Kamis, 31 Desember 2009

Aksi 10 Sutradara Muda Dihadang Polisi


Sekitar 10 sutradara muda dan beberapa crew film yang tergabung dalam Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga menggelar aksi tutup mulut dengan menenteng kamera. Aksi ini digelar pada Rabu malam, 30 Desember 2009, di depan Graha Adiguna (operational room) komplek pendapa Kabupaten Purbalingga.

Aksi untuk menolak pemutaran film di even Gelar Budaya dan Pariwisata Purbalingga 2009 dalam rangka Hari Jadi Purbalingga yang ke-179 ini dihadang belasan anggota kepolisian dari Polres Purbalingga. Aksi yang mulai bergerak dari halaman kantor Pos dan Giro Purbalingga ini merupakan aksi lanjutan dari seruan boikot terhadap pemutaran film-film pendek oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora).

Koordinator lapangan (korlap) aksi Heru C. Wibowo mengatakan aksi ini untuk menolak tindakan panitia even Gelar Budaya dalam hal ini Disbudparpora yang telah menentukan sendiri judul film, tanggal, dan tempat pemutaran film-film dari pembuat film yang tergabung dalam CLC. “Tanpa persetujuan CLC, dinas juga telah menyebarkan publikasi soal pemutaran film-film pendek tersebut,” tuturnya.

Hal yang paling penting, lanjut Heru, Pemkab Purbalingga dalam hal ini Disbudparpora tidak konsisten dengan pelarangan pemutaran film di Graha Adiguna. “Tiga tahun lalu, pernah turun surat dari Pemkab bahwa gedung itu tidak diperuntukkan untuk pemutaran film. Nyatanya, mereka sendiri memutar film di gedung rakyat itu. Mana keadilan bagi kami?,” ujarnya.

Aksi Boikot Setengah Berhasil
Pada akhirnya panitia Gelar Budaya dalam hal ini Disbudparpora tidak berani memutar keseluruhan karya CLC seperti yang terpampang diberbagai publikasi. Meskipun pemutaran tetap di gedung yang seharusnya bukan untuk pemutaran film tersebut.
Menurut pencermatan, para penonton yang datang adalah dari jajaran dinas yaitu para guru dan murid yang mendapat instruksi langsung dari kepala Disbudparpora untuk menyaksikan pemutaran di malam itu. Para pejabat teras pun tak tampak, hanya kepala Disbudparpora yang datang terlambat.

Sempat tertangkap kamera, Bupati Purbalingga Triyono Budi Sasongko keluar dari kediamannya namun hanya bertemu dengan Komandan Satpol PP. Bupati tampaknya tidak berani menemui para sutradara muda apalagi mengajak berdialog.

Menurut informasi dari kalangan pers, bupati sudah menginstruksikan pada jajarannya untuk melakukan pendekatan dan mengajak berdialog kepada para pembuat film yang tergabung dalam CLC. Namun tampaknya tidak ada keseriusan dalam menjalankan instruksi tersebut. Atau mungkin karena jajaran Pemkab Purbalingga yang berkepentingan dalam hal ini, tidak tahu cara merangkul anak muda.

Aksi pun berjalan lancar, terkendali, aman dan damai. Meskipun sempat membuat bingung penonton karna berharap film-film yang diputar merupakan karya dari para pembuat film yang tergabung dalam Cinema Lovers Communtiy seperti yang tersebar pada publikasi. laeli

Senin, 28 Desember 2009

BOIKOT !!! Pemutaran Film Pendek di Gelar Budaya dan Pariwisata


BOIKOT! Pemutaran film-film pendek di even Gelar Budaya & Pariwisata dalam rangka Hari Jadi Purbalingga ke-179 di Graha Adiguna (operational room) komplek Pendapa Kabupaten Purbalingga, 30 Desember 2009, jam 19.30 WIB.

Karena:
1. Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Purbalingga sebagai panitia even Gelar Budaya dan Pariwisata sebelum ada persetujuan dari Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga telah menentukan sendiri judul film, tanggal, dan tempat pemutaran.

