Sabtu, 28 Juni 2008

Tak Kenal dan Tak Sayang

“Nyoblos ora nyoblos ya pada bae. Bocah sekolah sing jarene gratis tetep bae mbayar. Bayarane malah larang”. (Mencoblos tidak mencoblos sama saja. Anak sekolah katanya gratis tetap saja membayar. Bayarannya malah mahal).

Demikian nukilan dialog sebuah film dokumenter pendek paling gres karya Bowo Leksono bertajuk "Tak Kenal dan Tak Sayang". Apalagi kalau bukan urusan Pemilu yang melatarbelakangi film berdurasi delapan menit ini.

Ya, film yang diproduksi sehari ini berlatar Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah yang memfokuskan pada fenomena Golput (Golongan Putih). Seperti yang dilangsir Suara Merdeka, 23 Juni 2008, “Berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei dan hasil pantauan di lapangan, angka golput mencapai lebih dari 40 %”. Dan wilayah Banyumas adalah penyandang angka Golput tertinggi.

Angka yang sangat fantastis tentunya untuk sebuah perjalanan kehidupan berdemokrasi. Salah siapa bila mereka tidak memilih. Ada yang salah mungkin, atau memang sudah seharusnya demikian. Sebuah tahapan yang musti dilewati untuk menuju kehidupan demokrasi yang lebih baik di Indonesia.

Bermacam alasan mengapa masyarakat mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) atau tak datang sama sekali, tergambar pada film ini. Karena siapapun yang jadi pemimpin, akan sama saja. Pemerintahan ini tidak berubah. Demikian kesimpulan film yang diproduksi Multivita Min ini. Bolex

Kamis, 19 Juni 2008

BSF! #9_Mengusung Film-Film Pelajar SMA di Purbalingga


Hampir mendekati angka 500, para pelajar SMA se-Kabupaten Purbalingga tumpah di GOR Mahesa Jenar saat sesi Kompetisi Lokal Purbalingga Film Festival (PFF) 2008 satu bulan silam. Mereka, dengan penuh semangat, turut mendukung berlaganya karya film pendek dari sekolah tercinta untuk menyabet predikat terfavorit.

“Satu, dua tahun silam, CLC menggelar workshop pembuatan film pendek di beberapa SMA. Dan beginilah hasilnya. Mereka telah mampu secara mandiri membuat film sendiri,” tutur Heru C. Wibowo, salah satu pegiat Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga.

Pada program “kompetisi lokal” ini, tidak melalui penilaian dewan juri, namun berdasarkan pilihan penonton dengan hasil film terfavorit. “Diharapkan akan memancing pelajar-pelajar lain untuk menyukai atau bahkan mencoba membuat film,” kata Heru.

Program ini termasuk program unggulan pada festival kali ini. Ke depan, kompetisi lokal rencananya diperluas hingga se-eks karesidenan Banyumas. Sementara untuk kompetisi umum, masih diperlukan pengkajian mendalam tentunya

Untuk memberi kesempatan lebih luas pada anak muda Purbalingga untuk mengapresiasi film-film pendek SMA, kembali hendak diputar kelima film pendek fiksi dari ini di ajang Bamboe Shocking Film (BSF) #9 yang rencananya digelar Sabtu, 21 Juni 2008, di Café Bamboe, timur Alun-alun Purbalingga. Bolex

Sabtu, 07 Juni 2008

Lengger Lanang dalam Dokumenter







Kali pertama di wilayah eks-Karesidenan Banyumas, sebuah produksi film dokumenter digarap secara keroyokan. Para sineas dari daerah ngapak-ngapak itu telah menyelesaikan satu produksi film dokumenter bersama tentang “Lengger Lanang”.

Biasanya, kru film dokumenter tidak lebih banyak dari penggarapan genre film fiksi. Sekitar 15 filmmaker terlibat dalam penggarapan Lengger Lanang. Film yang sedang memasuki paskaproduksi ini pun digarap duet sutradara Sigit Harsanto dan Bowo Leksono.

“Kami juga melibatkan teman-teman band, penata artistik dan lampu di teater, serta fotografer. Ini sebuah refleksi kebersamaan pelaku seni yang digawangi anak-anak muda Banyumas,” ujar Sigit.

Tentang Lengger Lanang
Adalah Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, dimana hidup seorang lengger lanang yang kini tinggal meniti hari-hari tuanya. Mbok Dariah, demikian nama lengger lanang itu. Tentu puluhan tahun silam, Dariah muda digandrungi banyak laki-laki. Tak terkecuali kaum perempuan yang memang mengakui kecantikannya.

Kata lengger itu sendiri merupakan istilah dari kalimat ‘diarani leng jebule jengger’ (dikira perempuan ternyata laki-laki). Sejatinya, penari lengger yang asli Banyumas itu memang awalnya seorang laki-laki. Saat itu, peran sebagai perempuan untuk menghindari hal-hal buruk hubungan lawan jenis.

Kini, Lengger Dariah yang mempunyai nama kecil Sadam, tak menyisakan kejayaan masa silam. Keriuhan panggung pentas hanya menjadi cerita kenangan. Dari dirinya dan orang-orang terdekat yang hidup semasanya. bolex

Senin, 02 Juni 2008

Lengger Santi Joget di Penutupan Festival






Rasa penasaran yang terpendam cukup lama pada sosok Lengger Santi bagi para sineas di berbagai kota, akhirnya terobati. Pada penutupan festival, perempuan yang sempat difilmkan itu muncul di malam penutupan Purbalingga Film Festival (PFF), Minggu (18/5).

Bagi sebagian masyarakat Purbalingga, nama Santi sudah cukup dikenal sebagai seorang penari lengger. Namun bagi para sineas dari kota-kota lain, mengenal perempuan penari itu dari sebuah film dokumenter bertajuk “Lengger Santi”.

Malam itu, Santi mengajak rekan menarinya untuk turut memeriahkan malam penutupan. Tak sekedar lenggak-lenggok di panggung. Kedua lengger itu pun menelusup ke bangku penonton, mengalungkan sampur dan menarik ke panggung untuk bersemuka menikmati alunan rancak musik calung khas Banyumasan.

Penonton yang diajak menari, yang sebagian dari luar kota awalnya terlihat kaku saat mengikuti musik calung. Beberapa saat kemudian semua anggota tubuh mereka mampu mengikuti keinginan suasana. Riuh penonton pun turut mengiringi.

Puncak acara Purbalingga Film Festival adalah penganugerahan pemenang Favorit Kompetisi Lokal yang diikuti karya-karya film dari pelajar SMA se-Kabupaten Purbalingga. Malam itu, film “Glue (Ada Apa Dengan Bani?)” dari SMA Negeri 1 Purbalingga menjadi pemenang Favorit I pilihan penonton, diikuti film “MB (Mimpi Basah)” dari SMA Negeri 2 Purbalingga sebagai pemenang Favorit II. Dan akhirnya sampai jumpa di festival tahun depan! bolex