju di panggung ternyata bukan pembuat film yang malam itu filmnya diputar, tapi anak-anak CLC yang sengaja sekaligus memberi komentar pada film anak-anak Komunikasi Unsoed.

Bening, presenter berparas manis itu tak sekedar pandai bercuap. Ia pun melantunkan sebait lagu dengan suara merdu yang mampu mengobati kekecewaan BSF yang tanpa kehadiran filmmakernya. Bolex

“Musibah” Film Terbaru Bozz Community


Setelah memproduksi film bergenre fiksi bertajuk “Gairah Salimin” yang sempat dikompetisikan di Purbalingga Film Festival (PFF) 2008 lalu, Bozz Community sebagai salah satu komunitas film yang tergabung dalam Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, kembali memproduksi film fiksi.

Dengan menggandeng Teater Linglung SMA Negeri 1 Bobotsari, Nanki Nirmanto dan Wahyu Setiya Budi mencipta film berjudul “Musibah”. Film ini merupakan film pertama Bozz Community yang digarap duet sutradara. Sebelumnya semua film Bozz Community merupakan karya tunggal.

Film yang pengambilan gambarnya di Desa Karang Duren, Kecamatan Bobotsari ini bercerita tentang kesenjangan sosial dengan membandingkan secara langsung antara si kaya dan si miskin. Kurim, anak laki-laki satu-satunya dari janda miskin. Ia kerap mendapat perlakuan kurang mengenakan selama hidupnya. Berbanding terbalik dengan Kurim adalah Acha, gadis cantik anak orang kaya.

Suatu ketika Kurim berharap bisa menjadi pasangan Acha. Karena kepercayaannya dengan mitos akan mimpi, Kurim berharap mendapat anugerah tapi kenyataannya malah mendapatkan musibah.

“Tujuan produksi film ini untuk menyadarkan masyarakat yang masih percaya akan mitos mimpi. Orang terkadang hidup pusing hanya karena mimpi buruk yang dialami” ujar Nanki Nirmanto sutradara film ini.

Take Ulang
Sebenarnya, film “Musibah” mengalami take ulang. Sebelumnya sudah selesai produksi malah sempat diputar di beberapa tempat. Tapi karena adanya kebutuhan, film ini diambil gambar ulang agar memperoleh hasil yang maksimal.

“Kita mengharapkan film ini bisa dijadikan tolak ukur dari film-film SMA di Purbalingga, makanya kami merasa harus take ulang” kata Wahyu yang juga sutradara film ini.

Ade Sofyan dan Nilawati yang menjadi pemeran utama dalam film ini pun ikut angkat bicara. Mereka mengaku belum total dalam berakting saat pengambilan gambar sebelumnya karena terburu waktu dengan tuntutan kegiatan OSIS untuk segera diputar.

Diharapkan film yang cukup komplek adegan lucu dan mengharukan ini mampu memberi warna di tengah-tengah perfilman pendek Purbalingga dan Banyumas pada umumnya. NN

Selasa, 09 September 2008

Dua Program Pemutaran Film CLC di Bulan Suci

Dua program pemutaran film dari Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga akan hadir sekaligus menghiasi damainya bulan Ramadhan. Bamboe Shocking Film (BSF) dan Buka Mata! Buka Telinga! Buka Puasa!.

Program bulanan BSF hendak digelar pada Sabtu, 13 September 2008, pukul 20.00 WIB, di cafe Bamboe, Jl Jenderal Sudirman no. 126 Purbalingga. Cafe yang terletak di timur alun-alun Purbalingga ini cukup setia bergandengan dengan program pemutaran film dari CLC.

BSF yang kesepuluh ini mengusung film-film pendek karya tugas mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Jurusan Komunikasi Universitas Soedirman (UNSOED) Purwokerto. Ada enam karya film yang dihasilkan mahasiswa semester enam ini.

Keenam film yang bergenre fiksi itu berjudul Skakmat, Kisah Ro, Perfect, Alkoholok, Buruan!, dan Rrrrun!. Film-film yang menjadi pengalaman baru bagi para mahasiswa itu diproduksi setelah mereka menyelesaikan mata kuliah filmologi.