2.Telah menyebarkan publikasi tanpa diketahui CLC.

3. Menentukan Graha Adiguna sebagai tempat pemutaran. Padahal sejak tiga tahun silam, CLC adalah komunitas yang dilarang dalam menggunakan gedung itu berdasarkan surat resmi yang dikeluarkan Pemkab Purbalingga. Artinya, Pemkab harus mencabut surat itu dan menerbitkan surat baru yang berisi diperbolehkannya CLC memanfaatkan gedung milik rakyat tersebut.

Minggu, 27 Desember 2009

Mengkritisi Kota Perwira


Selama ini kemajuan sebuah kota selalu diidentikan dengan keberhasilan pembangunan secara fisik dan peningkatan pendapatan daerah yang diterima. Namun, di sisi lain pembangunan seperti itu mempunyai dampak dan konsekuensi yang harus diterima warga kota tersebut.

Kondisi itu, coba dipotret Cinema Lovers Community (CLC) dalam meramaikan Hari Jadi Kabupaten Purbalingga yang menginjak usia 179 tahun. Dengan mengumpulkan pegiat kreatif muda, baik dari luar maupun dalam kabupaten, mereka bersepakat menampilkan sisi lain kota perwira dengan cara yang kritis lewat program “Kado buat Kota Tercinta”. Dalam bentuk karya visual dan audiovisual, 9 pengkarya menunjukkan hasil kerja mereka sejak dua bulan ini.

Dalam karya fotografi Sasno, S.Pd, misalnya, digambarkan satu potret permasalahan pendidikan di Purbalingga yang masih terlihat di pelosok kabupaten. “Dalam karya tersebut, saya ingin menampilkan potret buram sekolah yang selama ini sepertinya tidak diperhatikan Pemkab. Semoga ada suatu perubahan yang berarti di sana”.

Disamping karya fotografi, diputar pula beberapa buah film karya pegiat film dari siswa SMP sampai masyarakat umum. Dalam pemutaran tersebut, film “Trima Hidup Apa Adanya” mencoba mengangkat keseharian buruh pabrik wig di Purbalingga. Dalam kisah yang digarap dalam genre dokumenter tersebut, film besutan Bowo Leksono itu mengangkat kisah Trima, yang harus rela digaji di bawah upah minimum kabupaten (UMK). Namuin, dia hidup bahagia.

“Trima menjadi salah satu contoh dari sekitar 50.000 buruh di Purbalingga yang ada saat ini,” ujarnya, saat presentasi film berlangsung. Program officer acara ini, Nanki Nirmanto mengatakan, berbagai tanggapan memang datang dari forum yang dibuka Kamis malam (24/12). Kebanyakan dari penikmat karya yang hadir, menanyakan kenapa sepertinya berlainan dari sisi kemajuan yang selama ini selalu digembar-gemborkan di luar.

“Sebenarnya, kondisi yang seperti ini banyak ditemui di Purbalingga. Namun, sepertinya ketidakberimbangan antara pembangunan yang pesat dan ketimpangannya tidak terlihat,” jelas pemuda asli Purbalingga itu. *Chandra Iswinarno, 26 Desember 2009, Suara Merdeka

Senin, 21 Desember 2009

CLC Gelar Pemutaran Film dan Pameran Foto


Menyemarakkan Hari Jadi Purbalingga ke-179

Dalam rangka turut menyemarakkan Hari Jadi Purbalingga ke-179, Cinema Lovers Community menggelar pemutaran film dan pameran foto. Kegiatan yang merupakan program bersama ini menjadi ruang kreatif bagi anak muda Purbalingga yang selama ini belum luas ruang geraknya.

Pemutaran film dan pembukaan pameran foto bertajuk “Kado buat Kota Tercinta” rencananya digelar pada Kamis, 24 Desember 2009 pukul 19.00 wib di Rumah Makan Asa Kita, Jl. AW Soemarmo No 35A Purbalingga dan terbuka untuk umum. Seusai pembukaan dan pemutaran akan dilanjutkan dengan diskusi. Sementara untuk pameran foto akan berlangsung dari 24 Desember 2009 hingga 2 Januari 2010.

