Kamis, 31 Desember 2009

Aksi 10 Sutradara Muda Dihadang Polisi


Sekitar 10 sutradara muda dan beberapa crew film yang tergabung dalam Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga menggelar aksi tutup mulut dengan menenteng kamera. Aksi ini digelar pada Rabu malam, 30 Desember 2009, di depan Graha Adiguna (operational room) komplek pendapa Kabupaten Purbalingga.

Aksi untuk menolak pemutaran film di even Gelar Budaya dan Pariwisata Purbalingga 2009 dalam rangka Hari Jadi Purbalingga yang ke-179 ini dihadang belasan anggota kepolisian dari Polres Purbalingga. Aksi yang mulai bergerak dari halaman kantor Pos dan Giro Purbalingga ini merupakan aksi lanjutan dari seruan boikot terhadap pemutaran film-film pendek oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora).

Koordinator lapangan (korlap) aksi Heru C. Wibowo mengatakan aksi ini untuk menolak tindakan panitia even Gelar Budaya dalam hal ini Disbudparpora yang telah menentukan sendiri judul film, tanggal, dan tempat pemutaran film-film dari pembuat film yang tergabung dalam CLC. “Tanpa persetujuan CLC, dinas juga telah menyebarkan publikasi soal pemutaran film-film pendek tersebut,” tuturnya.

Hal yang paling penting, lanjut Heru, Pemkab Purbalingga dalam hal ini Disbudparpora tidak konsisten dengan pelarangan pemutaran film di Graha Adiguna. “Tiga tahun lalu, pernah turun surat dari Pemkab bahwa gedung itu tidak diperuntukkan untuk pemutaran film. Nyatanya, mereka sendiri memutar film di gedung rakyat itu. Mana keadilan bagi kami?,” ujarnya.

Aksi Boikot Setengah Berhasil
Pada akhirnya panitia Gelar Budaya dalam hal ini Disbudparpora tidak berani memutar keseluruhan karya CLC seperti yang terpampang diberbagai publikasi. Meskipun pemutaran tetap di gedung yang seharusnya bukan untuk pemutaran film tersebut.
Menurut pencermatan, para penonton yang datang adalah dari jajaran dinas yaitu para guru dan murid yang mendapat instruksi langsung dari kepala Disbudparpora untuk menyaksikan pemutaran di malam itu. Para pejabat teras pun tak tampak, hanya kepala Disbudparpora yang datang terlambat.

Sempat tertangkap kamera, Bupati Purbalingga Triyono Budi Sasongko keluar dari kediamannya namun hanya bertemu dengan Komandan Satpol PP. Bupati tampaknya tidak berani menemui para sutradara muda apalagi mengajak berdialog.

Menurut informasi dari kalangan pers, bupati sudah menginstruksikan pada jajarannya untuk melakukan pendekatan dan mengajak berdialog kepada para pembuat film yang tergabung dalam CLC. Namun tampaknya tidak ada keseriusan dalam menjalankan instruksi tersebut. Atau mungkin karena jajaran Pemkab Purbalingga yang berkepentingan dalam hal ini, tidak tahu cara merangkul anak muda.

Aksi pun berjalan lancar, terkendali, aman dan damai. Meskipun sempat membuat bingung penonton karna berharap film-film yang diputar merupakan karya dari para pembuat film yang tergabung dalam Cinema Lovers Communtiy seperti yang tersebar pada publikasi. laeli

Senin, 28 Desember 2009

BOIKOT !!! Pemutaran Film Pendek di Gelar Budaya dan Pariwisata


BOIKOT! Pemutaran film-film pendek di even Gelar Budaya & Pariwisata dalam rangka Hari Jadi Purbalingga ke-179 di Graha Adiguna (operational room) komplek Pendapa Kabupaten Purbalingga, 30 Desember 2009, jam 19.30 WIB.

Karena:
1. Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Purbalingga sebagai panitia even Gelar Budaya dan Pariwisata sebelum ada persetujuan dari Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga telah menentukan sendiri judul film, tanggal, dan tempat pemutaran.

2.Telah menyebarkan publikasi tanpa diketahui CLC.

3. Menentukan Graha Adiguna sebagai tempat pemutaran. Padahal sejak tiga tahun silam, CLC adalah komunitas yang dilarang dalam menggunakan gedung itu berdasarkan surat resmi yang dikeluarkan Pemkab Purbalingga. Artinya, Pemkab harus mencabut surat itu dan menerbitkan surat baru yang berisi diperbolehkannya CLC memanfaatkan gedung milik rakyat tersebut.

Minggu, 27 Desember 2009

Mengkritisi Kota Perwira


Selama ini kemajuan sebuah kota selalu diidentikan dengan keberhasilan pembangunan secara fisik dan peningkatan pendapatan daerah yang diterima. Namun, di sisi lain pembangunan seperti itu mempunyai dampak dan konsekuensi yang harus diterima warga kota tersebut.

Kondisi itu, coba dipotret Cinema Lovers Community (CLC) dalam meramaikan Hari Jadi Kabupaten Purbalingga yang menginjak usia 179 tahun. Dengan mengumpulkan pegiat kreatif muda, baik dari luar maupun dalam kabupaten, mereka bersepakat menampilkan sisi lain kota perwira dengan cara yang kritis lewat program “Kado buat Kota Tercinta”. Dalam bentuk karya visual dan audiovisual, 9 pengkarya menunjukkan hasil kerja mereka sejak dua bulan ini.

Dalam karya fotografi Sasno, S.Pd, misalnya, digambarkan satu potret permasalahan pendidikan di Purbalingga yang masih terlihat di pelosok kabupaten. “Dalam karya tersebut, saya ingin menampilkan potret buram sekolah yang selama ini sepertinya tidak diperhatikan Pemkab. Semoga ada suatu perubahan yang berarti di sana”.

Disamping karya fotografi, diputar pula beberapa buah film karya pegiat film dari siswa SMP sampai masyarakat umum. Dalam pemutaran tersebut, film “Trima Hidup Apa Adanya” mencoba mengangkat keseharian buruh pabrik wig di Purbalingga. Dalam kisah yang digarap dalam genre dokumenter tersebut, film besutan Bowo Leksono itu mengangkat kisah Trima, yang harus rela digaji di bawah upah minimum kabupaten (UMK). Namuin, dia hidup bahagia.

“Trima menjadi salah satu contoh dari sekitar 50.000 buruh di Purbalingga yang ada saat ini,” ujarnya, saat presentasi film berlangsung. Program officer acara ini, Nanki Nirmanto mengatakan, berbagai tanggapan memang datang dari forum yang dibuka Kamis malam (24/12). Kebanyakan dari penikmat karya yang hadir, menanyakan kenapa sepertinya berlainan dari sisi kemajuan yang selama ini selalu digembar-gemborkan di luar.

“Sebenarnya, kondisi yang seperti ini banyak ditemui di Purbalingga. Namun, sepertinya ketidakberimbangan antara pembangunan yang pesat dan ketimpangannya tidak terlihat,” jelas pemuda asli Purbalingga itu. *Chandra Iswinarno, 26 Desember 2009, Suara Merdeka

Senin, 21 Desember 2009

CLC Gelar Pemutaran Film dan Pameran Foto


Menyemarakkan Hari Jadi Purbalingga ke-179

Dalam rangka turut menyemarakkan Hari Jadi Purbalingga ke-179, Cinema Lovers Community menggelar pemutaran film dan pameran foto. Kegiatan yang merupakan program bersama ini menjadi ruang kreatif bagi anak muda Purbalingga yang selama ini belum luas ruang geraknya.

Pemutaran film dan pembukaan pameran foto bertajuk “Kado buat Kota Tercinta” rencananya digelar pada Kamis, 24 Desember 2009 pukul 19.00 wib di Rumah Makan Asa Kita, Jl. AW Soemarmo No 35A Purbalingga dan terbuka untuk umum. Seusai pembukaan dan pemutaran akan dilanjutkan dengan diskusi. Sementara untuk pameran foto akan berlangsung dari 24 Desember 2009 hingga 2 Januari 2010.

Program Officer Kado buat Kota Tercinta Nanki Nirmanto mengatakan program bersama yang sudah dipersiapkan sejak awal November 2009 lalu telah terkumpul sebanyak 6 karya film dokumenter pendek dan 10 foto feature. “Para peserta mulai dari siswa SMP, SMA, mahasiswa dan umum. Untuk peserta umum, mulai dari pembuat film, guru, dan wartawan,” ungkapnya.

Nanki melanjutkan, karya tidak hanya berasal dari anak muda Purbalingga, tapi juga Purwokerto, khususnya untuk karya foto. “Melibatkan para penghobi foto dari kota lain bertujuan sebagai pemantik kegairahan dunia fotografi di Purbalingga,” ujarnya.

Kritik Sosial
Seluruh karya film dan foto, sesuai dengan program yang sudah disepakati, mengandung kritik sosial, lingkungan, dan pembangunan di Purbalingga. Karya seni tidak sekedar mengandung nilai estetika tapi harus mampu menjadi daya kritik.

Keenam karya film dokumenter pendek berjudul “Daging yang tak Laku” sutradara Shinta tentang keresahan para pedagang daging yang tidak laku sejak pasar pindah, “Curug oh Curug” sutradara Elma Sulistiya Ningrum tentang potensi pariwisata alam Purbalingga yang tidak terurus, “Aku Ingin Sekolah” sutradara Aris Prasetyo tentang kondisi miris pendidikan di Purbalingga, “Uwis Sesek” sutradara Anargya Uswan tentang kondisi carut-marut lalulintas di Kota Purbalingga, “Segamas” sutradara Nanki Nirmanto tentang keadaan pasar baru Segamas, “Trima Hidup Apa Adanya” karya Bowo Leksono berkisah tentang kehidupan seorang buruh salah satu pabrik di Purbalingga.

Sementara karya foto feature masing-masing berjudul “Anak Buruh”, “Menyongsong Hari Esok” karya Isro Adi Hasro, “Sang Pelestari”, “Dua Generasi”, “Prawan Pabrik”, “Ngeduk Klawing” karya Agung Pambudhy, “Hati-Hati Belum Lunas”, “Potret Buram Gedung Sekolah” karya Sasno, “Gundul”, “Krisis Air Bersih” karya Bowo Leksono.

Kado buat Kota Tercinta, tambah Nanki, adalah ajang bagi anak muda untuk berkarya dan mengkritisi lingkungan sekitarnya. “Anak muda tidak boleh hanya melihat secara kasat mata tapi harus peka terhadap kondisi sekitar”. *bolex

Senin, 14 Desember 2009

Pemkab Purbalingga Kembali Berulah


Di penghujung tahun, Pemerintah Kabupaten Purbalingga melalui dinas baru yaitu Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga kembali berulah. Pemkab seperti tak habis-habisnya menguji kesabaran para pecinta film yang tergabung dalam wadah Cinema Lovers Community (CLC).

Kali ini, ulah dinas adalah terkait penyelenggaraan Gelar Budaya, Pariwisata, dan Expo 2009 dalam rangka Hari Jadi Purbalingga yang ke-179. Sudah sejak even ini dihembuskan beberapa bulan silam, tanpa ada permintaan secara formal, dinas mengklaim akan memutar film-film pendek dari CLC.

Tidak hanya itu, waktu, tempat dan materi film apa yang hendak diputar pun telah ditentukan sendiri oleh pihak dinas dan publikasi pun telah tersebar kemana-mana. Hanya beberapa kali saja dinas meminta secara lisan soal keterlibatan CLC dalam even gelar budaya tersebut. Dan kami selalu menjawab dengan meminta surat resmi soal keterlibatan itu. Namun pihak dinas tak pernah menggubrisnya.

