Minggu, 16 November 2008

CLC Putar Film di Pameran Arsip & Perpustakaan Se-Jawa Tengah

Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga berkesempatan memutar film-film pendek karya anak muda Purbalingga di Pameran Arisip dan Perpustakaan Se-Jawa Tengah yang digelar di Gedung Bina Sejahtera, Purbalingga, tepat pada hari peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2008.

Keseluruhan film yang diputar berasal dari Purbalingga baik fiksi maupun dokumenter. Namun karena pameran yang terkesan mendadak ini berpengaruh terhadap pengunjung yang hadir. Pun berpengaruh terhadap tontonan film yang digelar.

Hal ini diakui Budi dari Kantor Pemeliharaan Dokumen Elektronik dan Perpustakaan Purbalingga. “Pameran ini memang kurang persiapan dan publikasi yang kurang tergarap. Praktis hanya anak-anak sekolah yang berkunjung karena mudah dimobilisasi,” katanya.

Turut memeriahkan pameran ini lengger pelajar dari Paguyuban Calung Pelajar Wisanggeni. Sementara CLC sendiri juga berkesempatan berpameran. Berbagai produk, baik karya film dalam bentuk kepingan DVD, leaflet, dan buletin, juga tropi hasil dari beragam festival yang diikuti.

CLC cukup rajin mengikuti berbagai pameran sebagai bentuk publikasi memperkenalkan komunitas kepada masyarakat. Nanki Nirmanto

JKFB Buka Stan di Halal Bil Halal Seruling Mas
Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) turut berkesempatan memperkenalkan diri di acara Halal Bil Halal Keluarga Besar Seruan Eling Banyumas (Seruling Mas).

Acara yang diselenggarakan pada Minggu, 26 Oktober 2008 di Gedung Pewayangan, Komplek Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta ini dihadiri ratusan warga Banyumas yang berada di Jabodetabek.

“Inyong nembe ngerti kiyeh, nek neng mBanyumas ana film (Saya baru tahu, kalau di Banyumas ada film),” tutur Maria Artanti, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Jakarta asal Banyumas. Pengakuan serupa diakui puluhan warga Banyumas di Jakarta yang menyempatkan diri berkunjung ke stan JKFB sembari melihat, membaca, dan bertanya tentang keberadaan perfilman di Banyumas.

Namun demikian, tidak sedikit warga yang sudah mengetahui keberadaan komunitas film di Banyumas dari karya-karyanya. Sebagian dari mereka bahkan telah memiliki film-film tersebut dan menurut mereka bisa dijadikan klangenan ketika kangen kampung halaman.

Beberapa dari warga menawarkan kerja sama dengan JKFB, untuk meramaikan acara yang sifatnya kedaerahan. Turut menyemarakkan acara tersebut Paguyuban Calung Pelajar Wisanggeni dari Purbalingga dan Grup Calung Lengger Barongsay (Calengsay) dari Purwokerto. Bolex

Jumat, 14 November 2008

BSF #12: Mengusung Film Empat Kota


Empat kota; Semarang, Malang, Jember, dan Solo, hendak menyumbangkan karya film pendek fiksinya untuk diputar dan diapresiasi anak muda Purbalingga di program bulanan Bamboe Shocking Film (BSF). BSF yang memasuki putaran ke-12 ini hendak digelar pada Sabtu, 15 November 2008, pukul 19.00 WIB.

Karya dari Semarang berjudul “Jendela” mewakili anak-anak dari Studio 12 yang berbasis di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Diproduksi tahun 2007, film ini mengalir linier hampir tanpa konflik yang berarti.

Film berdurasi 16 menit yang disutradarai Kemal Dwi Septianto ini berkisah tentang bagaimana seorang lelaki yang tak mampu mengungkapkan perasaan pada seorang perempuan. Bagaimana seseorang akan tahu perasaan orang lain bila tak ada keberanian untuk saling mengungkapkan?

Dari Malang, dicomot dari karya film mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (Ummu). Tepatnya, film berjudul “Tanya” ini merupakan film tugas mahasiswa Jurusan Komunikasi Ummu.

Meskipun merupakan karya tugas, film berdurasi 15 menit dengan sutradara Adi Kristiawan tetap tampil cukup menawan. “Tanya” berkisah tentang Tanya, perempuan yang sedang mencari jatidiri. Siapa dan bagaimana dirinya harus berteman.

Sementara dari kota kecil Jember, film yang akan turut diputar bertajuk “Demi”. Film yang merupakan besutan sutradara Taufan Agustiyan Prakoso ini sangat kental nuansa lokal. Tepatnya kental dengan kultur sosial budaya Madura.

Film berdurasi 15 menit yang diproduksi tahun 2007 ini mengisahkan seorang lelaki yang demi kehormatan keluarga dan dirinya, mengorbankan segala hal. Termasuk nyawa sekalipun.

Terakhir, film dari Solo yang diambil dari sebuah kompilasi film milik Matakaca. Hendro W dengan cukup lancar membesut film bertajuk “Aku Jadi Wartawan” sepanjang 32 menit.

Film yang diproduksi tahun 2006 bercerita tentang seorang pemuda yang merasa tergugah untuk menjadi seorang kuli tinta. Berbagai cara ia lakukan meskipun keinginannya tak begitu direstui ibunya karena pengalaman ayah pemuda ini yang meninggal dalam tugas menjadi seorang wartawan.