Program Officer Kado buat Kota Tercinta Nanki Nirmanto mengatakan program bersama yang sudah dipersiapkan sejak awal November 2009 lalu telah terkumpul sebanyak 6 karya film dokumenter pendek dan 10 foto feature. “Para peserta mulai dari siswa SMP, SMA, mahasiswa dan umum. Untuk peserta umum, mulai dari pembuat film, guru, dan wartawan,” ungkapnya.

Nanki melanjutkan, karya tidak hanya berasal dari anak muda Purbalingga, tapi juga Purwokerto, khususnya untuk karya foto. “Melibatkan para penghobi foto dari kota lain bertujuan sebagai pemantik kegairahan dunia fotografi di Purbalingga,” ujarnya.

Kritik Sosial
Seluruh karya film dan foto, sesuai dengan program yang sudah disepakati, mengandung kritik sosial, lingkungan, dan pembangunan di Purbalingga. Karya seni tidak sekedar mengandung nilai estetika tapi harus mampu menjadi daya kritik.

Keenam karya film dokumenter pendek berjudul “Daging yang tak Laku” sutradara Shinta tentang keresahan para pedagang daging yang tidak laku sejak pasar pindah, “Curug oh Curug” sutradara Elma Sulistiya Ningrum tentang potensi pariwisata alam Purbalingga yang tidak terurus, “Aku Ingin Sekolah” sutradara Aris Prasetyo tentang kondisi miris pendidikan di Purbalingga, “Uwis Sesek” sutradara Anargya Uswan tentang kondisi carut-marut lalulintas di Kota Purbalingga, “Segamas” sutradara Nanki Nirmanto tentang keadaan pasar baru Segamas, “Trima Hidup Apa Adanya” karya Bowo Leksono berkisah tentang kehidupan seorang buruh salah satu pabrik di Purbalingga.

Sementara karya foto feature masing-masing berjudul “Anak Buruh”, “Menyongsong Hari Esok” karya Isro Adi Hasro, “Sang Pelestari”, “Dua Generasi”, “Prawan Pabrik”, “Ngeduk Klawing” karya Agung Pambudhy, “Hati-Hati Belum Lunas”, “Potret Buram Gedung Sekolah” karya Sasno, “Gundul”, “Krisis Air Bersih” karya Bowo Leksono.

Kado buat Kota Tercinta, tambah Nanki, adalah ajang bagi anak muda untuk berkarya dan mengkritisi lingkungan sekitarnya. “Anak muda tidak boleh hanya melihat secara kasat mata tapi harus peka terhadap kondisi sekitar”. *bolex

Senin, 14 Desember 2009

Pemkab Purbalingga Kembali Berulah


Di penghujung tahun, Pemerintah Kabupaten Purbalingga melalui dinas baru yaitu Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga kembali berulah. Pemkab seperti tak habis-habisnya menguji kesabaran para pecinta film yang tergabung dalam wadah Cinema Lovers Community (CLC).

Kali ini, ulah dinas adalah terkait penyelenggaraan Gelar Budaya, Pariwisata, dan Expo 2009 dalam rangka Hari Jadi Purbalingga yang ke-179. Sudah sejak even ini dihembuskan beberapa bulan silam, tanpa ada permintaan secara formal, dinas mengklaim akan memutar film-film pendek dari CLC.

Tidak hanya itu, waktu, tempat dan materi film apa yang hendak diputar pun telah ditentukan sendiri oleh pihak dinas dan publikasi pun telah tersebar kemana-mana. Hanya beberapa kali saja dinas meminta secara lisan soal keterlibatan CLC dalam even gelar budaya tersebut. Dan kami selalu menjawab dengan meminta surat resmi soal keterlibatan itu. Namun pihak dinas tak pernah menggubrisnya.