Penanggung jawab BSF Mohamad Febriyanto mengatakan setelah dua bulan berselang, program BSF hadir kembali di bulan September. ”Dua bulan lalu, BSF absen karena CLC menggarap program pemutaran film di acara pameran buku pada bulan Juli dan program Layar Tanjleb di bulan Agustus,” tuturnya.

Seperti pelaksanaan program BSF sebelumnya, para pembuat film akan diberi kesempatan mempresentasikan karyanya dan seusai pemutaran film dibuka sesi diskusi. ”Disamping sebagai ajang apresiasi bagi anak muda Purbalingga dan sekitarnya, BSF juga sebagai media interaksi antara pembuat film dan penontonnya,” kata Febri.

Buka Mata! Buka Telinga! Buka Puasa!
Program pemutaran film di bulan suci Ramadhan ini termasuk salah satu program tahunan CLC yang sudah dirintis sejak 2004. Mengiringi ibadah puasa kaum muslim, Buka Mata! Buka Telinga! Buka Puasa! ini berupa pemutaran film ke sekolah-sekolah di Kabupaten Purbalingga.

Film-film pendek itu dihadirkan setelah buka puasa dan berlanjut seusai ibadah tadarus. Dengan menggandeng kegiatan buka puasa bersama dari OSIS, film-film fiksi dan dokumenter yang akan diputar berasal dari Purbalingga, Yogyakarta, dan Surakarta.

Rizky Purwitasari, penanggung jawab program ini, mengatakan sudah dua sekolah yang meminta CLC melalui OSIS untuk hadir di acara buka puasa yang mereka gelar. ”Dua sekolah itu adalah SMA Negeri Bukateja dan SMA Negeri Bobotsari. Kemungkinan akan ada lagi sekolah yang meminta kami turut memutar film. Karena kami masih terbuka untuk itu,” ujar Rizky.

Pemutaran film di sekolah-sekolah merupakan upaya memperkenalkan media rekam berupa video sebagai karya kreatif anak muda. Ke depan, CLC berharap lahir bibit-bibit generasi pembuat film di Purbalingga sebagai penerus generasi pembuat film sebelumnya. Bolex

Minggu, 24 Agustus 2008

Film Banyumas Diputar di Courts-Circuit

Kali kedua, film dokumenter “Leng Apa Jengger” diputar setelah pemutaran perdana di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, desa dimana film yang mengupas kesenian khas Banyumasan ini diproduksi dalam rangkaian program Komidi Sorot Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).

Kesempatan kedua, Centre Culturel Francais (CCF) Jakarta memilih film hasil keroyokan filmmaker muda se-eks Karesidenan Banyumas untuk diputar di Ibukota Jakarta. Pemutaran film yang digarap duet sutradara Sigit Harsanto dan Bowo Leksono itu dilakukan pada Sabtu, 23 Agustus 2008, Pukul 17.00 WIB, di Kineforum Taman Ismail Marzuki (TIM) Jl. Cikini Raya No. 73 Jakarta Pusat.

Tak cuma itu, pemutaran film alternatif yang merupakan rangkaian acara Courts-Circuits (special a’courts d’ecran) juga menyuguhkan pameran, bazaar, dan diskusi film pendek dari Jumat-Minggu, 22-24 Agustus 2008. Dan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) turut memeriahkan pameran tersebut.

Hendak Menjadi Dokumenter Panjang
Film “Leng Apa Jengger” yang berdurasi 23 menit ini berkisah tentang satu tradisi di satu waktu di Banyumas, Jawa Tengah. Tradisi itu telah merubah takdir para lelaki menjadi ratu yang paling cantik di tengah para perempuan. Sedari belia, para lelaki terpilih di didik untuk menjadi penari lengger.

Film produksi La Cimplung ini merekam pengalaman pribadi Sadam, bocah lelaki yang setelah dewasa menjadi penari lengger terkenal bernama Dariah. Dan nasib Dariah yang mulai meniti hari-hari tuanya tergambar dalam film berlogat Banyumasan ini.

Namun tampaknya, para pembuat film ini belum merasa selesai dengan garapan yang cukup memakan waktu dalam tahap pascaproduksinya. “Masih banyak momen dan materi yang harus digali dan diambil gambarnya,” ujar Sigit Harsanto. Dalam waktu dekat, pengambilan gambar mulai dilakukan yang juga akan melibatkan tokoh budayawan Banyumas, Ahmad Tohari.

