Jumat, 30 September 2011

“Lengger Santi” di FFKBL 2011


“Lengger Santi”, film dokumenter lawas besutan sutradara Purbalingga Bowo Leksono, mendapat penghargaan Harapan III Festival Film Kearifan Budaya Lokal 2011 yang diadakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pengumuman pemenang dan pemberian hadiah ini dilakukan oleh Direktur Perfilman Kemenbudpar Syamsul Lussa, Jumat siang, 30 September 2011, di Gedung Film Jakarta.

Film berdurasi 12 menit yang diproduksi pada 2007 silam ini mengisahkan seorang penari lengger di Purbalingga bernama Santi. Bersama suami dan beberapa kawan, Santi membuat grup untuk berjuang berkeliling dari panggung ke panggung. Meskipun dia mengakui sulit rasanya melahirkan regenerasi.

Jauh sebelumnya, film “Lengger Santi” sempat menyabet Film Terbaik kategori dokumenter pada Surabaya 13 Film Festival (S13FFest) 2007 dan menjadi Top 11 Official Screening Tourism Movie Competition 2011.

Pada penyelenggaraan Festival Film Kearifan Budaya Lokal yang ketiga ini, terkumpul 106 film dokumenter dari seluruh Indonesia. Terpilih enam film terbaik dan satu film pilihan juri. Film terbaik diraih film berjudul “Lampion-Lampion” sutradara Dwitra J. Ariana dari Bali. Film lain, beragam dari daerah Sumba, Medan, Tegal, dsb.

Direktur Perfilman Syamsul Lussa dalam sambutannya mengatakan, penyelenggaraan Festival Film Kearifan Budaya Lokal ini diharapkan dapat memberi perlindungan dan pengembangan kepada kearifan budaya lokal. “Indonesia memiliki beragam kearifan budaya. Dengan festival ini setidaknya menjadi dokumen penting bagi kita semua,” tuturnya.

Rabu, 28 September 2011

Film Politik yang Dipolitisasi


Tinjauan Kritis Film “Pengkhianatan G 30 S/PKI”
Oleh: *Bowo Leksono

Benar tebakan Pak Heni Purwono bahwa saya sedang senyum-senyum sendiri saat membaca SMS-nya terkait pembatalan menghadirkan seorang saudara ex-Tapol/Napol di acara “Nonton Bareng dan Diskusi Film ‘Pengkhianatan G 30 S/PKI’ dalam Rangka Hari Kesaktian Pancasila”. Tentulah senyum saya adalah senyum kesedihan karena artinya, lembaran sejarah Indonesia tahun 1965-1966 terkubur makin dalam. Mari, jadikan kondisi ini sebagai keprihatinan kita bersama bahwa generasi sekarang juga makin buta terhadap sejarah bangsanya.

Saya diminta mengkritisi film “Pengkhianatan G 30 S/PKI”. Dan saya adalah salah seorang yang saat masa kanak-kanak menjadi korban pencekokan film propaganda ala Rezim Soeharto tersebut. Saat itu, saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Di setiap akhir bulan September, kami digiring ke sebuah gedung bioskop secara berjamaah menonton film sepanjang lebih dari tiga jam dan lebih dari separo durasi film penuh adegan mencekam. Kemudian dipaksa menyimpulkan bahwa Soeharto adalah Pahlawan. Setelah itu, film produk Orde Baru ini pun muncul tiap menjelang 1 Oktober di stasiun televisi.

Secara filmis dan teknis penggarapan, film yang diproduksi tahun 1983 oleh salah satu sutradara besar Indonesia alm. Arifin C. Noer ini sangatlah berhasil. Dramatisasi dalam film sejarah ini sungguh luar biasa karena memang digiring sebagai sebuah film propaganda kekuasaan saat itu. Imbasnya, saat pergantian kekuasaan, film itu pun tidak pernah menjadi tontonan wajib bagi masyarakat.