Even Gelar Budaya, Pariwisata, dan Expo 2009 yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Purbalingga menetapkan pemutaran film-film pendek dari CLC pada 30 Desember 2009, di Operational Room (Oproom) atau Graha Adiguna komplek Pendapa Kabupaten, dengan materi film yang sudah dinas siapkan sendiri.

Kami menilai pertama, Pemkab menganggap CLC hanya komunitas main-main yang tidak mempunyai kekuatan legal formal sehingga untuk berurusan dengan CLC tak perlu repot dengan formalitas segala. Ya, kami mengakui, CLC memang bukan lembaga formal yang bahkan tidak terdaftar di Kesbanglinmas sekalipun.

Namun selama ini, dalam kerja-kerja kreatif kami, berusaha untuk tidak melupakan formalitas. Bagaimana kami akan turut berpartisipasi dalam even gelar budaya bila tidak ada konsep secara tertulis yang masuk kepada kami?

Kedua, Pemkab lupa bahwa menempatkan CLC untuk memutar film di Operational Room adalah kesalahan fatal. Ruang di komplek Pendapa Kabupaten itu menyimpan traumatik bagi CLC sejak tiga tahun silam. Sampai detik ini belum ada surat pencabutan pelarangan CLC menggunakan gedung milik rakyat itu.

Artinya, bila dinas meminta CLC memutar film-film pendeknya di tempat itu, pihak Pemkab harus mencabut surat larangan CLC soal penggunaan Operational Room yang dikeluarkan pada tahun 2006 silam dengan menerbitkan surat baru. Bila tidak, CLC masih berstatus sebagai komunitas terlarang dalam menggunakan gedung milik rakyat itu.

Ketiga, even Gelar Budaya, Pariwisata, dan Expo 2009 adalah milik Pemkab karena even organizer-nya adalah pihak dinas, artinya bila dinas ingin melibatkan elemen masyarakat, selayaknya harus proaktif. Ini jadi semacam siapa membutuhkan siapa.

Dari ulah Pemkab Purbalingga ini, mengindikasikan bahwa tidak ada niat baik dari pemkab untuk merangkul anak muda Purbalingga yang selama ini mengharumkan nama Purbalingga melalui karya-karya film pendek. Pemkab melalui dinas hanya memanfaatkan apa yang telah diperbuat anak muda yang kreatif.

Kejadian Terkini
Selasa, 15 Desember 2009, pukul 12.00 WIB adalah waktu terakhir pengumpulan produk unggulan sekolah ke Sekretariat Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA Kabupaten Purbalingga. Salah satu SMA di Purbalingga yaitu SMA Negeri 1 Bobotsari adalah sekolah yang siswanya aktif dalam memproduksi film-film pendek melalui komunitas bernama Bozz Community.

Perlu diingat bahwa tidak ada satu SMA pun di Purbalingga yang memiliki komunitas film secara formal, semacam ekstrakulikuler, yang bernaung di bawah nama sekolah. Pihak SMA Negeri 1 Bobotsari meminta Bozz Community untuk menyerahkan karya-karya film pendek untuk diputar pada even Expo, 20-26 Desember 2009, di Stadion Guntur Daryono Purbalingga tanpa surat resmi.

Rupanya ini trik baru dari Pemkab melalui Dinas Pendidikan menginstruksikan kepada MKKS yang kemudian turun ke SMA-SMA untuk menyerahkan produk unggulan dari sekolah-sekolah tersebut, termasuk karya-karya film pendek. *bolex

Minggu, 13 Desember 2009

CLC Purbalingga Berbagi dengan Komunitas Film Banjarnegara


BANJARNEGARA-Guna menghilangkan patokan-patokan ideal dalam penciptaan film, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga berbagi pengalaman dengan komunitas film indie yang ada di Banjarnegara.

Pembuatan film indie perlu membebaskan ide. Keluar dari batasan-batasan perfilman yang umum. Demikian pernyataan Bowo Leksono dari CLC Purbalingga dalam diskusi film pendek di Sanggar Seni Pintu Kosong Sokanandi, Banjarnegara, Minggu (29/11).