Pameran dan Diskusi
Selain kesempatan pemutaran film, JKFB juga berkesempatan membuka stan pameran film. Di meja JKFB tersedia bermacam souvenir, katalog dan kompilasi film. Termasuk dokumentasi sejarah terbentuknya JKFB berupa foto dan katalog. Selain JKFB, komunitas dari kota lain turut menyemarakkan pameran seperti Forum Lenteng, Boemboe, Minikino, Konfiden, dan The Marshall Plan.

Selain pemutaran film, juga digelar forum diskusi yang salah satunya mengangkat bahasan tentang “pendokumentasian film” dengan pembicara dari Yayasan Konfiden dan Forum Lenteng.

”Film itu tidak hanya dipoduksi tapi yang juga penting adalah perawatan. Perawatan film itu salah satunya dengan cara data base, baik secara individual maupun komunitas. Dan Konfiden merupakan salah satu badan yang melakukan pendataan dan mendokumentasikan film-film pendek di Indonesia yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemeritah.” ujar Agus Mediarta dari Yayasan Konfiden. Nanki Nirmanto

Senin, 11 Agustus 2008

Ketika Layar CLC Terkembang

Memasuki musim Tujuhbelasan, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga kembali menggelar program tahunan berupa pemutaran Layar Tanjleb keliling desa-desa di wilayah Kabupaten Purbalingga. Terutama di desa-desa yang pernah digunakan sebagai lokasi syuting pembuatan film. Hal ini sebagai wujud timbal-balik apa yang diberikan masyarakat untuk perkembangan film pendek di Indonesia.

Bahkan tahun ini, jamahan program Layar Tanjleb hendak melebar ke wilayah Kabupaten Banyumas dan Banjarnegara seiring program Komidi Sorot dari Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).

Tidak cukup itu, seperti tahun lalu, CLC juga akan kembali menggelar Layar Tanjleb di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Tepatnya di Perumahan Mustika Tigaraksa.

Materi Film yang Memasyarakat
Apa saja film-film yang diputar di program ini? Tentu disesuaikan dengan kondisi masyarakat bawah. Namun pada dasarnya banyak materi film-film pendek yang sesuai dan pada akhirnya disukai masyarakat.

Disamping materi film pendek dari Purbalingga sendiri, juga menghadirkan film-film pendek yang berasal dari kota tetangga yaitu Cilacap dan Purwokerto serta kota-kota lain seperti Yogyakarta, Solo, dan Surabaya. Sebagian besar diantaranya bertemakan perjuangan yang mencoba membakar semangat patriotisme.

Sebagai daya tarik di gelaran Layar Tanjleb itu, pihak CLC menyediakan doorprize bagi masyarakat yang berasal dari sponsor maupun CLC sendiri. Hadiah buat masyarakat biasanya berupa kupon makan bakso, mie ayam, atau bahkan potong rambut dan creambath gratis.

Menjauhkan Masyarakat dari Sinetron
Bulan Agustus adalah saat yang paling tepat untuk mengajak masyarakat menjauhkan tontonan wajib mereka setiap malam: sinetron. Masyarakat akan dengan rela meninggalkan layar kaca mereka untuk menyaksikan karya-karya film anak negeri yang sudah saatnya merebut hati masyarakat.

Biasanya layar ditancapkan di tanah lapang atau melintang di tengah jalan desa. Pergelaran Layar Tanjleb tak hanya memberi tontonan gratis yang menghibur dan edukasi bagi masyarakat, namun juga memberi rezeki bagi para pedagang baik makanan, mainan anak-anak, hingga pakaian.

Program Layar Tanjleb adalah salah satu strategi distribusi film-film pendek khususnya bagi masyarakat kecil yang tak banyak berkesempatan menyaksikan dan menikmati karya anak muda.

Sejak peristiwa pelarangan program Bioskop Kita oleh Pemkab Purbalingga dua tahun silam, CLC bergerilya ke desa-desa untuk menyapa masyarakat dengan karya. Bolex

JADWAL LAYAR TANJLEB 2008

NO.

HARI, TANGGAL

LOKASI

1.

Sabtu, 16 Agustus 2008

Perum Griya Perwira Asri

2.