Even Gelar Budaya, Pariwisata, dan Expo 2009 yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Purbalingga menetapkan pemutaran film-film pendek dari CLC pada 30 Desember 2009, di Operational Room (Oproom) atau Graha Adiguna komplek Pendapa Kabupaten, dengan materi film yang sudah dinas siapkan sendiri.

Kami menilai pertama, Pemkab menganggap CLC hanya komunitas main-main yang tidak mempunyai kekuatan legal formal sehingga untuk berurusan dengan CLC tak perlu repot dengan formalitas segala. Ya, kami mengakui, CLC memang bukan lembaga formal yang bahkan tidak terdaftar di Kesbanglinmas sekalipun.

Namun selama ini, dalam kerja-kerja kreatif kami, berusaha untuk tidak melupakan formalitas. Bagaimana kami akan turut berpartisipasi dalam even gelar budaya bila tidak ada konsep secara tertulis yang masuk kepada kami?

Kedua, Pemkab lupa bahwa menempatkan CLC untuk memutar film di Operational Room adalah kesalahan fatal. Ruang di komplek Pendapa Kabupaten itu menyimpan traumatik bagi CLC sejak tiga tahun silam. Sampai detik ini belum ada surat pencabutan pelarangan CLC menggunakan gedung milik rakyat itu.

Artinya, bila dinas meminta CLC memutar film-film pendeknya di tempat itu, pihak Pemkab harus mencabut surat larangan CLC soal penggunaan Operational Room yang dikeluarkan pada tahun 2006 silam dengan menerbitkan surat baru. Bila tidak, CLC masih berstatus sebagai komunitas terlarang dalam menggunakan gedung milik rakyat itu.

Ketiga, even Gelar Budaya, Pariwisata, dan Expo 2009 adalah milik Pemkab karena even organizer-nya adalah pihak dinas, artinya bila dinas ingin melibatkan elemen masyarakat, selayaknya harus proaktif. Ini jadi semacam siapa membutuhkan siapa.

Dari ulah Pemkab Purbalingga ini, mengindikasikan bahwa tidak ada niat baik dari pemkab untuk merangkul anak muda Purbalingga yang selama ini mengharumkan nama Purbalingga melalui karya-karya film pendek. Pemkab melalui dinas hanya memanfaatkan apa yang telah diperbuat anak muda yang kreatif.

Kejadian Terkini
Selasa, 15 Desember 2009, pukul 12.00 WIB adalah waktu terakhir pengumpulan produk unggulan sekolah ke Sekretariat Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA Kabupaten Purbalingga. Salah satu SMA di Purbalingga yaitu SMA Negeri 1 Bobotsari adalah sekolah yang siswanya aktif dalam memproduksi film-film pendek melalui komunitas bernama Bozz Community.

Perlu diingat bahwa tidak ada satu SMA pun di Purbalingga yang memiliki komunitas film secara formal, semacam ekstrakulikuler, yang bernaung di bawah nama sekolah. Pihak SMA Negeri 1 Bobotsari meminta Bozz Community untuk menyerahkan karya-karya film pendek untuk diputar pada even Expo, 20-26 Desember 2009, di Stadion Guntur Daryono Purbalingga tanpa surat resmi.

Rupanya ini trik baru dari Pemkab melalui Dinas Pendidikan menginstruksikan kepada MKKS yang kemudian turun ke SMA-SMA untuk menyerahkan produk unggulan dari sekolah-sekolah tersebut, termasuk karya-karya film pendek. *bolex

Minggu, 13 Desember 2009

CLC Purbalingga Berbagi dengan Komunitas Film Banjarnegara


BANJARNEGARA-Guna menghilangkan patokan-patokan ideal dalam penciptaan film, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga berbagi pengalaman dengan komunitas film indie yang ada di Banjarnegara.

Pembuatan film indie perlu membebaskan ide. Keluar dari batasan-batasan perfilman yang umum. Demikian pernyataan Bowo Leksono dari CLC Purbalingga dalam diskusi film pendek di Sanggar Seni Pintu Kosong Sokanandi, Banjarnegara, Minggu (29/11).

Menurut Bowo, karakteristik film pendek berbeda dengan film pada umumnya. Film pendek tidak menonjolkan makna tertentu. “Film pendek justru lebih dinamis pada orisinalitas ide, teknik produksi dan tampilan visual. Kunci penciptaan film pendek bebaskan ide,” katanya.

Film pendek, urainya, menampilkan persepsi subyektif sang kreator terhadap dunia. Ada yang paradoksial, absurd, politis, bahkan mengandung unsur mistis. Namun demikian, komunitas film pendek juga harus bisa bersikap kritis dengan mengangkat fenomena yang ada, syukur jika bisa menjadi bagian yang mengkritisi pemerintah.

Selain itu, dalam diskusi tersebut juga muncul berbagai gagasan terkait pentingnya pembentukan forum yang mewadahi beberapa komunitas film yang ada di Banjarnegara. (Oel-Radar Banyumas, Senin Pahing, 30 November 2009)

Sabtu, 05 Desember 2009

Film Pendek Purbalingga di Malam Puncak GIMM


PURBALINGGA-Malam puncak Ganesha Film festival (Ganffest) Indie Movie Movement (GIMM), yang merupakan salah satu rangkaian pre-event Ganffest, akan memutar film karya sineas Purbalingga Minggu Malam (6/12). Kegiatan tersebut rencananya akan dilaksanakan di Common Room, Bandung.

Empat film dari Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga yang akan diputar pada acara tersebut antara lain, Adu Jago, Sekitar Midnight, Nyarutang, dan Sandal Jepit. Pada perhelatan yang dimulai sejak 30 Oktober 2009, karya tersebut akan diputar bersama dua film dokumenter karya Daniel Rudi dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Direktur CLC Purbalingga, Bowo Leksono mengungkapkan Bandung sebenarnya merupakan salah satu kota yang sangat penting untuk perkembangan seni dan budaya, termasuk film. “Bahkan film Indonesia yang pertama kali, lahir di Bandung,” ujarnya, kemarin.

Karena itulah, menurutnya, menjadi penting untuk memperkenalkan film Purbalingga yang bercorak Banyumasan di tanah Sunda secara terus-menerus. “Minimal agar mereka bisa mengetahui corak film banyumasan yang mempunyai kekhasannya sendiri dan menambah referensi mereka juga,” katanya.

Ia berharap dengan diputarnya film-film karya anak Purbalingga di banyak kota dapat memicu sineas Purbalingga untuk terus mengembangkan karyanya. “Hal ini membuktikan bahwa film pendek dari Purbalingga telah diapresiasi secara luas di berbagai daerah. Semoga dengan adanya ini, bisa menjadi semangat baru bagi pembuat film di Purbalingga untuk bisa terus berkarya,” tuturnya.

Menurut koordinator Roadshow Ganffest Elora Rini Hapsari, GIMM merupakan lanjutan dari program roadshow Ganffest yang dilakukan di dua kota. Perhelatan Ganffest rencananya akan diselenggarakan pada Febuari 2010 di Bandung. “Setelah melakukan pemutaran keliling di Purbalingga dan Yogyakarta, kami melanjutkannya dengan GIMM yang merupakan roadshow di dalam Kota Bandung,” ujarnya saat dihubungi lewat telepon.

Roadshow yang dilakukan di dalam kota ini, menurutnya, dilakukan berpindah-pindah di beberapa tempat. Kegiatan terebut, dilakukan sebagai upaya sosialisasi Ganffest yang diselenggarakan dua tahun sekali oleh Liga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (LFM ITB).

Saat disinggung dipilihnya empat film dari Purbalingga tersebut, ia mengungkapkan dalam kegiatan apresiasi di GIMM juga menjadi ajang bagi komunitas di Bandung untuk mengenal film dari luar Bandung. “Sebenarnya dari tiga kali pemutaran sebelumnya, kebanyakan memutar film karya anak Bandung. Kemudian sejak pemutaran keempat sampai terakhir, sengaja memutar karya dari sekolah film, dalam hal ini IKJ, dan teman dari komunitas yang kami anggap paling jauh, yakni CLC Purbalingga,” katanya.

Selain untuk pemutaran keliling di dalam kota, menurutnya, ajang ini juga menjadi tempat silaturahmi antar komunitas film yang ada di Bandung. Dalam acara tersebut, jelasnya, semua komunitas yang ada di Bandung diundang untuk mengapresiasi film dan juga untuk mengetahui perkembangan komunitas film. (Chandra Iswinarno-Suara Merdeka-Sabtu, 5 Desember 2009)

Jumat, 04 Desember 2009

"Baju Buat Kakek" Tetap Terbaik


Festival Film Anak 2009
PURBALINGGA-Film “Baju Buat Kakek” (BBK) besutan siswa SMP N 4 Satu atap Tunjungmuli, Karangmoncol, Purbalingga membuktikan kembali dominasinya setelah dinobatkan menjadi film terbaik dalam Festival Film Anak (FFA) 2009 di Medan, Senin (30/12). Sebelumnya, film tersebut juga menjadi jawara di Festival Film Remaja (FFR) 2009 di Solo.

Film yang disutradarai siswi kelas VIII, Misyatun, menjadi yang terbaik setelah menyingkirkan 28 nominator film fiksi. Film tersebut dipilih menjadi yang terbaik oleh para juri yang terdiri dari praktisi film dan sosial seperti Didi Petet, Aris Merdeka Sirait, Onny Kresnawan, Marhamah, dan Fatimah Lubis. Tidak hanya itu, gelar pemeran wanita terbaik dan editor terbaik juga disandang karya perdana siswa SMP yang masih dalam satu manajemen dengan SD Negeri 2 Tunjungmuli.

Misyatun mengakui tidak menyangka film perdananya ini menjadi juara di ajang yang diselenggarakan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan berkolaborasi dengan komunitas film yang ada di Sumatera Utara. “Aku nggak nyangka kami yang sekolah di pucuk gunung kaya gini, bisa menang di Medan,” ujarnya saat ditemui di sekolah, kemarin.

Dia mengatakan dalam pembuatan film ini, menghabiskan waktu kurang lebih tiga bulan, namun mereka melakukan kegiatan pengambilan gambar hanya dalam waktu lima hari.
Menurutnya, semua proses pembuatan film dipersiapkan dengan matang sehingga hasilnya bisa memuaskan. “Ternyata buat film itu susah-susah gampang ya,” celetuknya.

Riset
Film berdurasi sekitar 13 menit ini, ujarnya, terinspirasi kehidupan seorang teman yang ada di sekolahnya. Kemudian tim produksi BBK, lanjutnya, melakukan riset dan menggarap semua keperluan secara mandiri. “Kami berupaya untuk mencari segala macamnya sendiri, namun kendala teknis tetap ada,” jelasnya.

Guru Seni Rupa sekaligus pembimbing ekstrakurikuler film di sekolah tersebut, Aris Prasetyo, mengatakan dalam film ini siswanya lebih banyak aktif untuk menyusun segala keperluan dari sebelum hingga produksi usai. “Di sini peran saya hanya sebatas membimbing dan mengarahkan jika mereka menemukan jalan buntu,” katanya.

Walau begitu, hambatan teknis dan keterbatasan alat memang kerap menjadi kendala. Ketiadaan alat produksi memaksa mereka harus bersabar untuk melakukan pengambilan gambar. Namun, para siswa yang terlibat tetap senang menggarap film. Bahkan, mereka berharap bisa produksi film kembali. “Kami berharap dapat memproduksi film selanjutnya,” harap Darti yang meraih pemeran wanita terbaik dalam ajang FFA 2009. (Chandra Iswinarno-Suara Merdeka-Rabu, 2 Desember 2009).