Menurut Bowo, karakteristik film pendek berbeda dengan film pada umumnya. Film pendek tidak menonjolkan makna tertentu. “Film pendek justru lebih dinamis pada orisinalitas ide, teknik produksi dan tampilan visual. Kunci penciptaan film pendek bebaskan ide,” katanya.

Film pendek, urainya, menampilkan persepsi subyektif sang kreator terhadap dunia. Ada yang paradoksial, absurd, politis, bahkan mengandung unsur mistis. Namun demikian, komunitas film pendek juga harus bisa bersikap kritis dengan mengangkat fenomena yang ada, syukur jika bisa menjadi bagian yang mengkritisi pemerintah.

Selain itu, dalam diskusi tersebut juga muncul berbagai gagasan terkait pentingnya pembentukan forum yang mewadahi beberapa komunitas film yang ada di Banjarnegara. (Oel-Radar Banyumas, Senin Pahing, 30 November 2009)

Sabtu, 05 Desember 2009

Film Pendek Purbalingga di Malam Puncak GIMM


PURBALINGGA-Malam puncak Ganesha Film festival (Ganffest) Indie Movie Movement (GIMM), yang merupakan salah satu rangkaian pre-event Ganffest, akan memutar film karya sineas Purbalingga Minggu Malam (6/12). Kegiatan tersebut rencananya akan dilaksanakan di Common Room, Bandung.

Empat film dari Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga yang akan diputar pada acara tersebut antara lain, Adu Jago, Sekitar Midnight, Nyarutang, dan Sandal Jepit. Pada perhelatan yang dimulai sejak 30 Oktober 2009, karya tersebut akan diputar bersama dua film dokumenter karya Daniel Rudi dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Direktur CLC Purbalingga, Bowo Leksono mengungkapkan Bandung sebenarnya merupakan salah satu kota yang sangat penting untuk perkembangan seni dan budaya, termasuk film. “Bahkan film Indonesia yang pertama kali, lahir di Bandung,” ujarnya, kemarin.

Karena itulah, menurutnya, menjadi penting untuk memperkenalkan film Purbalingga yang bercorak Banyumasan di tanah Sunda secara terus-menerus. “Minimal agar mereka bisa mengetahui corak film banyumasan yang mempunyai kekhasannya sendiri dan menambah referensi mereka juga,” katanya.

Ia berharap dengan diputarnya film-film karya anak Purbalingga di banyak kota dapat memicu sineas Purbalingga untuk terus mengembangkan karyanya. “Hal ini membuktikan bahwa film pendek dari Purbalingga telah diapresiasi secara luas di berbagai daerah. Semoga dengan adanya ini, bisa menjadi semangat baru bagi pembuat film di Purbalingga untuk bisa terus berkarya,” tuturnya.

Menurut koordinator Roadshow Ganffest Elora Rini Hapsari, GIMM merupakan lanjutan dari program roadshow Ganffest yang dilakukan di dua kota. Perhelatan Ganffest rencananya akan diselenggarakan pada Febuari 2010 di Bandung. “Setelah melakukan pemutaran keliling di Purbalingga dan Yogyakarta, kami melanjutkannya dengan GIMM yang merupakan roadshow di dalam Kota Bandung,” ujarnya saat dihubungi lewat telepon.

Roadshow yang dilakukan di dalam kota ini, menurutnya, dilakukan berpindah-pindah di beberapa tempat. Kegiatan terebut, dilakukan sebagai upaya sosialisasi Ganffest yang diselenggarakan dua tahun sekali oleh Liga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (LFM ITB).