Minggu, 17 Agustus 2008

Perum Mustika Tigaraksa Tangerang

3.

Minggu, 17 Agustus 2008

Dusun Sikadut, Desa Karangtalun, Kec Bobotsari, Purbalingga

4.

Senin, 18 Agustus 2008

Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga

5.

Senin, 18 Agustus 2008

Desa Plana, Kecamatan Somagede, Banyumas

6.

Selasa, 19 Agustus 2008

Banjarnegara

7.

Rabu, 20 Agustus 2008

Desa Kradenan, Kecamatan Mrebet, Purbalingga

8.

Sabtu, 23 Agustus 2008

Perum Griya Abdi Kencana Purbalingga

Kamis, 07 Agustus 2008

6 Film Banyumas di “Refleksi Boemboe 5 Tahun”

Sebanyak enam film produksi anak-anak muda Banyumas diputar di even “Refleksi Boemboe 5 Tahun”, Jumat-Sabtu, 1-3 Agustus 2008, di Kineforum, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Keenam film tersebut adalah Manuskrip sutradara Bayu Bergaswaras (Purwokerto), Tak Kenal dan Tak Sayang sutradara Bowo Leksono (Purbalingga), Anarchist Cookbook for Beginners sutradara Dimas Jayasrana (Purwokerto), Misi Penyelamatan Kucing sutradara Insan Indan Pribadi (Cilacap), Dompet sutradara Sari Handayani (Purwokerto), dan Mahkotaku 50:50 sutradara Heru C. Wibowo (Purbalingga). Selain film-film dari Banyumas, juga masih banyak film-film dari kota-kota lain dari seluruh Indonesia.

Dari keenam sutradara film Banyumas, empat sutradara hadir di acara tersebut. Insan Indah Pribadi dan Heru C. Wibowo serta Dimas Jayasrana dan Bowo Leksono. Kedua sutradara yang disebutkan terakhir ini memang tinggal di Ibukota.

“Refleksi Boemboe 5 Tahun” diselenggarakan dalam rangka memperingati usia kelima Boemboe, sebuah lembaga distribusi film pendek Indonesia. Acara ini bersamaan dengan gelaran Boemboe Forum 2008 yang menggelar pemutaran film, pameran, dan sarasehan.

Pendiri Boemboe Lulu Ratna berharap melalui program ini Boemboe dapat melakukan perenungan sekaligus berbagi rasa syukur atas perjalanan Boemboe sejauh ini. “Kami berbagi rasa syukur ini kepada semua pihak yang telah memberi dukungan moril maupun material selama ini,” tuturnya.

Sejak berdiri ditahun 2003, Boemboe telah berkiprahdalam turut mengembangkan dunia film pendek Indonesia di kancah nasional dan internasional. Selain gelaran tahunan Boemboe Forum (sejak 2004) dan gelaran dua tahunan 3 Cities Short Film Festival (sejak 2006), Boemboe juga menjalin kerjasama program dengan berbagai pihak.

Kerjasama dalam mengorganisir/mengkurasi program pemutaran film serta kegiatan yang bersifat membangun jaringan kerja ini adalah bagian dari program Boemboe Screening dan Boemboe Meeting Point.

Sementara promosi dan distribusi film pendek Indonesia menjadi bagian dari program Boemboe International & National Distribution yang diikuti dengan produksi DVD Boemboe sebagai bagian dari program database. Tentu kiprah lembaga semacam Boemboe akan terus dinanti para pembuat dan penikmat film pendek Indonesia. Bolex

Selasa, 05 Agustus 2008

Kalyana Shira Garap Antologi Dokumenter

Ada kabar baik di tengah seragamnya genre film yang muncul di layar bioskop. Ternyata, masih ada saja sineas yang mencoba melakukan terobosan dalam menyuguhkan karyanya dan tak sekadar ikut-ikutan tren sedang yang ramai. Setidaknya begitu yang diniatkan rumah produksi Kalyana Shira Films dalam proyek berikutnya.

Proyek ini dimulai dari sebuah kompetisi film dokumenter bertajuk “Think Act Change: The Body Shop Documentary Film Competition 2008”. Sebuah ajang tahunan untuk pembuat film dokumenter berbakat. Kalyana Shira Foundation hadir di sini lewat Master Class Category. Tema yang diangkat adalah “Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi”.