Untuk yang keduabelas kalinya, Bamboe Shocking Film masih tetap tampil di Kafe Bamboe, Jalan Jenderal Sudirman Nomor 126 atau timur alun-alun Purbalingga. Bolex

CLC Ikuti Lokakarya Pemutaran Film

Salah satu program yang digelar selama penyelenggaraan Festival Film Pendek Konfiden (FFPK) 2008 adalah Lokakarya Pemutaran Film. Lokakarya yang diadakan pada 10-13 November 2008 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki ini terbuka bagi para penyelenggara festival film pendek di Indonesia.

Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga mengirimkan tiga utusan untuk berangkat ke Jakarta mengikuti lokakarya sekaligus menikmati festival. Mereka adalah Nanki Nirmanto, Mohamad Febriyanto, dan Dani Andrianto. Selain itu, ada Uwin yang mewakili Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB).

Para peserta lokakarya berkesempatan menimba ilmu dari para mentor yang berasal dari Konfiden sendiri. Ada empat materi yang disampaikan setiap hari dengan satu materi setiap harinya.

Akhsan Andrian menggawangi materi Projeksionis pada hari pertama. Akhsan yang mengaku sudah menggarap projeksionis di Konfiden sejak tahun 2006, kali ini menjadi Programer di FFPK 2008. Untuk materi Pengenalan Akustik Ruang pada hari kedua dimentori Indra Notowidigdo yang biasa disapa Jambrong. Jambrong sudah bergabung di Konfiden sebagai projeksionis audio dari tahun 2006. Dalam FFPK 2008 ini, ia ditugaskan sebagai Penaggungjawab Projeksionis.

Pada hari ketiga, Lintang Gitomartoyo memberikan materi Manajemen Pemutaran. Lintang bergabung di Konfiden sejak tahun 2000. Pada festival kali ini, Lintang bertugas sebagai manajer festival. Sementara pada hari terakhir, Alex Sihar, sang direktur festival memberi materi Tentang Penonton.

Selain berkesempatan belajar tentang manajemen dan teknis sebuah festival, para peserta workshop dari Purbalingga, Purwokerto, Bandung, Semarang dan Jakarta sendiri juga berkesempatan menyaksikan belasan film kompetisi dan non-kompetisi yang diputar di Festival Film Pendek Konfiden (FFPK) 2008.

Pada FFPK 2008 kali ini, film pendek fiksi berjudul “Sugiharti Halim” sutradara Ariani Darmawan dari Kineruku Bandung menyabet dua kategori sekaligus yaiu Film Fiksi Terbaik dan Film Fiksi Favorit Penonton. Sedangkan film “Hulahoop Soundings” garapan Edwin mendapatkan Penghargaan Khusus Dewan Juri. Nanki Nirmanto

Sabtu, 08 November 2008

Film Purbalingga di Semarang

Wacana film Banyumas tampaknya tidak semata karena film itu berasal dari ranah Banyumas, wilayah yang secara geografis terletak di Jawa Tengah bagian barat. Pun tidak semata karena film Banyumas memakai dialog/bahasa Banyumasan.

Julukan film Banyumas lebih karena ciri khas yang melekat pada karya-karya film yang juga dibuat oleh anak-anak muda Banyumas. Ciri film Banyumas selain kuat karena bahasanya yang dikenal dengan istilah ngapak-ngapak, juga karena setting lokasi, pemain, dan ilustrasi musik. Lebih jauh dari itu adalah penggunaan tanda-tanda dan simbol-simbol visual lokal yang melengkapinya.

Berbicara Banyumas sebagai sebuah wilayah secara administratif terdiri dari empat kabupaten, yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara. Keempat kabupaten itu, dikala Pemerintahan Hindia Belanda masuk dalam satu karesidenan.

Film Banyumas di Luar Banyumas
Di luar wilayah Banyumas, film Banyumas dikenal pertama karena bahasanya yang sangat khas. Kekhasan ini karena Banyumas memiliki bahasanya sendiri berbeda dengan wilayah lain.

Pada Sabtu, 1 November 2008, bertempat di gedung Pusat Budaya Indonesia-Belanda Widya Mitra, Semarang, atas undangan komunitas Kronik Semarang, film Banyumas tampil di khalayak Semarang.

Sejumlah sembilan film diputar yang keseluruhannya berasal dari Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga. Arisan Film Forum (AFF) Purwokerto sebagai pihak kurator sengaja memutar kesembilan film yang mewakili tiga generasi. Dua generasi awal, dari film berjudul “Peronika” dan “Boncengan” mengandung tema kesalahpahaman. Sementara generasi terakhir tema film sudah beragam.

Seusai pemutaran, diskusi pun digelar. Beragam tanya dan tanggapan bergiliran. Intinya mempertanyakan apakah film Banyumas selalu memakai bahasa Banyumas? Jawabannya lebih luas dari itu, tentunya.

Selain kawan-kawan Kronik dan mahasiswa Undip kebanyakan yang hadir, juga dari komunitas teater, seperti Teater Temis Fakultas Hukum Undip, komunitas film di Unnes, serta dari komunitas film Matakaca, Solo. Bolex