Saya tidak tahu dengan pasti alasan mengapa seorang Arifin C. Noer menerima proyek produksi film pesanan penguasa Orde Baru tersebut. Karena memang saya tidak pernah menanyakan itu kepada beliau semasa hidup. Tercatat sedikitnya tiga film bioskop propaganda rezim militer yaitu “Janur Kuning” (Sutradara Alam Surawidjaja, 1979), “Serangan Fajar” (Sutradara Arifin C. Noer, 1981) dan “Pengkhianatan G 30 S/PKI” (Sutradara Arifin C Noer, 1983). Film-film berbiaya mahal itu kemudian menjadi materi bersama buku-buku teks sejarah resmi bagi siswa, bahan penataran P4, serta isi pidato pejabat, terkait bahaya laten PKI.

Kenyataan bahwa rezim Orde Baru getol menjungkir-balikkan fakta dan akal sehat menjadikan “Pengkhianatan G 30 S/PKI” sebagai film politik yang dipolitisasi oleh pembuatnya (dalam hal ini penguasa Orba). Belakangan, film, buku, dan seabrek dokumen produk Orde Baru dianggap memutar-balikkan sejarah bangsa tanpa pernah ada pelurusan oleh penguasa selanjutnya. Soeharto memang bukan penguasa sembarangan, terbukti selama 33 tahun mampu menyetir Negara ini dengan tangan dingin. Soeharto juga bukan penguasa bodoh, terbukti dia menggunakan media film sebagai alat pembodohan rakyatnya.

Merindukan Lahirnya Film Sejarah 1965
Saya jadi teringat sebuah artikel yang ditulis Prof. Ariel Heryanto, seorang dosen di Universitas Melbourne, Australia. Artikel berjudul “Yang Luput dari Film Indonesia” yang sempat dimuat di Kompas, 16 Januari 2005, itu mempertanyakan “Mungkinkah film Indonesia membantu mendewasakan politik bangsa ini yang seabad lalu terbentuk bersama radio, pers, dan novel?

Realitanya, sangat jarang, bahkan bila boleh dibilang tidak ada sama sekali, film cerita yang beredar berskala nasional dan komersil yang dibuat oleh orang Indonesia secara mendalam mengangkat luka sejarah tahun 1965. Ini sekaligus otokritik bagi saya sebagai seorang pembuat film. Beberapa film dokumenter dan film pendek dalam jumlah kecil hadir sebagai angin segar.

Belum lama, sutradara film Tjoet Nja’ Dhien (1988) yang juga politisi Eros Djarot gagal menyelesaikan sebuah film bertajuk “Lastri”. Dengan alasan klise, bahwa film yang bercerita kisah cinta seorang tentara dan gerwani tersebut dianggap menyebarkan ajaran Komunis. Kampanye bahaya laten Komunis tampaknya akan menjadi kampanye abadi di negeri ini. Kenyataannya, paham komunisme tak lagi mampu hidup di bumi ini. Sementara korupsi yang jelas-jelas laten dan semakin memiskinkan rakyat dibiarkan tumbuh subur.

Pupuslah harapan kita lahir film berlatar sejarah 1965 yang diproduksi sineas Indonesia secara jujur. Kata Prof. Ariel Heryanto, tanpa memahami sejarah 1965-1966, mungkin kita tak akan pernah mampu mengatasi tantangan bangsa masa kini dan mendatang.

*Sutradara, tinggal di Purbalingga
Disampaikan pada acara “Nonton Bareng dan Diskusi Film ‘Pengkhianatan G 30 S/PKI’ dalam Rangka Hari Kesaktian Pancasila”, SMAN 1 Sigaluh, Banjarnegara, 29 September 2011

Sabtu, 24 September 2011

Kompilasi Video Klip Banyumas Raya Diluncurkan


Okto Setiawan (18), seorang pengamen jalanan, tak menyangka bakal sepanggung bersama para musisi Banyumas Raya. “Saat diminta tampil, saya merasa grogi bahkan takut. Tapi saya nekat, anggap saja seperti di depan penumpang bis,” ujar Okto yang akrab dipanggil Badrun.