Workshop ini sendiri digelar pertengahan Juli 2008 di Teater Kecil TIM dan diikuti oleh 34 peserta dari 12 kota. Dari delapan proposal terpilih kelak, akan ditunjuk empat sutradara dalam Pitching Forum untuk mewujudkan empat film dokumenter yang akan didistribusikan di layar lebar.

“Proposal itu akan dilihat kekuatan storyline-nya, keunikan approach-nya, hingga character development-nya,” ungkap Nia Dinata selaku Ketua Kalyana Shira Foundation sekaligus produser Kalyana Shira Films. Pada akhirnya, Kalyana Shira akan memberikan full fellowship dengan menanggung biaya pembuatan dan distribusi film.

Saat ditanya soal biaya, teh Nia tidak merinci dengan spesifik.”Itu adjustable kok, bisa disesuaikan dengan kebutuhan cerita,” kilahnya kalem. Sepertinya sambungan Perempuan Punya Cerita nih. Bobby Batara_www.21cineplex.com

Tak Ada Kebijaksanaan dari Kalyana Shira
Nasib baik ternyata belum berpihak kepada para filmmaker Banyumas. Kesempatan pertama untuk menggarap film layar lebar ternyata kandas di tengah jalan.

Bowo Leksono (Purbalingga) dan Gatot Artanto (Sokaraja) duet filmmaker yang berkesempatan mengikuti Program Master Class The Body Shop kerjasama Kalyana Shira Foundation dan Dewan Kesenian Jakarta. Mereka berdua berhasil masuk delapan besar dan tinggal melakukan pitching yang artinya berhasil masuk final.

Untuk menghadapi babak final, Bowo sudah melakukan riset di Purbalingga tentang sulitnya akses terhadap kesehatan reproduksi di daerah tempat kelahiran Pahlawan Nasional Jenderal Soedirman itu.

“Namun pihak Kalyana Shira Foundation tiba-tiba mengubah jadwal pitching dan saat itu kami sedang shooting di Sumba dan Bali. Kami tidak mendapatkan kebijaksanaan untuk presentasi di hari yang lain. Mereka tetap kekeh dengan perubahan jadwal itu,” ujar Bowo.

Maka, gugurlah kesempatan emas bagi filmmaker Banyumas untuk turut berkiprah dalam memajukan perfilman Nasional. Bolex

Sabtu, 02 Agustus 2008

Film Purbalingga Kembali Raih Penghargaan

Setelah terbaik kedua tahun 2007, pegiat film Purbalingga merebut penghargaan film terbaik pertama di Festival Video Edukasi 2008. Duo sutradara Agus Sudiono dan Uswantoro dari Rumah Produksi Glovision memperbaiki peringkat melalui film berjudul “Cuthel”. Film berdurasi 19 menit itu merupakan satu-satunya film Banyumas yang masuk nominasi sekaligus memenangi ajang tahunan ini.

Malam penghargaan oleh Balai Pengembangan Media Televisi (BPMT) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional itu digelar di Gedung Kesenian Cak Durasim, Surabaya, Jumat, 25 Juli 2008.

Tahun ini film memperebutkan hadiah dua kategori, yaitu pelajar dan umum. Lima puluh enam film dari seluruh Indonesia terdaftar sebagai peserta. “Cuthel” memperoleh penghargaan terbaik kategori umum dan berhak membawa piala serta uang tunai Rp 20 juta.

“Ini film pertama kami yang dibuat tahun 2006. Jadi bukan film baru. Meski berharap menang, penghargaan ini sangat mengejutkan,” ujar asisten sutradara “Cuthel” Heru C. Wibowo.

Inspiratif
Film “Cuthel” diilhami kisah Turnadi, pria yang hanya memiliki satu tangan dan satu khaki.warga sering mengolok-olok sehingga membuat istri dan anaknya marah. Namun Turnadi enggan mengandalkan belas kasihan orang lain. Dia meyakinkan istri dan anaknya agar mensyukuri nikmat Allah.

Ia menjaring ikan dan membuat sangkar burung untuk menyekolahkan buah hatinya. Diyakinkan bahwa pendidikan penting untuk masa depan yang lebih baik. “Kisah Turnadi yang kami angkat memang inspiratif. Kami tergugah untuk memfilmkan. Dulu tak pernah berpikir ikut festival,” tambah Heru.