Sabtu, 28 November 2009

Program Bersama; Kado buat Kota Tercinta


“Pernahkah kita bertanya, apa yang sudah kita berikan untuk kota kita tercinta?”. Pertanyaan ini sangatlah ringan, namun berat untuk menjawabnya. Apalagi sebagai anak muda, generasi yang konon menjadi tulang punggung bangsa, terkadang merasa belum melakukan apa-apa. Malahan sebaliknya, telah banyak yang diberikan oleh Purbalingga.

Tepat rasanya di tahun ini, diusia 178 tahun Kota Purbalingga, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga kembali memberikan ruang kreatif kepada anak muda Purbalingga untuk berkreasi. Ruang ini berupa program bersama dalam menampung kegelisahan anak muda untuk kemudian dipersembahkan sebagai Kado buat Kota Tercinta pada tanggal kelahirannya, 18 Desember 2009.

Dalam sepuluh tahun terakhir, tepatnya selama dua periode dibawah kepemimpinan Bupati Triyono Budi Sasongko, tak terbantahkan pembangunan fisik di Kota Purbalingga begitu gemilang. Masyarakat di luar Purbalingga tak henti-hentinya berdecak kagum.

Sebagai anak muda Purbalingga, bolehlah turut berbangga. Namun, lagi-lagi harus disadari, bahwa tidak ada satu pun pembangunan di segala bidang yang tidak merugikan rakyat sebagai efeknya. Dibalik gemerlap pembangunan; ada kesengsaraan, kemirisan, ironi, ketidakberdayaan masyarakat.

Kerap kali sisi lain dari pembangunan itu tidak ter-cover dan relatif terlewatkan. Bahkan oleh pihak-pihak yang seharusnya berada di garda depan dalam mengkritisi dan mengawasi sisi lain itu. Dan sebagai anak muda Purbalingga tidak boleh diam seribu bahasa.

Kondisi demikianlah yang akan dikritisi dan diangkat dalam Program Bersama itu ke dalam sebuah media (visual dan audiovisual), dalam bentuk karya film dokumenter pendek dan karya foto feature untuk kemudian dihadiahkan sebagai Kado buat Kota Tercinta; Purbalingga.

Bentuk kegiatan dari program bersama ini berupa pemutaran film dan pameran foto. Peserta yang boleh berpartisipasi adalah anak muda Purbalingga atau yang merasa muda dan peduli dengan kotanya. Pengerjaan karya boleh atas nama personal maupun komunitas dan boleh menyerahkan karya lebih dari satu, baik karya film maupun foto.

Pengumpulan karya terakhir pada 16 Desember 2009 atau dua hari menjelang perayaan Hari Ulang Tahun Purbalingga. Pembiayaan proses berkarya ditanggung peserta, sebagai wujud kemandirian berkarya. CLC sekedar memfasilitasi program.

Program bersama ini sekaligus menjawab ketidakseriusan Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Purbalingga dalam mengajak kalangan sineas muda Purbalingga untuk turut terlibat dalam even Gelar Budaya, pertengahan Desember 2009 mendatang.

CLC menilai, dinas baru itu, sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah, masih saja bertindak sebagai even organizer, belum memposisikan diri sebagai fasilitator. Sehingga tidak memberikan ruang gerak yang luas pada para seniman di Purbalingga untuk berkreasi.

Ada atau tidak ada Gelar Budaya, anak muda Purbalingga tidak boleh berhenti berkreasi, tidak boleh berhenti berkarya secara mandiri. Karena dari sinilah jawaban terhadap pertanyaan apa yang anak muda berikan pada kotanya. Bolex

Selasa, 17 November 2009

“Baju Buat Kakek” Lolos Seleksi FFA 2009


Sebuah kebanggaan tersendiri ketika film berjudul “Baju Buat Kakek” buah karya Misyatun, siswi kelas VIII SMP Negeri 4 Satu Atap Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga menjadi satu-satunya film anak dari Jawa Tengah yang terseleksi pada Festival Film Anak (FFA) 2009.

Film pendek berdurasi 15 menit ini merupakan hasil olah kreasi siswa-siswi yang tergabung dalam kegiatan Ekstrakurikuler Film SMP Negeri 4 Satu Atap (sekolah yang masih menginduk pada SD Negeri 2 Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol karena terletak di daerah terpencar dan terpencil).

“Dengan masuk seleksi Festival Film Anak 2009, kami senang dan bangga mempunyai anak didik yang kreatif meskipun mereka hanya tinggal di desa pelosok,” ujar Aris Prasetyo, guru seni rupa sekaligus guru pengampu ekstrakurikuler film di SMP tersebut.

Film yang sempat menjadi pembuka di ajang Purbalingga Film Festival (PFF) pada Mei 2009 lalu ini berkisah tentang siswi bernama Prapti yg mengetahui vonis mati kakeknya karena terkena kanker otak. Pada suatu hari, Kakek Prapti , yang seorang pembuat anyaman cething, mampir ke sebuah toko kain setelah dia berjualan cething bersama Prapti cucunya.

Kakek berniat membeli kain mori/kain kafan sebagai persiapan karena merasa umurnya tak lama lagi. Tapi kain mori yg dicari kakek tidak ada. Prapti yang lugu, awalnya tidak memahami bahwa kain mori adalah kain pembungkus jenazah.

Betapa sedih Prapti saat mengetahui bahwa kain mori yang dicari kakeknya adalah baju untuk orang meninggal. Prapti membuka tabungannya,bahkan rela menjadi pemulung untuk melengkapi tabungannya membeli kain mori sebagai kado terakhir, sebuah Baju Buat Kakek.

Selama kurang lebih satu setengah tahun ekstrakurikuler film di SMP ini berjalan, telah menghasilkan sedikitnya tiga karya, yaitu “Profil SD-SMP”, film pendek “Baju Buat Kakek” dan “Sang Patriot”.

Dukungan sebagai Film Terfavorit
Dari sekitar 46 film yang masuk, akan dinilai oleh juri untuk film terbaik. Selain itu, dipilih pula film terfavorit yang ditentukan dari paling banyak komentar dan suka melalui facebook milik “Festivalfilm Anak”.

Untuk mendukung film “Baju Buat Kakek’, Anda diharapkan menjadi teman “Festivalfilm Anak’ di facebook untuk kemudian membuka halaman video dan memberi komentar di bawah video “Baju Buat Kakek”.

Pada 14-15 November 2009 lalu, 29 film peserta FFA telah diputar dalam Gempar Sumut di lapangan Merdeka sebagai sosialisasi kepada masyarakat. Festival Film Anak (FFA) yang sudah memasuki tahun kedua ini merupakan perhelatan akbar tahunan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) berkolaborasi dengan komunitas film indie di Sumatera Utara (SFD, MSM, KOFI '52, Kensington dan IMMC) dalam rangka mengadu bakat anak dan remaja (10-19 tahun) dalam sinematografi dan produksi film-film pendek (fiksi dan dokumenter). Bolex

Potensi Semarang untuk Film Pendek


Semarang mempunyai potensi besar terhadap perkembangan film pendek di Jawa Tengah. Seperti halnya Solo dan Purwokerto yang mempunyai basis kampus. Setidaknya, kota-kota tersebut bisa mampu bersejajar dengan Yogyakarta, yang sudah lebih dulu maju di bidang film pendek.

Meskipun sebenarnya, bukan jaminan pula kampus akan selalu membawa perubahan dan kemajuan pada bidang tertentu. Tapi setidaknya, dunia kampus merepresentasikan potensi anak muda yang luar biasa, minimal dari sisi intelektual dan semangat keanakmudaannya.

Antusiasme dan semangat anak muda Semarang terwakili pada Diskusi Film Pendek bertajuk “Ide Mini dengan Hasil Maksi”, Minggu, 15 November 2009 lalu, di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang (Unnes).

Diskusi yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unnes kerja bersama Oengoe Cinema Club dan Konfiden Jakarta ini, menjadi puncak kegiatan Parade Film Pendek Unnes yang digelar selama tiga hari.

Pembantu Dekan III FBS Unnes Drs. Dewa Made Kartadinata membuka acara diskusi tersebut. Ia menyampaikan harapan agar hasil diskusi mempunyai pengaruh positif terhadap kegiatan dimasa mendatang. “Kami menghimbau pada peserta diskusi agar kalian banyaklah bertanya, mengkritisi dengan menganalisa bagaimana seluk-beluk film pendek,” katanya.

Beragam Tanya
Diskusi menghadirkan narasumber, yaitu Bowo Leksono (sutradara film pendek dan Direktur Cinema Lovers Community Purbalingga) dan Damar Ardi Atmaja (programer film pendek dari Importal Semarang), serta Dimas (pemeran utama film “Sandal Jepit” dari SMA 1 Purbalingga).

Sebagai pemantik diskusi, diputar terlebih dulu beberapa film pendek dari berbagai kota. Kesempatan perdana, film-film hasil Kompetisi SMA di Purbalingga Film Festival 2009. Untuk kemudian film-film dari kota lainnya.

Peserta yang hadir cukup aktif dengan banyaknya pertanyaan yang disampaikan. Pertanyaan peserta beragam mulai dari bagaimana memunculkan ide kreatif, teknis pengambilan gambar dan pencahayaan, rolling job dalam produksi film pendek, sampai bagaiman kriteria film untuk bisa masuk festival.

Tak hanya kalangan mahasiswa dan umum, pelajar SMA, pun turut bersemangat mengikuti diskusi tersebut. Damar Ardi menjelaskan, ia membuat tema diskusi dengan menyesuaikan kondisi Semarang yang miskin karya film pendek. “Saya berharap acara ini menjadi penyemangat pemuda Semarang untuk berkarya dengan ide yang sederhana saja yang ada di sekitar kita,” ujarnya.

Ketua BEM FBS Sri Waluyo merencanakan kegiatan Parade Film Pendek ini akan dijadikan agenda rutin dalam peringatan Bulan Bahasa dan Seni di Universitas Negeri Semarang. “Ini merupakan langkah positif untuk perkembangan film pendek di Indonesia,” jelasnya. rulia

Senin, 09 November 2009

Bulan Bahasa dan Seni: Unnes Gelar Parade Film Pendek


Film pendek sudah mendapat tempat tersendiri di hati mahasiswa. Terbukti beberapa tahun terakhir, setiap perayaan Bulan Bahasa dan Seni, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (FBS Unnes) memasukkan film pendek menjadi tontonan menarik untuk diapresiasi.

Bertajuk Parade Film Pendek Unnes 2009, even ini akan digelar selama tiga hari mulai 13-15 November 2009, bertempat di Gedung B6 dan B1-106 Fakultas Bahasa dan Seni Unnes, Sekaran, Gunungpati, Semarang.

Gelaran acara yang terbuka untuk umum dan gratis ini diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FBS Unnes kerja bersama Oengoe Cinema Club, sebuah unit kegiatan mahasiswa sinematografi di kampus itu. Acara ini juga mendapat dukungan dari Konfiden Jakarta.

Koordinator parade yang juga Ketua Oenge Cinema Club Radityo Bharmono mengatakan, Parade Film Pendek ini sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap tumbuh kembang film pendek di Indonesia. “Disamping itu juga untuk menggairahkan perkembangan film pendek pendek di Semarang dan di kampus Unnes sendiri,” tuturnya.

Pada parade kali ini, tak hanya menghadirkan film-film dari mahasiswa Unnes. Pun film-film pendek dari kota lain, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Purwokerto dan Purbalingga. Bahkan ada sesi khusus yang memutar film-film pendek hasil olah kreatif pelajar SMA dari Purbalingga.

