Selasa, 29 Januari 2008

Film Purbalingga Beradu di Bandung

Kembali, film-film dari Kota Perwira menghiasi festival film tingkat nasional. Kali ini tampil di ajang Ganesha Film Festival (Ganffest) 2008 di Kota Bandung. Film-film Purbalingga yang berhasil menembus official selection adalah Pasukan Kucing Garong, Peronika keduanya disutradarai Bowo Leksono dan Metu Getih sutradara Heru C. Wibowo beradu bersama 17 judul film lainnya dari seluruh Indonesia. Satu film bertajuk Celilian karya Heru C. Wibowo masuk special screening.

Festival yang merupakan kompetisi film pendek ini diadakan oleh Liga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (LFM-ITB) sebagai bentuk kepedulian terhadap komunitas-komunitas film independen. Malam penganugerahan hendak digelar pada Sabtu, 2 Februari 2008, di Campus Centre ITB.

Sutradara film Metu Getih Heru C. Wibowo mengungkapkan seperti halnya festival-festival film pendek lain di Indonesia, Ganffest 2008 juga sebagai media apresiasi dan sekaligus media pembuktian bagi film-film produksi Banyumasan di tanah Sunda.

”Pembuktian yang dimaksud bukan sedang mencari menang-kalah, tapi membuktikan apakah film-film dari Purbalingga yang kental berlatar Banyumasan dapat diterima di Jawa bagian barat,” ujar Heru.

Menurut Heru, pembuat film yang juga pegiat Cinema Lovers Community (CLC), kali ini, tak banyak karya-karya film anak muda Purbalingga yang bernaung di bawah payung CLC yang dikirim ke festival di Bandung. ”Apalagi hanya berkesempatan yang bergenre fiksi. Namun kami tetap yakin film-film kami bisa diterima dan mampu mewakili budaya Banyumas,” tuturnya.

Festival yang menampung film-film berkategori fiksi, animasi, dan video art ini telah membuka pendaftaran sejak 23 November 2007 dan ditutup pada 25 Januari 2008. Selama dua hari, yaitu 31 Januari dan 1 Februari 2008 digelar pemutaran film dan diskusi.

Ganffest 2008 adalah festival film independen pertama di Bandung yang memberikan kesempatan bagi para pembuat dan kreator film independen untuk berapresiasi. Dengan membawa semangat indie epidemic, festival yang terbuka untuk umum ini memberikan alasan kuat kenapa film independen akan selalu eksis.

Dengan adanya festival film indie di Bandung ini, menambah deretan ajang festival di Indonesia. Diharapkan, Ganffest menjadi suatu perayaan berkumpulnya para indie film maker dan indie film lover untuk saling unjuk gigi, saling bersosialisasi, dikenali dan berapresiasi. BOLEX

Kamis, 24 Januari 2008

Bamboe Shocking Film #5 - Mengusung Film-Film Pendek Kota Bercahaya


Ajang pemutaran film pendek bulanan di Kota Purbalingga, Bamboe Shocking Film (BSF), yang diselenggarakan Cinema Lovers Community (CLC) telah menginjak bulan kelima ditahun kedua.

Acara gratisan untuk menguji karya pembuat film lokal Purbalingga dan luar daerah ini hendak digelar Sabtu, 26 Januari 2008, pukul 19.30 WIB, di Cafe Bamboe, Jl. Jend. Sudirman No. 126 Purbalingga atau sebelah timur alun-alun Purbalingga.

Bamboe Shocking Film #5 mengusung 11 karya film pendek bergenre dokumenter, fiksi, dan filler pendidikan dari Kota Bercahaya. Kesebelas film itu bertajuk Waktu Habis, Anak Pejabat, Selalu Ada, Sisa Semalam, Gayatri, Estu, Dimana Tempatku, Kemenangan, Nilai 5, Makanya Belajar, dan Semangaaat!.

Film-film pendek yang sebagian hasil karya pelajar SMA Kota Cilacap ini merupakan kompilasi dari Komunitas Multimedia Sangkanparan Cilacap. Untuk itulah CLC merasa perlu membawa kompilsi film Cilacap ke ajang BSF.

Menurut Koordinator Komunitas Multimedia Sangkanparan Insan Indah Pribadi, komunitasnya terus menyebarkan pengaruh kepada anak muda Cilacap memanfaatkan waktunya untuk berkarya. ”Kami kerap mendatangi sekolah-sekolah di Cilacap, memutar film untuk memancing para pelajar mengapresiasi karya lokal atau teman-teman sendiri. Lebih menarik lagi ketika mereka berhasrat membuat film,” tuturnya.

Komunitas Sangkanparan yang merupakan anggota Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) ini tidak hanya menghasilkan karya-karya film pendek, tapi juga melakukan kerja-kerja fasilitasi pembuatan film pendek bagi anak muda Cilacap. Film-film Cilacap di bawah Sangkanparan ini juga kerap menghiasi berbagai ajang festival film di negeri ini.