Setahun sebelumnya pioner film pendek Purbalingga, Bowo Leksono, meraih penghargaan terbaik kedua lewat “Senyum Lasminah”. Saat ini dia bersama Gatot Artanto (Sokaraja) menanti kepastian penggarapan film layar lebar untuk tayang di bioskop dalam ajang “The Body Shop: Documentary Film Competition 2008” dan Kalyana Shira Foundation pimpinan sutradara Nia Dinata.

“Sayang, panitia mengubah jadwal. Pada saat yang sama kami berada di Bali dan Sumba. Meski akan menjadi pengalaman layar lebar pertama bagi film Banyumas, kami tidak bisa mengadakan pertemuan dengan pihak Kalyana Shira Foundation. Padahal kami sudah menyiapkan lokasi shooting di Purbalingga,” ungkapnya. Sigit Harsanto_Suara Merdeka

Minggu, 06 Juli 2008

CLC Putar Film di Festival Buku Purbalingga 2008

Jangan pernah merasa bingung dengan liburan. Apalagi bagi anak yang kreatif. Waktu liburan bisa diisi dengan apa saja, tentu kegiatan yang positif. Pokoknya yang bisa membuat hidup kita lebih bermakna, untuk diri kita dan orang lain tentunya.

Mengisi liburan tahun ini, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, dengan digandeng Three G Production menggelar pemutaran film di acara Festival Buku Purbalingga 2008.

Festival yang digelar gratis untuk masyarakat Purbalingga ini bertajuk “Saatnya Cerdas Dengan Buku” ini digelar pada 8-15 Juli 2008, di GOR Mahesa Jenar, kompleks Kya-Kya Mayong. Untuk pemutaran filmnya digelar selama tiga hari pada 8,12, dan 13 Juli 2008, mulai pukul 19.00 WIB.

Programer Pemutaran Film CLC Mohamad Febriyanto mengatakan, disamping untuk mengisi program bulanan CLC, pemutaran ini menjadi ajang kesempatan untuk kembali memperkenalkan karya-karya film anak muda Purbalingga dan Banyumas. “Akan ada 20 film yang berasal dari Purbalingga, Purwokerto, dan Cilacap yang diputar selama tiga malam,” katanya.

Pada Sabtu malam, 12 Juli 2008, di sela-sela pemutaran film, digelar talkshow bersama teman-teman dari CLC untuk menggali lebih jauh bagaimana kiprah CLC dalam dunia edukasi di Purbalingga.

Festival yang antara lain berupa pameran buku ini dalam rangka mendukung Program Gerakan Gemar Membaca yang dicanangkan Pemerintah di seluruh tanah air. Disamping itu guna mendekatkan buku kepada masyarakat Kota Purbalingga pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Sementara menurut Promotion Manager Three G Production Dyna Novitasari, dalam even ini, mengemas pameran buku tidak sekedar memajang buku saja. “Namun menggabungkan edukasi dengan entertainmen agar dapat lebih menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke area pameran,” tuturnya.

Beragam gelaran acara berupa lomba akan dapat ditemukan di festival ini. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Antara lain menggambar, mewarnai, fashion show, tari, menyanyi, debat bahasa Inggris, lomba tek-tek, drum band, hingga festival band.

Tidak hanya itu, pada festival buku ini, pengunjung juga berkesempatan untuk bertukar pikiran dan berdiskusi bersama dalam acara talkshow dengan budayawan dan penulis buku. Bolex

Sabtu, 28 Juni 2008

Tak Kenal dan Tak Sayang

“Nyoblos ora nyoblos ya pada bae. Bocah sekolah sing jarene gratis tetep bae mbayar. Bayarane malah larang”. (Mencoblos tidak mencoblos sama saja. Anak sekolah katanya gratis tetap saja membayar. Bayarannya malah mahal).

Demikian nukilan dialog sebuah film dokumenter pendek paling gres karya Bowo Leksono bertajuk "Tak Kenal dan Tak Sayang". Apalagi kalau bukan urusan Pemilu yang melatarbelakangi film berdurasi delapan menit ini.