Diskusi Film

Tidak saja pemutaran film yang akan ditampilkan pada parade itu, tapi juga diskusi film yang menghadirkan Bowo Leksono, sutradara film pendek asal Purbalingga dan Damar Ardi Atmaja, programer film pendek dari Semarang.

Diskusi bertema “Ide Mini Hasil Maksi” ini menekankan pada pencarian ide yang sederhana namun mampu menciptakan hasil karya film yang maksimal dan berkualitas. Diskusi bersifat terbuka bagi pelajar SMA sederajat, mahasiswa dan umum. Berharap para pelaku video dan film di kota Semarang dan sekitarnya mengapresiasi gelaran ini. Bolex

Sabtu, 07 November 2009

Membuat Film sebagai Hobi


Beberapa waktu lalu, ada seorang siswi salah satu SMA di Purbalingga mengirimkan SMS pada saya. Seperti biasa, hendak meminjam handycam untuk syuting film. Biasanya, kawan-kawan SMA mengobrolkan dulu film apa yang hendak mereka produksi sebelum ‘nembung’ untuk memakai peralatan CLC. Kali ini, sebaliknya.

Ternyata mereka mendapat tugas dari salah satu guru untuk membuat film. Hmmm… Atas dasar apa si guru ini dengan semena memberi tugas siswa untuk membuat film. Apakah dia pernah mengajarkan, walau sedikit, teori dan praktik produksi film? Atau karena menilai film pendek sedang menjadi trend di kalangan siswa SMA di Purbalingga? Dan tahu, banyak anak didiknya bergaul akrab dengan CLC?

Saya dan kawan-kawan CLC mencoba mengambil positifnya. Semoga tugas dari guru ini menjadi daya dorong dan memperluas ruang ekspresi bagi siswa. Namun, mengapa sekolah tidak memberi keleluasaan pada siswa untuk memanfaatkan peralatan audiovisual yang ada di sekolah? Apa karena sekolah tahu bahwa CLC memfasilitasi untuk itu? Entahlah.

Sangat disayangkan bila sekolah-sekolah di zaman ini yang sudah dilengkapi peralatan multimedia, dan tak termanfaatkan sebagaimana harusnya. Belum lagi, tak sedikit sekolah yang mempunyai ruang multimedia dengan bangunan mewah, namun berfungsi layaknya museum.

Ada siswa yang tidak diperbolehkan menyentuh peralatan padahal sudah menjadi hak mereka. Tentu dengan alasan takut rusak. Lagipula, mana ada barang di dunia ini yang tidak rusak? Kalau toh diperbolehkan, hanya siswa yang berprestasi secara akademis saja. Sialnya, ada saja sekolah yang hanya guru-gurunya saja yang memanfaatkan fasilitas sekolah. Padahal, tidak juga menjadi pintar para guru itu. Disini perlu ada keikhlasan dari para pengelola sekolah dan kesadaran bahwa fasilitas sekolah diperuntukkan untuk siswa.

Bagi anak-anak SMA di Purbalingga dan Banyumas pada umumnya, membuat film bukanlah hal baru. Mereka mengenal film pendek dari generasi sebelumnya. Anak-anak SMA di Purbalingga sudah mengenal apa dan seperti apa itu film pendek sejak 2004. Saat itu, ada sekelompok anak muda yang mendatangi sekolah-sekolah dengan memutar film-film pendek karya mereka. Dari sinilah awal perkenalan anak-anak SMA dengan film pendek dan juga awal menanam benih regenerasi.

Bagi para pendahulu film pendek di wilayah Banyumas, memperkenalkan film pendek kepada generasi muda, tidak kemudian bermaksud menciptakan para pembuat film. Tapi bagaimana memberi dan memanfaatkan ruang berekspresi. Saya sendiri bahagia bahwa membuat film menjadi hobi saya. Bila hobi ini kemudian menjadi pekerjaan yang menghasilkan uang, yang mampu menghidupi kita, tentu lebih menyenangkan. Bukankah tidak nyaman bila bekerja bukan pada bidangnya dan tak kita sukai?


*Bowo Leksono
Disampaikan pada diskusi Parade Film Pendek Unnes 2009 l Bulan Bahasa l Semarang, 15 November 2009

Jumat, 06 November 2009

Memaksimalkan Ide Mini


Membuat film pendek bukan berarti lebih mudah dibanding membuat film panjang, hanya lantaran perbedaan durasi. Kerap kali, membuat film pendek jauh lebih sulit. Bagaimana tidak, kita menciptakan cerita yang kemudian divisualkan dalam waktu yang relatif singkat.

Sebenarnya, letak sulitnya bukan pada soal hitungan durasi. Namun bagaimana karya kita itu mampu mengantarkan pesan pada penonton. Soal durasi, sebagai pemula, sebaiknya tidak terlalu bergantung kepadanya. Mengalirlah.

Kita akan berhitung soal durasi bila sudah menghasilkan beberapa karya film. Dari situlah kita bisa mengukur dan berpatok pada durasi. Sembari memperkuat sisi penceritaan. Sisanya, kita akan tertempa oleh kebiasaan dan pengalaman dalam berkarya.

Pada tahun-tahun awal saya berkarya, terbiasa membuat film dengan kru yang sederhana. Tiga sampai lima orang saja. Praktis, satu orang memegang lebih dari satu pekerjaan. Bahkan beberapa karya film pendek saya, saya kerjakan sendirian.

Alhasil, saya bisa mengambil gambar sekaligus menyutradarainya, demikian pula saya mengeditnya. Kondisi ini bukan untuk gagah-gagahan, karena semua masih serba sederhana. Referensi, pengalaman, jaringan, peralatan, kawan-kawan yang terlibat, dan banyak lagi lainnya.

Keuntungannya, saya jadi belajar banyak hal soal seluk-beluk proses produksi sebuah film pendek. Namun, tidak selamanya kita akan mampu mengerjakan semuanya sendirian, karena film pada dasarnya adalah karya kolektif.

Yang kerap menjadi pertanyaan kawan-kawan adalah bagaimana memulai dalam berkarya. Kemudian kebingungan berlanjut pada bagaimana prosesnya. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari kawan-kawan yang sudah mempunyai landasan niat dan semangat untuk memproduksi tentunya.

Saya selalu menjawab “ide”lah awalnya. Dan bagaimana memunculkan ide, saya pikir susah untuk diperdebatkan, karena masing-masing manusia mempunyai kemampuan tersendiri dalam melahirkan ide.

Tak harus memaksa diri melahirkan ide yang “wah”. Lihat dan rasakan sekeliling kita, yang dekat dengan kita. Yang kecil, yang mini, dan sederhana. Tentunya referensi dan pengalaman hidup adalah sumber ide yang meruah. Kemudian baru ketangkasan dan kebiasaan kita dalam berkarya.

Dengan demikian, kita belajar membuat karya film pendek dengan ide mini, ide yang sederhana, namun dengan hasil yang maksimal, yang memuaskan tentunya. Memuaskan kita dan penonton film kita.


*Bowo Leksono
Disampaikan pada diskusi “Ide Mini dengan Hasil Maksi”
Parade Film Pendek Unnes 2009 l Bulan Bahasa l Semarang, 15 November 2009

Minggu, 30 Agustus 2009

“Sekitar Midnight” dari Purbalingga Menyabet Dua Penghargaan


Film pendek berjudul “Sekitar Midnight” dari SMAN 2 Purbalingga berhasil menjawarai dua kategori sekaligus, Film Fiksi Pendek Terbaik dan Penghargaan Konfiden (Favorit Penonton) di ajang Tawuran! Festival Film Pendek Pelajar 2009. Malam penghargaan festival tingkat nasional tersebut diselenggarakan pada 30 Agustus 2009, di ruang Audio Visual Galeri Nasional Jakarta.

Dewan juri yang terdiri dari Bagus Takwin, dosen psikologi Universitas Indonesia, John De Rantau, sutradara, dan Sesa Nasution, Editor in Chief Provoke! Magazine menilai film yang disutradarai Felixitas dan Pito ini sangat rasa Indonesia dan mampu bertutur dengan baik. Kekurangan dari film berbahasa Banyumasan ini pada persoalan teknis yang memang kerap dialami para pelajar.

Felix dan Pito yang datang bersama belasan kawan-kawannya dari berbagai SMA di Banyumas Raya: Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap sejak festival ini berlangsung, merasa bangga dan senang dengan prestasi ini. Diharapkan kemenangan ini memicu para pelajar lain di Banyumas Raya untuk berkreasi dibidang film. “Kami tidak menyangka kalau film kami mampu berkompetisi ditingkat nasional dan kemenangan ini adalah kemenangan bagi seluruh pelajar di Banyumas,” tutur Pelix.

Dua penghargaan lain adalah Film Pendek Dokumenter Terbaik diraih “Indonesia Bukan Negara Islam” sutradara Jason Iskandar dari SMA Kolese Kanisius Jakarta dan Penghargaan Khusus Dewan Juri untuk judul Facebooked sutradara Selvia Alvira, Siti Nurul Anizza, dan Deden Rhamadani dari SMAN 34 Jakarta.

Menyingkirkan Puluhan Kompetitor
“Sekitar Midnight” dan dua film pemenang lain mampu mengungguli hampir 50 karya film dari berbagai kota di Indonesia yang masuk ke panitia festival yang digelar oleh Yayasan Konfiden Jakarta sejak 28-30 Agustus 2009. Festival yang kali pertama digelar ini menjadi ajang baru bagi kreativitas pelajar di Nusantara ini.

Film-film peraih penghargaan tersebut menawarkan ide-ide segar dari para pembuatnya dan mampu berbicara sesuai lingkungan dimana para pelajar itu tinggal. Setidaknya dari film “Sekitar Midnight” yang berdurasi 15 menit ini berbicara pada konteks lokal yang kental dengan balutan materi para pemain yang berkarakter.

Felix dan Pito yang berprestasi lewat karyanya mampu menyusul beberapa pendahulunya yang juga berprestasi diberbagai festival film. Kedua pelajar SMAN 2 Purbalingga ini mempunyai harapan besar, agar sekolah mereka memfasilitasi secara terbuka dan ikhlas dalam berkreasi khususnya dalam soal film.

Dengan prestasi para pelajar dari Purbalingga ini pula, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga dan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) siap untuk terus mengawal dan memfasilitasi kebutuhan para pelajar di lingkup Banyumas Raya. Termasuk memfasilitasi informasi dan kebutuhan pelajar diberbagai ajang festival film. @bolex

Sabtu, 29 Agustus 2009

Pelajar SMA se-Banyumas Raya Serbu Jakarta untuk Tawuran!


Sekitar 20 pelajar SMA se-Banyumas Raya menyerbu Jakarta untuk Tawuran! Festival Film Pendek Pelajar 2009. Para pelajar itu berasal dari Kabupaten Purbalingga, Banyumas, Banjarnegara dan Cilacap.

Festival film pendek tingkat Nasional yang diselenggarakan Yayasan Konfiden ini digelar mulai 28-30 Agustus 2009 di Galeri Nasional Indonesia dan Kineforum Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat.

Mereka datang Jumat pagi, 28 Agustus 2009, dengan menggunakan kereta api dari stasiun Purwokerto. Seusai waktu Ashar, tiba di Jakarta dan langsung ke salah satu tempat festival.

Para pelajar Banyumas tidak hanya menjadi penyaksi dalam ajang yang baru kali pertama digelar itu. Karena, lima karya film pendek mereka turut terseleksi dan diputar di festival tersebut.