Saat disinggung dipilihnya empat film dari Purbalingga tersebut, ia mengungkapkan dalam kegiatan apresiasi di GIMM juga menjadi ajang bagi komunitas di Bandung untuk mengenal film dari luar Bandung. “Sebenarnya dari tiga kali pemutaran sebelumnya, kebanyakan memutar film karya anak Bandung. Kemudian sejak pemutaran keempat sampai terakhir, sengaja memutar karya dari sekolah film, dalam hal ini IKJ, dan teman dari komunitas yang kami anggap paling jauh, yakni CLC Purbalingga,” katanya.

Selain untuk pemutaran keliling di dalam kota, menurutnya, ajang ini juga menjadi tempat silaturahmi antar komunitas film yang ada di Bandung. Dalam acara tersebut, jelasnya, semua komunitas yang ada di Bandung diundang untuk mengapresiasi film dan juga untuk mengetahui perkembangan komunitas film. (Chandra Iswinarno-Suara Merdeka-Sabtu, 5 Desember 2009)

Jumat, 04 Desember 2009

"Baju Buat Kakek" Tetap Terbaik


Festival Film Anak 2009
PURBALINGGA-Film “Baju Buat Kakek” (BBK) besutan siswa SMP N 4 Satu atap Tunjungmuli, Karangmoncol, Purbalingga membuktikan kembali dominasinya setelah dinobatkan menjadi film terbaik dalam Festival Film Anak (FFA) 2009 di Medan, Senin (30/12). Sebelumnya, film tersebut juga menjadi jawara di Festival Film Remaja (FFR) 2009 di Solo.

Film yang disutradarai siswi kelas VIII, Misyatun, menjadi yang terbaik setelah menyingkirkan 28 nominator film fiksi. Film tersebut dipilih menjadi yang terbaik oleh para juri yang terdiri dari praktisi film dan sosial seperti Didi Petet, Aris Merdeka Sirait, Onny Kresnawan, Marhamah, dan Fatimah Lubis. Tidak hanya itu, gelar pemeran wanita terbaik dan editor terbaik juga disandang karya perdana siswa SMP yang masih dalam satu manajemen dengan SD Negeri 2 Tunjungmuli.

Misyatun mengakui tidak menyangka film perdananya ini menjadi juara di ajang yang diselenggarakan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan berkolaborasi dengan komunitas film yang ada di Sumatera Utara. “Aku nggak nyangka kami yang sekolah di pucuk gunung kaya gini, bisa menang di Medan,” ujarnya saat ditemui di sekolah, kemarin.

Dia mengatakan dalam pembuatan film ini, menghabiskan waktu kurang lebih tiga bulan, namun mereka melakukan kegiatan pengambilan gambar hanya dalam waktu lima hari.
Menurutnya, semua proses pembuatan film dipersiapkan dengan matang sehingga hasilnya bisa memuaskan. “Ternyata buat film itu susah-susah gampang ya,” celetuknya.

Riset
Film berdurasi sekitar 13 menit ini, ujarnya, terinspirasi kehidupan seorang teman yang ada di sekolahnya. Kemudian tim produksi BBK, lanjutnya, melakukan riset dan menggarap semua keperluan secara mandiri. “Kami berupaya untuk mencari segala macamnya sendiri, namun kendala teknis tetap ada,” jelasnya.

Guru Seni Rupa sekaligus pembimbing ekstrakurikuler film di sekolah tersebut, Aris Prasetyo, mengatakan dalam film ini siswanya lebih banyak aktif untuk menyusun segala keperluan dari sebelum hingga produksi usai. “Di sini peran saya hanya sebatas membimbing dan mengarahkan jika mereka menemukan jalan buntu,” katanya.

Walau begitu, hambatan teknis dan keterbatasan alat memang kerap menjadi kendala. Ketiadaan alat produksi memaksa mereka harus bersabar untuk melakukan pengambilan gambar. Namun, para siswa yang terlibat tetap senang menggarap film. Bahkan, mereka berharap bisa produksi film kembali. “Kami berharap dapat memproduksi film selanjutnya,” harap Darti yang meraih pemeran wanita terbaik dalam ajang FFA 2009. (Chandra Iswinarno-Suara Merdeka-Rabu, 2 Desember 2009).