Ya, film yang diproduksi sehari ini berlatar Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah yang memfokuskan pada fenomena Golput (Golongan Putih). Seperti yang dilangsir Suara Merdeka, 23 Juni 2008, “Berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei dan hasil pantauan di lapangan, angka golput mencapai lebih dari 40 %”. Dan wilayah Banyumas adalah penyandang angka Golput tertinggi.

Angka yang sangat fantastis tentunya untuk sebuah perjalanan kehidupan berdemokrasi. Salah siapa bila mereka tidak memilih. Ada yang salah mungkin, atau memang sudah seharusnya demikian. Sebuah tahapan yang musti dilewati untuk menuju kehidupan demokrasi yang lebih baik di Indonesia.

Bermacam alasan mengapa masyarakat mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) atau tak datang sama sekali, tergambar pada film ini. Karena siapapun yang jadi pemimpin, akan sama saja. Pemerintahan ini tidak berubah. Demikian kesimpulan film yang diproduksi Multivita Min ini. Bolex

Kamis, 19 Juni 2008

BSF! #9_Mengusung Film-Film Pelajar SMA di Purbalingga


Hampir mendekati angka 500, para pelajar SMA se-Kabupaten Purbalingga tumpah di GOR Mahesa Jenar saat sesi Kompetisi Lokal Purbalingga Film Festival (PFF) 2008 satu bulan silam. Mereka, dengan penuh semangat, turut mendukung berlaganya karya film pendek dari sekolah tercinta untuk menyabet predikat terfavorit.

“Satu, dua tahun silam, CLC menggelar workshop pembuatan film pendek di beberapa SMA. Dan beginilah hasilnya. Mereka telah mampu secara mandiri membuat film sendiri,” tutur Heru C. Wibowo, salah satu pegiat Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga.

Pada program “kompetisi lokal” ini, tidak melalui penilaian dewan juri, namun berdasarkan pilihan penonton dengan hasil film terfavorit. “Diharapkan akan memancing pelajar-pelajar lain untuk menyukai atau bahkan mencoba membuat film,” kata Heru.

Program ini termasuk program unggulan pada festival kali ini. Ke depan, kompetisi lokal rencananya diperluas hingga se-eks karesidenan Banyumas. Sementara untuk kompetisi umum, masih diperlukan pengkajian mendalam tentunya

Untuk memberi kesempatan lebih luas pada anak muda Purbalingga untuk mengapresiasi film-film pendek SMA, kembali hendak diputar kelima film pendek fiksi dari ini di ajang Bamboe Shocking Film (BSF) #9 yang rencananya digelar Sabtu, 21 Juni 2008, di Café Bamboe, timur Alun-alun Purbalingga. Bolex

Sabtu, 07 Juni 2008

Lengger Lanang dalam Dokumenter







Kali pertama di wilayah eks-Karesidenan Banyumas, sebuah produksi film dokumenter digarap secara keroyokan. Para sineas dari daerah ngapak-ngapak itu telah menyelesaikan satu produksi film dokumenter bersama tentang “Lengger Lanang”.

Biasanya, kru film dokumenter tidak lebih banyak dari penggarapan genre film fiksi. Sekitar 15 filmmaker terlibat dalam penggarapan Lengger Lanang. Film yang sedang memasuki paskaproduksi ini pun digarap duet sutradara Sigit Harsanto dan Bowo Leksono.

“Kami juga melibatkan teman-teman band, penata artistik dan lampu di teater, serta fotografer. Ini sebuah refleksi kebersamaan pelaku seni yang digawangi anak-anak muda Banyumas,” ujar Sigit.

Tentang Lengger Lanang
Adalah Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, dimana hidup seorang lengger lanang yang kini tinggal meniti hari-hari tuanya. Mbok Dariah, demikian nama lengger lanang itu. Tentu puluhan tahun silam, Dariah muda digandrungi banyak laki-laki. Tak terkecuali kaum perempuan yang memang mengakui kecantikannya.

Kata lengger itu sendiri merupakan istilah dari kalimat ‘diarani leng jebule jengger’ (dikira perempuan ternyata laki-laki). Sejatinya, penari lengger yang asli Banyumas itu memang awalnya seorang laki-laki. Saat itu, peran sebagai perempuan untuk menghindari hal-hal buruk hubungan lawan jenis.