Kelima film tersebut adalah ”Sandal Jepit” sutradara Bani Dwi Kusvendar dari SMAN 1 Purbalingga, ”Nyarutang” sutradara Asep Triyatno dari SMAN 1 Bobotsari, Purbalingga, ”Sekitar Midnight” sutradara Felixitas C.W.A dari SMAN 2 Purbalingga, ”Bumi Masih Berputar” sutradara Sheila Ardilla Yughi dan ”Gatot Soebroto 69” sutradara Esa Septiana keduanya dari SMAN 2 Purwokerto.

Film-film pendek pelajar dari Banyumas Raya itu berkompetisi dengan delapan film pendek yang datang dari kota-kota besar lainnya. Ada enam kategori yang diperebutkan yaitu Film Dokumenter Pendek Terbaik, Film Fiksi Pendek Terbaik, Penghargaan Khusus Dewan Juri untuk Kategori Dokumenter, Penghargaan Khusus Dewan Juri untuk Kategori Fiksi, Penghargaan Konfiden (Favorit Penonton), serta Penghargaan Khusus untuk Musik Orisinil.

Fasilitasi JKFB
Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB), sebagai fasilitator, tidak hanya mengirimkan pelajar yang karya filmnya menjadi peserta festival, tapi juga mengirimkan para pelajar lain seperti dari SMAN 1 Bawang, Banjarnegara dan SMKN 1 Cilacap untuk bersama-sama menimba ilmu dan pengalaman di Jakarta.

Selama tiga hari di Ibukota, para pelajar se-Banyumas Raya tersebut akan mengikuti rangkaian festival. Disamping menonton program-program pemutaran film yang disuguhkan, juga mengikuti program lain seperti diskusi bersama pakar film.

Berharap di ajang bergengsi bagi para pelajar Indonesia ini, film pendek Banyumas mampu berbicara dengan menggondol penghargaan yang akan diumumkan pada malam penganugerahan, Minggu, 30 Agustus 2009, di ruang Audiovisual Galeri Nasional, Jakarta. Berharap juga dukungan dan doa dari masyarakat Banyumas. Semoga! @bolex

Sabtu, 22 Agustus 2009

Film Pendek Pelajar SMA Banyumas Raya Putar di Semarang


Importal untuk kedua kalinya menggelar pemutaran film pendek pada Kamis 20 Agustus 2009, pukul 19.00, di HOBNOB Widya Mitra Semarang. Pemutaran kali ini menampilkan karya pelajar SMA dari Banyumas Raya antara lain Sandal jepit sutradara Bani Dwi K SMAN 1 Purbalingga, Nyarutang sutradara Asep Triyatno SMAN 1 Bobotsari, Sekitar Midnight sutradara Felik dan Pito SMAN 2 Purbalingga dan Bumi Masih Berputar sutradara Shella Ardilla SMAN 2 Purwokerto.

Keempat film tersebut bersanding dengan film pendek lain dari JIFFest seperti The Last Journey sutradara Endah WS, Traffic Jam sutradara Tam Notosusanto dan The Visit sutradara Erwin Indrawan, film pendek lain yang diputar sore harinya berasal dari Yogyakarta antara lain Kuda Laut sutradara Shalahudin Siregar dan BEN disutradarai oleh Gentur galih.

Damar Ardi programer dari Importal mengatakan bahwa pemutaran yang diadakan secara rutin setiap Kamis ini merupakan wadah apresiasi, referensi dan pendidikan bagi pecinta film, sedangkan secara khusus pemutaran film pendek yang bertajuk “Made in Indonesia” ini bertujuan memasyarakatkan film pendek serta menambah referensi dan inspirasi bagi pegiat film, secara kualitatif dan kuantitatif kondisi film pendek di Indonesia sedang mengalami penurunan.

“Dengan adanya pemutaran ini diharapkan tumbuh semangat kreatifitas untuk menggairahkan film pendek di Indonesia, apalagi saat ini film pendek sudah tidak dianggap sebelah mata karena perkembangannya sangat baik disamping itu munculnya banyak komunitas film serta keseriusan untuk belajar didalamnya telah memperkaya produksi film pendek di Indonesia,” imbuhnya.

Damar menambahkan adanya film pendek pelajar SMA yang ikut meramaikan pemutaran kali ini diharapkan dapat menjadi inspirasi dan cermin bagi pegiat film, betapa para pelajar yang berasal dari kota kecil di Jawa Tengah ini bisa menghasilkan karya yang tidak kalah kualitasnya dengan karya mahasiswa dan rapi dalam penggarapan serta mampu bertutur dengan baik sehingga menjadi daya dorong agar semakin membangkitkan tumbuhnya semangat kreatifitas dalam membuat film bagi pegiat film khususnya di kota Semarang.

Menjadi Daya Tarik
Pemutaran film pendek karya pelajar SMA dari Purbalingga dan Purwokerto ini mendapatkan apresiasi yang sangat baik dari penonton, beberapa mahasiswa asing yang kuliah di jurusan komunisasi Undip menuturkan kekagumannya pada para pelajar yang pada usia muda telah bisa berprestasi dengan membuat film dan menuangkan ide melalui film.

Penonton lain Dian Hariani yang mengaku baru pertama kali menonton film pendek, terkesan dengan penggunaan bahasa lokal dalam karya pelajar SMA ini. “Film tersebut memiliki daya pikat kuat karena bahasa lokal yang digunakan dan topiknya juga hal yang sederhana serta peristiwa yang sering terjadi sehari-hari seperti tergambar dalam film Sandal Jepit dan Nyarutang,” tambahnya.

Selama pemutaran penonton dibuat tegang dalam Sekitar Midnight, namun juga tertawa lepas setelahnya. Sedangka pada film Bumi Masih Berputar, penonton dibuat tertawa melihat ketegaran tokoh utamanya dalam menghadapi patah hati dengan kembali belajar lagi, akhir cerita film yang sangat jarang terjadi.

Keempat film pendek pelajar SMA ini mampu berkomunikasi dengan penontonnya, menariknya penggunaan bahasa ngapak dalam film telah membuat penonton tersihir untuk tidak beranjak, bahkan penonton pun meniru pengucapan para tokoh dan berkomentar langsung dengan ekspresif sepanjang pemutaran. Setidaknya film pendek pelajar SMA Banyumas Raya telah berhasil merangkul penggemar baru. Rulia

Senin, 17 Agustus 2009

Lolos Seleksi, Lima Film Pelajar Banyumas


-Festival Film Pendek Pelajar 2009
BANYUMAS- Lima film pendek karya pelajar SMA di Eks Karesidenan Banyumas lolos seleksi Kompetisi Tawuran! Festival Film Pendek Pelajar 2009 yang diselenggarakan Yayasan Konfiden di Jakarta.

Kelima film yang lolos seleksi itu berjudul Nyarutang produksi SMAN 1 Bobotsari, Bumi Masih Berputar dan Gatot Soebroto 69 yang keduanya diproduksi SMAN 2 Purwokerto, Sandal Jepit produksi SMAN 1 Purbalingga, dan Sekitar Midnight produksi SMAN 2 Purbalingga.

Rencananya film tersebut akan diputar bersama delapan karya lain yang lolos dalam seleksi dewan program tersebut. Pemutarannya akan dimulai 28-30 Agustus 2009, bertempat di Ruang Audio Visual Galeri Nasional Indonesia dan Kineforum, Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Manajer festival, Lintang Gitomartoyo mengatakan kompetisi ini bertujuan untuk mengembangkan film di kalangan pelajar. Alasannya, banyak pengajaran yang dilakukan sekolah saat ini yang menggunakan teknologi audio-video. "Dari kenyataan itu kami ingin membentuk dan menajamkan kemampuan mereka dalam membuat film," terangnya.

Disamping itu, dia juga melihat penurunan kuantitas dan kualitas film Indonesia yang semakin hari mengalami kemunduran. "Dari kondisi itu kami berusaha untuk mencari bibit baru pembuat film dengan mengadakan festival ini."

Dalam perjalanannya, film tersebut berhasil mengungguli 30 film yang dikirim dari penjuru nusantara. Proses penyeleksian tersebut dilakukan oleh dewan program yang terdiri dari pegiat film pendek Indonesia. Hasil penilaian dewan program tersebut nantinya akan dinilai dewan juri untuk memperebutkan enam penghargaan yang disediakan.

Saat disinggung mengenai proses penjurian dalam festival kali ini, Lintang menjelaskan penilaiannya tidak hanya terkait dengan kualitas gambar dan suara saja, tapi juga kemampuan berkomunikasi antara pembuat film dengan penonton. Selain itu, aspek isi cerita dan kedekatan tema dengan pembuat film juga diperhitungkan. "Si pembuat dituntut untuk mampu menerjemahkan lingkungan di sekitar mereka ke dalam bentuk audio-visual," imbuhnya.

Sementara itu, Sutradara film Bumi Masih Berputar, Sheila Ardilla mengaku tidak pernah menduga karyanya dapat menembus 13 besar kompetisi itu. "Saya tidak menyangka kalau film itu bisa lolos," kata siswi kelas XII SMAN 2 Purwokerto.

Uwin Chandra, Suara Merdeka, Sabtu 15 Agustus 2009
http://konfiden.or.id/tawuran/

Sabtu, 08 Agustus 2009

Tiga Film Pelajar Purbalingga Tayang di Courts-Circuits


Kembali, film-film pendek karya pelajar SMA di Purbalingga unjuk gigi. Kali ini dalam acara Courts-Circuits: Spécial à courts d'écran 2009 yang diselenggarakan oleh Centre Culturel Français (Pusat Kebudayaan Prancis) mulai 14-16 Agustus 2009 di ruang audiovisual Galeri Nasional, Jakarta Pusat.

Film-film tersebut bertajuk ”Sandal Jepit” (SMA Negeri 1 Purbalingga), ”Sekitar Midnight” dan ”Tasmini” (SMA Negeri 2 Purbalingga). Ketiga film berbahasa Banyumasan itu akan diputar di program Ekstrakurikuler yaitu program khusus kumpulan film siswa SMA pada Minggu, 16 Agustus 2009, pukul 14.00 WIB.

Film ”Sandal Jepit” bercerita soal nasib sial seseorang yang bukan karena kebetulan, melainkan sebuah akumulasi dari sikap dan tindakan. Film pendek yang disutradarai Bani Dwi K itu sempat menyabet penghargaan sebagai Film Terbaik I dan CLC Award di ajang Kompetisi Film Pendek Fiksi se-Banyumas Raya Purbalingga Film Festival (PFF) 2009.

Film ”Sekitar Midnight” yang menjadi nominator Kompetisi Film Pendek Fiksi se-Banyumas Raya PFF 2009 berkisah tentang mitos malam Jum’at kliwon bagi orang desa dan bagaimana jadinya bila mitos itu betul terjadi? Sementara ”Tasmini”, film yang sempat nongol di TV One menegaskan bahwa tidak satu pun perempuan yang mau dimadu karena semua perempuan butuh kasih sayang pada dasarnya.

Dua film lagi yang diputar pada program yang sama adalah ”Detensi” dan ”Cheat Chat Bingo”, kedua film yang cukup fenomenal itu disutradarai Jason Iskandar, siswa SMA Canisius College Jakarta.

Acara pemutaran film pendek Indonesia-Prancis kali ketiga ini terbuka untuk umum dan gratis. Selain pemutaran film, diadakan pula program diskusi yang membahas “film pendek dan semangat anak muda” yang difasilitasi Klub Kajian IKJ dengan menghadirkan pembicara Dennis Adhiswara serta diskusi mengenai “tips penulisan skenario film pendek” dari Serunya! Script Writing.