Koordinator BSF Trisnanto Budidoyo mengatakan selama ini BSF tidak semata menjadi ajang uji kemampuan karya-karya film pendek Indonesia, namun juga menguji apresiasi masyarakat Purbalingga terutama anak mudanya. ”Anak muda Purbalingga sudah terlihat membutuhkan adanya media tontonan alternatif seperti BSF. Sebagian dari mereka selalu menanyakan dan menanti hadirnya pemutaran film,” kata Trisnanto. Bolex

Minggu, 06 Januari 2008

Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI

Dalam rangka memperingati Hari Monitoring Air Sedunia, FORKAMI berinisiatif menyelenggarakan kompetisi film dokumenter. Tema kompetisi yang akan diselenggarakan pada Pertengahan Desember ini adalah "Manusia dan Air". Kompetisi film dokumenter ini merupakan bagian dari kampanye Selamatkan Airku 2007 atau Save Our Water Campaign 2007.
Kompetisi ini merupakan Kompetisi Film Dokumenter FORKAMI yang pertama dan dimaksudkan sebagai wadah bagi kalangan masyarakat yang memiliki hobi dan ketrampilan di bidang film untuk dapat menyumbangkan karyanya agar dapat menjadi bagian dari kampanye peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya air sebagai sumber kehidupan. Selain itu, karya yang disumbangkan dan terpilih menjadi pemenang akan mendapatkan hadiah berupa uang sebesar 20 juta untuk pemenang pertama dan 15 juta serta 10 juta untuk pemenang kedua dan ketiga.
Sponsor ProgramSponsor acara ini merupakan organisasi, lembaga, agensi dan perusahaan swasta yang peduli pada permasalahan lingkungan pada umumnya serta air dan sanitasi pada khususnya. Di bawah ini adalah profil dari para sponsor program kampanye Selamatkan Airku 2007;
1. Water (Water and Sanitation Network) atau JAS (Jaringan Air dan Sanitasi).
2. ESP-USAID (Environmental Service Program - United States Agency for International Development).
3. TPJ (Thames PAM Jaya).
4. PALYJA (PAM Lyonnaise Jaya).

http://forkami.blogspot.com/

Selasa, 01 Januari 2008

Dua Film Karya SMK N 1 Purwokerto Dibuat di Purbalingga



Mendadak, suasana pasar Pengalusan, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga berbeda dari hari biasanya. Lebih ramai. Orang-orang desa berjajar di depan deretan kios dan pinggir jalan.
Pagi itu, Minggu (30/12), empat pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Purwokerto di bawah bimbingan Cinema Lovers Community (CLC) sibuk menggarap dua film sekaligus. Film fiksi bertajuk “Suparman” dan sebuah iklan layanan masyarakat berjudul “Kasih Ibu” yang semua pemainnya berasal dari Desa Pengalusan.

Pelajar yang semuanya remaja puteri dan duduk di kelas XII ini dalam rangka Praktek Kerja Industri (Prakerin) selama sebulan lebih sejak awal Desember 2007 lalu di Glovision Production, salah satu rumah produksi yang tergabung dalam CLC.

Film “Suparman” yang disutradarai Afrinda Pratama ini berkisah tentang sebuah peristiwa kesalahpahaman dari kata “parman”. Parman sebagai nama orang dan “pareman” yang dalam bahasa Banyumasannya berarti pupuran atau bersolek.

Suatu pagi, istri Bagyo, Sarinah yang berprofesi sebagai buruh pabrik terlambat datang ke pabrik. Setelah turun dari mobil angkot, Sarinah berjalan tergesa sambil memperbaiki dandanan wajahnya. Tanpa sepengetahuan Sarinah, Dikun yang teman berjudi Bagyo, melihat ketergesaan Sarinah.

Dalam obrolan Dikun dan Bagyo sembari berjudi, Dikun mengutarakan apa yang dilihat pagi itu pada Bagyo. “Inyong mau esuk weruh bojone rika mlaku gugup maring pabrik karo pareman” (Saya tadi pagi lihat istri kamu, berjalan tergesa ke pabrik sambil bedakan), demikian satu kalimat aduan dari Dikun pada suami Sarinah.

Sialnya, suami Sarinah mendengar ucapan kata “pareman” sebagai nama orang “Parman”. Dari sinilah konflik film ini. Film ini lahir menyusul karya-karya film lain dari Purbalingga yang mengangkat khas budaya Banyumasan, terutama kemasan tema yang diangkat dan bahasa yang dipergunakan.

Sementara untuk karya iklan layanan berjudul “Kasih Ibu” yang disutradarai Nia Mardiana mengisahkan seorang anak yang tidak banyak bersyukur dengan apa yang diberikan ibunya. Namun ketika ia menyadari setelah memandang lama fotonya masa kecil, tersadar bahwa kasih ibu sepanjang masa.

Afrinda Pratama, sutradara sekaligus penulis skenario film “Suparman” merasa meskipun praktek kerja sangat singkat tapi sangat banyak mendapatkan pengalaman. “Ilmu dan pengalaman yang diberikan teman-teman CLC tidak pernah kami dapatkan di sekolah selama ini,” ungkapnya.

Pun yang diungkapkan Nia Mardiana. Nia merasa semakin mantap dengan jurusan multimedia yang diambilnya. “Kami akan terus mencoba membuat film dan membagikan pengalaman ini pada teman-teman,” katanya.

Manager Program CLC, Bowo Leksono, mengatakan CLC terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar membuat film dari praproduksi sampai pascaproduksi, bahkan hingga urusan distribusi, tidak tertutup hanya pada anak-anak muda Purbalingga. “Membagi ilmu dan pengalaman membuat film adalah kewajiban kami agar perfilman di Banyumas terus berkembang,” tuturnya. Bolex