Kini, Lengger Dariah yang mempunyai nama kecil Sadam, tak menyisakan kejayaan masa silam. Keriuhan panggung pentas hanya menjadi cerita kenangan. Dari dirinya dan orang-orang terdekat yang hidup semasanya. bolex

Senin, 02 Juni 2008

Lengger Santi Joget di Penutupan Festival






Rasa penasaran yang terpendam cukup lama pada sosok Lengger Santi bagi para sineas di berbagai kota, akhirnya terobati. Pada penutupan festival, perempuan yang sempat difilmkan itu muncul di malam penutupan Purbalingga Film Festival (PFF), Minggu (18/5).

Bagi sebagian masyarakat Purbalingga, nama Santi sudah cukup dikenal sebagai seorang penari lengger. Namun bagi para sineas dari kota-kota lain, mengenal perempuan penari itu dari sebuah film dokumenter bertajuk “Lengger Santi”.

Malam itu, Santi mengajak rekan menarinya untuk turut memeriahkan malam penutupan. Tak sekedar lenggak-lenggok di panggung. Kedua lengger itu pun menelusup ke bangku penonton, mengalungkan sampur dan menarik ke panggung untuk bersemuka menikmati alunan rancak musik calung khas Banyumasan.

Penonton yang diajak menari, yang sebagian dari luar kota awalnya terlihat kaku saat mengikuti musik calung. Beberapa saat kemudian semua anggota tubuh mereka mampu mengikuti keinginan suasana. Riuh penonton pun turut mengiringi.

Puncak acara Purbalingga Film Festival adalah penganugerahan pemenang Favorit Kompetisi Lokal yang diikuti karya-karya film dari pelajar SMA se-Kabupaten Purbalingga. Malam itu, film “Glue (Ada Apa Dengan Bani?)” dari SMA Negeri 1 Purbalingga menjadi pemenang Favorit I pilihan penonton, diikuti film “MB (Mimpi Basah)” dari SMA Negeri 2 Purbalingga sebagai pemenang Favorit II. Dan akhirnya sampai jumpa di festival tahun depan! bolex

Kamis, 22 Mei 2008

Kompetisi Lokal sebagai Program Unggulan




Sudah terduga sebelumnya, gedung yang terletak di kawasan jajan Kya-Kya Mayong, sebagai tempat pelaksanaan Purbalingga Film Festival (PFF) 2008, pada Sabtu siang (17/5) akan terpadati anak belasan tahun yang sebagian besar duduk di bangku SMA.

Mereka, dengan penuh semangat, turut mendukung berlaganya karya film pendek dari sekolah tercinta untuk menyabet predikat terfavorit. Hampir mendekati angka 500, para pelajar menikmati lima karya film pendek fiksi dari empat SMA se-Kabupaten Purbalingga.

“Satu, dua tahun silam, CLC menggelar workshop pembuatan film pendek di beberapa SMA. Dan beginilah hasilnya. Mereka telah mampu secara mandiri membuat film sendiri,” tutur Heru C. Wibowo, penanggung jawab Parade Film.

Pada program “kompetisi lokal” ini, tidak melalui penilaian dewan juri, namun berdasarkan pilihan penonton dengan hasil film terfavorit. “Diharapkan akan memancing pelajar-pelajar lain untuk menyukai atau bahkan mencoba membuat film,” kata Heru.

Program ini termasuk program unggulan pada festival kali ini. Ke depan, kompetisi local rencananya diperluas hingga se-eks karesidenan Banyumas. Sementara untuk kompetisi umum, masih diperlukan pengkajian mendalam tentunya. Khadis
Film-Film Kompetisi Lokal
1. GLUE (Ada Apa dengan Bani?) Pemenang Favorit I
sutradara Arifin MZ, SMA Negeri 1 Purbalingga
2. MB (Mimpi Basah) Pemenang Favorit II
sutradara Evi Cute, SMA Negeri 2 Purbalingga
3. KEBONGKAR
sutradara Nur Latifah, SMA Muhammadiyah 1 Purbalingga
4. GAIRAH SALIMIN
sutradara Nanki Nirmanto, SMA Negeri 1 Bobotsari
5. BLUE HOROR
sutradara Nanki Nirmanto, SMA Negeri 1 Bobotsari