Tidak hanya itu, di acara tersebut Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga dan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) bersama beberapa komunitas film lain akan turut berpartisipasi dalam pameran komunitas dengan menyediakan informasi seputar dunia perfilman di Purbalingga dan Banyumas Raya. Kegiatan ini sebagai media memperkenalkan komunitas film lokal di tingkat nasional bahkan internasional. Bolex

Kamis, 30 Juli 2009

Lembaga Film Mahasiswa Tertua ITB Mampir ke Purbalingga


Purbalingga dinilai sebagai salah satu dari tujuh kota paling produktif dalam menghasilkan film independen di Pulau Jawa. Demikian penilaian Liga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (LFM-ITB), sebuah lembaga film kampus tertua di Indonesia.

Untuk itulah, kota yang terletak di Jawa Tengah bagian barat ini menjadi salah satu tujuan Roadshow Introduction Ganesha Film Festival (GANFFEST) 2010 bertajuk “Festival Film dengan Sentuhan Teknologi” yang diusung LFM-ITB.

Panitia GANFFEST berencana mampir ke Purbalingga dalam rangkaian roadshow pada Senin, 3 Agustus 2009. Acara akan ditempatkan di Cafe Bamboe, Jl. Jend. Sudirman No. 126 Purbalingga (timur alun-alun Purbalingga) mulai pukul 18.30 WIB. Selain Purbalingga, kota-kota produktif yang hendak disinggahi adalah Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Malang.

Sementara materi yang diusung para pegiat LFM ITB di setiap kota adalah pengenalan LFM-ITB, profil GANFFEST 2008, pemutaran dua film terbaik GANFFEST 2008, pengenalan GANFFEST 2010, serta tanya jawab dan diskusi GANFFEST 2010.

Promo GANFFEST
Kegiatan roadshow ini sebagai acara pre-event agar informasi mengenai GANFFEST 2010 mendatang tersebar dengan jelas dan merata. Roadshow GANFFEST terbagi menjadi dua kegiatan, yaitu Roadshow Komunitas dan Roadshow Sayembara Inovasi Teknologi Perfilman.

Roadshow Komunitas ditujukan kepada komunitas film di tujuh kota. Sedangkan Roadshow Sayembara Inovasi Teknologi Perfilman diselenggarakan untuk kalangan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Bandung.

GANFFEST ini pertama kali diadakan pada Februari 2008. Pada saat itu ruang lingkup GANFFEST hanya seputar Pulau Jawa dan Bali, namun telah berhasil mendapat respon positif dari para filmmaker. GANFFEST 2010 ini akan dilaksanakan dengan ruang lingkup nasional.

Tema yang diambil dalam rangkaian kegiatan ini adalah “Art Futuristic”. Tema ini dipilih karena GANFFEST adalah even apresiasi film indie yang merupakan suatu bentuk karya dari seni kreatif. Dalam proses produksi dan distribusi film indie tidak dapat terlepas dari sentuhan teknologi. Di masa depan, sentuhan teknologi ini diharapkan dapat mendukung perwujudan ide dan visi kreatif dari para filmmaker.

Pada GANFFEST 2008, salah satu film dari Purbalingga berjudul ”Peronika” berhasil memboyong dua penghargaan sekaligus, yaitu Lakon Mumpuni dan Dalang Mumpuni. Bolex

Minggu, 26 Juli 2009

”Nyarutang”, Film Pendek Purbalingga Masuk Boemboe Forum 2009


Film pendek asal Purbalingga, ”Nyarutang” karya sutradara Asep Triyanto terpilih sebagai salah satu film di ajang Boemboe Forum 2009 bersama lima film lain dari berbagai kota di Indonesia. Forum bagi pembuat film pendek Indonesia ini hendak digelar pada Sabtu, 1 Agustus 2009, pukul 14.30 WIB, di Istituto Italiano di Cultura (Pusat Kebudayaan Itali) Jakarta.

”Saya senang film pertama saya bisa terpilih sebagai salah satu film di Boemboe Forum. Dengan izin orang tua dan pihak sekolah, saya akan datang sekaligus untuk menambah pengalaman,” tutur Asep Triyanto, siswa SMA Negeri 1 Bobotsari, Purbalingga ini bangga.

Film ”Nyarutang” berdurasi 10 menit yang sempat menyabet penghargaan dari JKFB Award di ajang Purbalingga Film Festival 2009 ini berkisah soal pemuda pengangguran bernama Jono yang masih mengikuti sisa nurani. Pada suatu ketika, Jono menemukan sebuah dompet di sebuah gang. Setelah Jono memakai uang dalam dompet itu, ia berniat mengembalikannya. Ada penyelesaian yang unik bagaimana Jono mengembalikan dompet dan uang yang sudah dipakainya.

Selain Purbalingga, film pendek hadir dari Jakarta, Solo, Jember, dan Makassar. Bentuk acara Boemboe Forum yang telah memasuki tahun keenam, selain pemutaran film adalah berupa presentasi peserta dan diskusi selama kurang lebih 30 menit setiap karyanya.

Asep Triyanto adalah filmmaker keenam dari Banyumas yang karyanya berhasil menjadi karya pilihan di ajang Boembeo Forum. Filmmaker lain adalah Dimas Jayasrana (di tahun 2004), Bowo Leksono dan Bayu Bergaswaras (2005), Heru C. Wibowo (2007), dan Insan Indah Pribadi (2008). Bolex

Rabu, 22 Juli 2009

Film Pendek Tampil di TV One


PURBALINGGA – Sukacita hinggap di benak para filmmaker pendek di Purbalingga. Dua judul film pendek yaitu Peronika dan Tasmini mendapat kehormatan ditayangkan di TV One.

Kehadiran film pendek berlogat Banyumasan itu langsung mendapat sambutan masyarakat Purbalingga baik di Purbalingga maupun di Jakarta.

Pentolan Cinema Lovers Community Purbalingga, Bowo Leksono mengaku cukup gembira dengan semakin diperhatikannya film pendek di dunia perfilman Indonesia. Tayangan Peronika, Sabtu (11/7) lalu langsung mendongkrak popularitas film Banyumasan di kancah nasional.

”Sambutannya luar biasa, sampai-sampai saya tidak dapat menjawab SMS yang masuk. Memori hp saya penuh karena ada sekitar 500 SMS ucapan selamat yang masuk,” tutur Bowo.

Bowo mengaku, pada Jum’at (17/7), ia kembali mendapatkan kejutan kedua kalinya. Televisi swasta tersebut menginformasikan akan menayangkan kembali sebuah film pendek karya sineas Purbalingga berjudul Tasmini, Sabtu (18/7) mulai pukul 10 malam. ”Selain mengobati kerinduan masyarakat Purbalingga di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, film ini menjadi hiburan segar bagi masyarakat yang sudah bosan dengan tayangan sinetron,” tambah Bowo.

Dua film Banyumasan itu mampu menembus layar kaca berkat dukungan dan peran dari sebuah yayasan film pendek dari Jakarta, Konfiden. Salah satu Dewan Pendiri Konfiden, Agus Mediarta mengaku cukup tertarik dengan film Banyumasan itu sejak pertamakali menontonnya.

”Waktu saya menonton pertamakali, saya langsung merasa cocok dan saya rasa film itu layak ditonton khalayak ramai,” tambahnya. Ia menambahkan, film Banyumasan itu sendiri cukup berbeda dengan film-film pendek dari kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan lainnya.

”Masyarakat Indonesia jarang yang mengetahui ada film berbahasa Banyumas. Lebih menarik lagi, film ini mampu berbicara secara visual. Film ini memang lucu, tapi bukan dari bahasanya melainkan dari penampilan visual yang dikemas oleh sutradara,” tambahnya. Budi, Radar Banyumas, Sabtu Pahing 18 Juli 2009.

Sayang, film Tasmini tidak jadi tayang pada Sabtu (18/7) karena slot-nya untuk tayangan Breaking News soal pemboman di Jakarta. Untuk itu, film Tasmini dalam tayangan bertajuk Film Pendek di TV One akan hadir pada Sabtu, 25 Juli 2009, jam 21.30 WIB.

Senin, 13 Juli 2009

Film Pendek Hadir di Tengah Ospek


Film Pendek bukan hal baru bagi siswa-siswi SMA Negeri 1 Bobotsari, Purbalingga. Sudah sejak 2004, saat karya film pendek pertama di Purbalingga hadir, mereka sudah diperkenalkan lewat program roadshow ke SMA-SMA di Purbalingga.

Bahkan yang membanggakan, dua tahun setelah itu, 2006, film pendek bertajuk ”Pacar Kedua” lahir dari rahim kreativitas siswa-siswi SMA yang terletak di bagian utara Kota Purbalingga.

Sejak saat itu, berbagai kesempatan acara di sekolah dimanfaatkan untuk pemutaran film pendek sebagai media apresiasi siswa. Tak terkecuali saat masa orientasi pengenalan sekolah (Ospek) bagi siswa baru atau dikenal dengan Kemah Orientasi Siswa (KOS) setiap tahun pelajaran baru, sehingga mentradisi menjadi acara tahunan.

Tahun ini, pemutaran film dengan media layar tancap di dalam lingkungan sekolah akan digelar pada Jumat, 17 Juli 2009, pukul 19.30 WIB. Acara tersebut diinisiasi Bozz Community, sebuah komunitas film di sekolah tersebut, OSIS, dan Cinema Lovers Community.

Film yang Diputar
Disamping film pendek di luar karya siswa SMA Negeri 1 Bobotsari, seluruh karya mereka sejak 2006 akan diputar agar para junior tahu, sudah lebih dari tiga tahun para seniornya membuat film.

Film-film tersebut adalah “Pacar Kedua” (2006) sutradara Arthur Harland, ”Gairah Salimin” (2008) sutradara Nanki Nirmanto, ”Musibah” (2008) sutradara Nanki Nirmanto dan Wahyu Esbhe, dan “Nyarutang” (2009) sutadara Asep Triyanto. Film pendek yang disebutkan terakhir sempat menyabet Penghargaan JKFB Award di ajang Purbalingga Film Festival 2009.

Bozz Community dari SMA Negeri 1 Bobotsari, Purbalingga adalah komunitas kreatif yang deras dalam melahirkan generasi pembuat film pendek di Purbalingga. Namun sayang, dukungan dari sekolah tidak sederas kreativitas mereka. Bolex

Senin, 06 Juli 2009

Perempuan Banyumas dalam Film


Oleh: Teguh Trianton, aktif di Beranda Budaya, Banyumas

Di Banyumas, film awalnya hanya diperlakukan sebagai salah satu varian hiburan kelompok sosial tertentu (elite). Film hanya dapat ditonton oleh mereka yang memiliki kelebihan finansial.

Perkembangan berikut, film mampu menembus demarkasi kelas sosial. Bahkan film kini menjadi ’’barang’’ hasil kerajinan industri kreatif rumahan yang mudah diperoleh. Ada puluhan rumah produksi film pendek bertebaran di Banyumas.

Kegiatan menonton film telah jadi bagian dari kehidupan masyarakat. Film menjadi media massa yang efektif menyampaikan pesan. Kehadiran film mampu memengaruhi pola pikir, dan cara tindak individu baik sebagai pribadi maupun kolektif. Kemudian film dianggap efektif untuk menanamkan suatu ideologi secara laten.

Lalu bagaimana dengan film pendek Banyumas yang telah berterima di masyarakat? Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana citra perempuan Banyumas digambarkan melalui sistem tanda sebagai unsur pembentuk film (Sobur, 2006).

Dari puluhan judul film karya sineas Banyumas, setidak-tidaknya ada empat film yang secara tegas merepresentasikan posisi perempuan Banyumas. Pertama Film Senyum Lasminah, kedua Peronika, ketiga Gajian dan keempat Tasmini. Keempat merupakan karya sineas lokal Banyumas yang tergabung dalam Cinema Lover Community (CLC).

Citra Positif Citra adalah gambaran yang disajikan dan kemungkinan terekam oleh penonton. Pencitraan dapat membentuk mitos dan ideologi. Secara positif, ideologi menurut Jorge Larrain (Sobur, 2006) dipersepsi sebagai pandangan dunia (wordview) yang menyatakan nilai-nilai (budaya) entitas sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka.

Dalam Senyum Lasminah —film terbaik kedua kategori budi pekerti Festival Video Edukasi 2007— perempuan dicitrakan sebagai entitas masyarakat kelas rendah yang sadar budaya. Film ini bercerita tentang kehidupan perempuan di Banyumas yang masih mewarisi kearifan lokal berupa tradisi membatik.

Lasminah adalah gambaraan perempuan muda yang sadar budaya. Ini satire, sebab dalam kondisi kontemporer, hanya mereka (perempuan) yang telah berusia lanjutlah yang mau mewarisi tradisi membatik. Lasminah membatik adalah gambaran positif perempuan muda di Banyumas.

Pada scene lain, resistensi Lasminah terhadap ajakan Surti (teman kecil yang baru pulang dari rantau) untuk ke Jakarta hanya sebuah sindiran. Sebab situasi seperti ini sangat langka terjadi di Banyumas. Tapi bukan berarti tidak mungkin terjadi.

Sementara pada film Peronika, dan Gajian, sosok perempuan Banyumas yang diperankan Jamilah, dicitrakan sebagai ibu rumah tangga yang baik. Sebagai perempuan desa yang berstatus istri, Jamilah sukses menjalani tertib rumah tangga. Ia memasak di dapur, dan meladeni suami.

Citra yang sama hadir melalui sosok Lasmi dalam film Tasmini. Lasmi sukses menjalankan tertib ibu rumah tangga di desa. Kehidupan sehari-hari Lasmi diisi dengan kegiatan mencuci pakaian di sumur, menjemur, dan memasak untuk suami.

Sementara itu, kehadiran tokoh Surti dalam Senyum Lasminah justru membentuk citra negatif perempuan Banyumas. Sosok Surti menggambarkan tradisi merantau yang begitu mengakar di Banyumas. Kondisi yang jamak ditemui di wilayah pedesaan di Banyumas.

Perempuan yang baru lulus SMP, bahkan SD yang tak mampu melanjutkan studi memilih merantau dan jadi TKW pada sektor domestik di Jakarta, bahkan luar negeri.

Dalam Gajian, citra negatif diwakili sosok bakul jamu gendong. Meski tidak semua, namun sebagai bakul jamu, perempuan tak mampu menolak stereotipe negatif. Ia dimitoskan pandai merayu calon konsumen, dengan kalimat-kalimat berbau erotik memaksa konsumen pria mau mengkonsumsi jamunya.

Sementara itu, salah satu karakter wong Banyumas yang kental dengan tradisi keberlisanan adalah kebiasaan dopokan (ngobrol atau bergunjing). Dalam konotasi negatif gunjingan lazimnya dilakukan oleh kaum perempuan di desa.

Bergunjing terekam dalam film Tasmini. Lasmi yang tengah memotong sayur di teras rumah gedheg terlibat pergunjingan dengan tetangga yang baru pulang dari pasar. Gunjingan yang lebih mendekati provokasi ini meluncur dari mulut tetangga Lasmi.

Ia dengan nada dan ekspresi sinis, berkata pada Lasmi bahwa sang suami terlihat berselingkuh dengan perempuan bernama Tasmini di sebuah toko tas. Faktanya, Pardi —suami Lasmi— berada di toko hendak membeli tas ukuran mini (kecil) sebagai hadiah untuk Lasmi.

Kasur, Sumur, Dapur.
Secara umum, citra perempuan Banyumas tak pernah jauh-jauh dari tiga kebutuhan dasar rumah tangga di desa. Peran perempuan selalu berputar di wilayah dapur, sumur, dan kasur.

Dalam keempat film tersebut, secara umum perempuan dicitrakan marginal. Baik Jamilah, Lasminah, Surti, Lasmi, dan bakul jamu sama-sama memerankan sosok perempuan dalam tiga wilayah dasariah tersebut. Film Senyum Lasminah dimulai dengan scene Lasminah yang menimba air dari sumur untuk mandi dan memasak. Jamilah dalam Peronika dan Gajian sangat tegas menggambarkan ibu rumah tangga yang sukses mengelola urusan dapur (dan kasur).

Penggambaran posisi marginal ini tentu saja dapat dipahami sebagai bentuk resistensi (perlawanan) atas ketimpangan perilaku gender pada masyarakat desa di Banyumas. Tatkala film banyak mengangkat isu ketimpangan gender, ia dituduh telah mengonstruksi bias gender. Membentuk mitos. Sebaliknya film yang secara banal mengangkat realitas, dapat berfungsi sebagai penolakan atas mitos tersebut. Di sini terjadi oposisi biner antara dua wilayah yang selalu berhadap-hadapan di belakang kenyataan yang terjadi.

(Suara Merdeka, Wacana, 7 Juli 2009)

Kamis, 04 Juni 2009

Membaca Masyarakat, Mendekatkan Film


GATRA, edisi 28 Mei-3 Juni 2009, Bambang Sulistiyo

Membuat film bukan kegiatan langka di Purbalingga. Komunitas film yang bergiat di kota kecil pedalaman Jawa Tengah itu terus berupaya membuat medium tersebut kian terjangkau dan “domestik”. Digandrungi orang dewasa hingga pelajar SMP.

Dilarang merokok. Karena tanpa asap rokok pun ruangan itu sudah cukup pengap. Setiap lubang yang memungkinkan cahaya masuk, udara mengalir, sudah ditutup dengan kertas-kertas karton hitam. Kipas angin tidak cukup memberi angin bagi lebih separuh luas aula itu. Pintu-pintu dijaga agar tetap dalam keadaan tertutup.

Pengunjungnya, sebagian besar adalah pelajar SMA, tidak menyisakan tempat duduk. Jadi seperti wahana sauna. Tapi mereka terlalu gembira untuk menghiraukannya. Aula Hotel Kencana, Purbalingga, Jawa Tengah, itu disulap menjadi ”bioskop” dalam penyelenggaraan Purbalingga Film Festival (PFF) 2009, pada 21-23 Mei lalu.

Kualitas ruang presentasi yang terbatas tak menyurutkan antusiasme para pelajar untuk mendukung film-film yang disutradarai oleh teman-temannya dalam ajang Kompetisi Film SMA se-Banyumas Besar.

Program kompetisi film tingkat SMA itu merupakan satu diantara beberapa program dalam festival film tahunan yang pertama diselenggarakan tahun 2007 itu. Tahun ini ada 10 film dari sekolah-sekolah lanjutan atas yang tersebar di wilayah Kabupaten Purbalingga, Banyumas, Banjarnegara, dan Cilacap yang ikut kompetisi.

”Lebih ramai daripada pertandingan badminton,” kata Direktur PFF, Bowo Leksono. Ia menjanjikan suasana pemutaran film kompetisi berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya. Tahun ini, para penonton muda itu bergembira dengan cara yang sama. Mereka membentuk gugus-gugus suporter, memberi reaksi, suara-suara spontan untuk setiap wajah aktor yang mereka kenal dan setting kejadian atau lokasi film yang tidak asing.

Seperti sedang menonton pertandingan bulu tangkis yang seru. Mereka tertawa lepas untuk muatan-muatan komedi dan tetap tertawa untuk adegan-adegan yang berorientasi duka namun gagal dikemukakan oleh sutradaranya.

Meski rata-rata film-film pendek yang dibuat anak-anak sekolah itu mengandung kelemahan teknis yang bahkan sulit untuk diperdebatkan, ide-ide cerita yang muncul tidak bisa dibilang asal-asalan. Dari Facebook sampai global warming. Dari pernyataan mengenai homoseksualitas sampai rekomendasi yang banal untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan luarnya.

Sebuah film berjudul Sandal Jepit yang disutradarai oleh Bani Dwi K., pelajar SMA Negeri 1 Purbalingga, memperlihatkan perpaduan yang baik tentang kerja produksi yang oke. Ide cerita yang menggemaskan dan pengemasan teknik yang sedemikian rupa membuat karya berdurasi sekitar 15 menit itu lancar bertutur.

Bakat-bakat muda seperti Bani dan Festival Film Purbalingga adalah definisi operasional baru dalam menjelaskan konsep Purbalingga. Lebih dari tiga tahun lalu, Purbalingga hanyalah kota kecil tanpa bioskop yang namanya tidak pernah dihubung-hubungkan dengan terminologi film.

Gerilya Membangun Komunitas
Sosok penting yang sering disebut-sebut memiliki andil besar menempatkan Purbalingga dalam peta perfilman nasional adalah seorang lelaki bernama Bowo Leksono. Sarjana hukum lulusan Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, ini bergerilya mengangkat pergulatan personalnya dengan media film sebagai isu yang relatif baru bagi Purbalingga, tanah kelahirannya.

Tahun 2004, karya film pendek Bowo yang berjudul Peronika mencuri perhatian para penggiat film independen di Indonesia. Film yang membawa identitas Banyumas itu menyoroti ”gegar budaya” yang dialami masyarakat sehubungan dengan perkembangan pesat sektor teknologi telekomunikasi.

Respons dan pembacaan atas muatan lokal film tersebut melengkapi niat Bowo untuk mendirikan komunikasi film di Purbalingga. Setelah dua tahun bergelut, baru pada Maret 2006 ia bersama lima kumpulan lain di Purbalingga, yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap film sebagai media ungkap, mendirikan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga.

”Sebagian besar anggotanya adalah para pemilik studio-studio video shooting untuk dokumentasi perkawinan,” kata Bowo. Dengan pengalamannya membuat film feature pendek dan dukungan peralatan dari pengusaha video manten, CLC mulai memprakarsai pembuatan film-film pendek sederhana dengan biaya murah, sembari mulai memperkenalkannya kepada pelajar SMA di Purbalingga, di antaranya melalui program pemutaran film bulanan bertajuk ”Bioskop Kita”.

Baru tiga bulan berjalan, program ”Bioskop Kita” harus berhenti di tengah jalan. Pihak Humas Pemkab Purbalingga, dengan alasan-alasan tertentu, tidak dapat lagi meminjamkan salah satu gedung di areal pendopo—yang menurut Bowo paling representatif sebagai tempat memutar film di Purbalingga—sebagai venue bagi CLC menggelar program sosialisasi filmnya itu.

Bowo dan kawan-kawan menanggapi putusan izin itu dengan melakukan aksi demonstrasi. Lantas mendokumentasikan proses menemukan jawaban atas ”pelarangan” itu dalam sebuah film berjudul Bioskop Kita Lagi Sedih (2006). Peristiwa itu menandai periode awal ketidakharmonisan hubungan CLC dengan ”pemerintah”.

Tahun 2007, berbekal semangat untuk memenangkan ”konfrontasi” sembari terus menjadikan film sebagai isu popular di kampung halamannya dan memperluas jaringan kerja filmnya, Bowo menyisihkan penghasilannya untuk mengongkosi kelahiran Festival Film Purbalingga.

Cinema Lovers Community Purbalingga kian menemukan konteksnya sebagai sponsor gerakan film di kota yang terkenal sebagai sentra produksi bulu mata dan rambut palsu itu. Sepanjang tahun, proyek-proyek yang dikembangkan komunitas ini menyelusup sampai ke kota-kota kecamatan dan desa-desa di Kabupaten Purbalingga.

Sasarannya memberi pelatihan kepada siswa-siswa SLTA. Dan berangsur-angsur secara teknis memfasilitasi dan membimbing para pelajar untuk membuat film. Hasilnya, Festival Film Purbalingga 2008 sudah memiliki program kompetisi film-film pendek karya anak-anak SLTA se-Kabupaten Purbalingga.

Dan PFF tahun 2009, jangkauan kompetisi tersebut diperluas sampai wilayah Banyumas Besar. ”Sampai sekarang masih pakai duit sendiri, plus bantuan sukarela teman-teman CLC,” kata Bowo. Tahun ini, materi film-film yang diputar di PFF lebih bervariasi.

Ada sekitar 38 film diputar selama tiga hari. Mulai film-film yang didatangkan dari Jakarta, Yogyakarta, Malang, Surakarta, sampai film-film animasi Prancis ”sumbangan” dari Pusat Kebudayaan Prancis. Termasuk di dalamnya adalah 10 film kompetisi dan empat film dokumenter hasil workshop CLC untuk anak-anak SMP di Purbalingga.

Giliran Pelajar SMP
Sejak PFF 2008 berakhir, Bowo dan kawan-kawan mulai menyebarkan proposal ke SMP-SMP di Kabupaten Purbalingga untuk mengadakan pelatihan tentang film gratis. ”Sampai bulan Februari tahun 2009, belum ada satu pun proposal yang dijawab pihak sekolah,” kata Bowo.

Aktivis CLC akhirnya memilih jemput bola. Datang langsung ke sekolah-sekolah untuk mendapat kesimpulan bahwa sebagian besar sekolah itu belum dapat mendukung program film masuk SMP yang disusun CLC. ”Akhirnya kita cari jalan keluar lainnya, asalkan siswa SMP-nya mau dan orang tua mereka mengizinkan, itu saja sudah cukup,” kata Bowo.

Begitulah, sejak bulan Februari, para aktivis CLC bergerilya, mendatangi titik-titik keberangkatan dan kepulangan siswa-siswa SMP di Purbalingga, sembari membawa selebaran tentang film sekalian menawarkan program workshop gratis bagi pelajar yang mau. ”Terjaring 12 siswa SMP, dan menjelang workshop dimulai jumlahnya tinggal 10 anak saja,” Bowo memaparkan.

Sepuluh anak itu dibagi dalam empat kelompok. Sepanjang bulan April 2009, mereka mulai diajari materi-materi dasar tentang membaut film, diperkenalkan pada alat-alat produksi film sederhana, dan dibimbing untuk membuat film dokumenter per kelompok.

Hasilnya, dalam PFF 2009 diputar empat film dokumenter karya para pelajar SMP itu. Pada umumnya, mereka mencoba berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di kotanya, yang menjadi persoalan dalam masyarakat. Mulai tema persaingan becak dengan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi, tentang persaingan pasar tradisional dengan gerai-gerai retail, demam game playstation di kalangan pelajar, sampai ke soal grafiti di ruang-ruang publik.

”Membimbing pelajar SMP ternyata lebih sulit daripada pelajar SMA,” ujar Bowo. Tapi, ia berharap pada penyelenggaraan PFF 2010, karya-karya pelajar SMP jumlahnya akan lebih banyak dan kualitasnya lebih meningkat.

Kalau sudah berbicara soal memperluas komunitas film di Purbalingga, Bowo seperti lupa bahwa dua baliho PFF 2009 diturunkan begitu saja oleh Satpol PP Pemkab Purbalingga. Tapi barangkali di situ kekuatannya. Meski selalu tidak lupa mempertanyakan konsep ”keadilan” perlakuan Pemkab atas kegiatan-kegiatannya di bidang film, proses tersebut tidak membuat mereka ”mutung”, apalagi frustasi.

Hingga kini, CLC mengklaim sudah menginisiasi dan membawahkan 20 komunitas film di Purbalingga. Untuk tingkat Banyumas Besar, bahkan Jawa Tengah, jumlah itu ditengarai paling banyak. Tidak mengherankan jika dalam prakarsa Jaringan Kerja Film Banyumas yang meliputi empat kabupaten, Bowo bersama rekan-rekannya di CLC memegang peranan penting.

Tanpa ”bantuan” pemerintah dan tanpa dukungan dana sponsor dari pihak swasta, CLC terus memperluas jaringan kerjanya. Dalam konstelasi penggiat film independen dan masyarakat umum yang ”melek” informasi tentang film di Indonesia, nama Bowo dan CLC identik mewakili skema perfilman di Purbalingga, bahkan Banyumas Besar.

Tanpa rajukan dan tuntutan, mereka membawa Purbalingga dalam pergaulan nasional dan internasional melalui film. Membuat stereotipe produksi film yang eksklusif, mahal, dan tidak terjangkau warga masyarakat ”biasa” jadi bahan percakapan dan perencanaan sehari-hari, dari kalangan dewasa hingga pelajar SMP di Purbalingga.

Senin, 01 Juni 2009

Berkah Purbalingga Film Festival


Oleh Teguh Trianton

PURBALINGGA Film Festival (PFF) adalah ajang kompetisi kreativitas dan potensi pelajar SMA/SMK/MA se-Banyumas Raya (Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Banjanegara) dalam bidang seni sinematografi. Ajang ini menjadi salah satu elan positif bagi perkembangan industri kreatif di tingkat pelajar.

Di samping itu juga menjadi saluran katarsis bagi kejumudan kaum muda atas segala bentuk kemapanan dan ketidakmampuan lembaga seni dan budaya dalam mewadahi keragaman kreativitas.

Pada 2009, PFF telah memasuki usia ketiga sejak kali pertama digelar pada 2007. Dari dua tahun sebelumnya PFF telah berhasil menelurkan berbagai prestasi. Film-film garapan sineas Banyumas berhasil menduduki tempat terhormat di berbagai ajang festival tingkat regional, nasional, bahkan internasional.

Sekadar mengingatkan, beberapa catatan keberhasilan sineas Purbalingga antara lain; Senyum Lasminah garapan sutradara Bowo Leksono menjadi Film Terbaik II pada Festival Video Edukasi (FVE) 2007. Kemudian Pasukan Kucing Garong menjadi film Fiksi Terbaik di ajang Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007. Film Adu Jago menjadi film dokumenter terbaik di ajang yang sama.

Kemudian dua film pendek Purbalingga, yaitu Peronika dan Metu Getih karya Heru C. Wibowo bersama 16 film pendek Indonesia lain, mendapat kehormatan tampil di Festival Film Eropa bertajuk Europe on Screen 2007 (EOS 2007). Disusul film Boncengan dan Lengger Santi yang lolos dalam kompetisi Festival Film Pendek Konfiden 2007.

Capaian keberhasilan tersebut sesungguhnya sangat membanggakan, terutama bagi masyarakat Purbalingga. Betapa tidak? Dari hasil jerih payah penggalian ide kreatif anak-anak muda Purbalingga, telah mampu menggangkat daerahnya ke pentas nasional.

Tidak Diperhatikan
Sayang, berbagai capaian tersebut ternyata tidak dibarengi dengan perhatian dari pemerintah daerah setempat. Sejarah perkembangan dunia sinematografi Purbalingga menunjukkan pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga hingga kini belum menunjukkan keseriusan perhatian dalam ranah realistis.

Selama ini perhatian yang diberikan pada komunitas pegiat film di Purbalingga yang tergabung dalam wadah Cinema Lovers Community (CLC) baru sebatas retorika. Pemerintah melalui dinas terkait —Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya— terlihat masih sungkan memasukkan sinematografi menjadi bagian dari program kerja mereka.

Ini terbukti dari tiga kali perhelatan PFF, yaitu pada 2007, 2008, dan 2009 yang berlangsung 21-23 Mei lalu, pemerintah tak terlibat langsung dalam proses penyelenggaraannya. Malah sebaliknya, beberapa hambatan penyelenggaraan PFF 2009 justru datang dari penguasa, seperti pemboikotan spanduk PFF yang dilakukan oleh aparat Satpol PP beberapa waktu lalu.

Nilai Strategis
Tiga kali penyelenggaraan PFF dalam tiga tahun berturut-turut merupakan kerja keras yang luar biasa. Apalagi tanpa campur tangan pemerintah. Terlihat ironis memang. Tapi barangkali inilah risiko kerja kebudayaan yang tidak dapat diharapkan menjadi sumber tambang pendapatan asli daerah (PAD).

Namun saya masih berharap pada pemerintah setempat untuk ambil bagian dalam penyelenggaraan PFF pada tahun-tahun mendatang. Saya optimis, mengingat PFF sebagai manifestasi perkembangan sinematografi sesungguhnya memiliki nilai strategis bagi pembangunan Purbalingga, dan Banyumas Raya pada umumnya.

Pertama, secara politis kehadiran industri kreatif —sinematografi— di Purbalingga membuka wacana baru dalam proses marketing politik. Secara administratif Kabupaten Purbalingga tidak hanya dikenal sebagai wilayah penghasil rambut, namun juga dikenal di pentas nasional sebagai kabupaten produsen film pendek.

Kedua, dari sisi diplomasi budaya film pendek garapan sineas Purbalingga mampu membawa seni tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal Purbalingga sejajar dengan seni tradisional dari daerah lain di Indonesia, bahkan dunia. Ini terjadi karena mindset film pendek Purbalingga konsisten mengangkat isu-isu lokal.

Sumbangan Besar

Ketiga, di wilayah edukatif, keberadaan PFF dan seni sinematografi ini memberikan sumbangan yang sangat besar. Dunia pendidikan Purbalingga mendapat referensi dan materi bahan ajar terkini (baca: kontemporer) untuk membangun karakter peserta didik.

Lebih jauh lagi, film (sinematografi) mengilhami stakeholder dan pelaku pendidikan untuk lebih kreatif menciptakan metode dan bahan ajar berbasis multimedia. Ini adalah terobosan baru di Purbalingga.

Keempat, secara ekonomis kehadiran industri kreatif ini ternyata telah mampu mengantarkan pegiat film pendek untuk berkiprah di kancah industri kreatif yang komersial. Beberapa sineas Purbalingga telah terlibat dalam penggarapan film-film komersil, penyutradaraan iklan, videografi, video klip dan sebagainya.

Di sisi lain, berkembangnya sinematrografi di Purbalingga juga telah ikut mengurangi pengangguran. Selain terlibat dalam proyek film besar, para sineas juga banyak mendapat job untuk dokumentasi upacara hajatan perseorangan, lembaga bahkan hajatan pemerintah. Mereka mengisi lapangan pekerjaan di sektor jasa.

Kelima, kehadiran sinematografi ini dapat menjadi media komunikasi antara rakyat dengan pemerintah (eksekutif dan legislatif). Potensi kreativitas yang berbasis kearifan dan isu-isu lokal dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan pembangunan.

Sesungguhnya jika pemerintah telah melihat bahwa dunia sinematografi di Purbalingga memiliki nilai strategis dalam proses pembangunan, maka pada tahun-tahun mendatang pemerintah tidak segan dan sungkan lagi terlibat secara aktif menumbuhkembangkan industri kreatif.

Ini dapat dilakukan dengan mengambil alih sepenuhnya pembiayaan penyelenggaraan PFF. Atau bekerja bersama (ambil bagian) untuk perhelatan PFF. Di wilayah politik, pemerintah sebenarnya dapat membuat regulasi perfilman di Purbalingga.

Dalam bidang pendidikan, pemerintah dapat memasukan sinematografi menjadi salah satu kegiatan ektrakurikuler di sekolah. Bahkan pemerintah dapat memfungsikan lembaga kesenian dan kebudayaan yang ada sebagai salah satu pilar kebudayaan yang dinamis, akomodatif, dan responsif.

— Teguh Trianton, periset Beranda Budaya (Banyumas)
— WACANA Suara Merdeka, 28 Mei 2009