Okto, lelaki yang hanya menamatkan Sekolah Dasar ini, mendapat kehormatan membuka acara Peluncuran Kompilasi Video Klip Banyumas Raya dan Konser Musik pada Sabtu malam, 24 September 2011, di Gedung Dekopinda Purbalingga. Dengan sebuah gitar, ia membawakan lagu “Manusia Setengah Dewa” yang dipopulerkan Iwan Fals dan sebuah lagu ciptaan sendiri.

Program yang digagas Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) dan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga ini berlanjut pada penampilan grup band yang lagunya dibuatkan klip oleh komunitas-komunitas film pendek Banyumas Raya. Ratusan penonton yang didominasi anak muda terkesan dengan kemasan acara yang disuguhkan.

Program kompilasi video klip perdana ini berhasil mengumpulkan lima karya video klip dari tiga kabupaten di Banyumas Raya. “Tarik Ulur” Black Aprodhyte dan “Kekasih Hati” Renovasi, keduanya disutradarai Insan Indah Pribadi dari Sangkanparan Cilacap.

Lalu, “Asal Kau Bahagia” Firefly sutradara Fildha Hani Laksita dari Pandawa Production Banyumas, “Terbuang Bersama Penatku” Wanarasta sutradara Anton Rahadi dari Baskara Production Purbalingga, serta “Mahatma” Mahatma sutradara Bowo Leksono dari CLC Purbalingga.

Fildha Hani Laksita sutradara klip “Asal Kau Bahagia”, mengatakan memproduksi video klip awalnya hanya sebagai tolak-ukur kemampuan dirinya menyutradarai sebuah video. “Dengan masuk kompilasi, memberi kesempatan karya kami diapresiasi oleh lebih banyak orang,” ungkap siswi Jurusan Broadcasting SMK Negeri 3 Banyumas ini.

Kompilasi video klip Banyumas Raya ini akan didistribusi ke berbagai komunitas musik dan film, festival film, pemutaran dan diskusi di kantong-kantong budaya, sekolah, dan kampus, stasiun-stasiun televisi lokal, serta media internet.

Sementara Direktur Operasional JKFB Bowo Leksono, berharap program ini mampu berlanjut hingga menyadarkan kita semua bahwa film dan musik adalah sesuatu yang sangat mungkin berkembang sebagai industri kreatif di daerah. “Sesuatu yang selama ini jauh dari pikiran apalagi tindakan para pengambil kebijakan di level lokal,” tutur Bowo yang juga direktur CLC ini.

Selain di Purbalingga, peluncuran akan digelar di Pendopo SMK Negeri 3 Banyumas pada Sabtu malam, 1 Oktober 2011 dan di pelataran Taman Belajar Multimedia (TBM) Sangkanparan Cilacap Sabtu malam, 8 Oktober 2011.

Sabtu, 17 September 2011

PELUNCURAN KOMPILASI VIDEO KLIP BANYUMAS RAYA


Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) dan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga berencana meluncurkan Program Kompilasi Video Klip Banyumas Raya pada Sabtu malam, 24 September 2011, jam 19.30, di Gedung Dekopinda, Jl. May. Jend. Panjaitan No. 67 Purbalingga.

Selain di Purbalingga, peluncuran juga akan dilakukan di Pendopo SMK Negeri 3 Banyumas pada Sabtu malam, 1 Oktober 2011 dan di Taman Belajar Multimedia (TBM) Sangkanparan Cilacap Sabtu malam, 8 Oktober 2011.

Program yang digagas selama tiga bulan ini berhasil mengumpulkan lima karya video klip (musik) dari tiga kabupaten di Banyumas Raya. Karya klip tersebut adalah “Tarik Ulur” Black Aprodhyte dan “Kekasih Hati” Renovasi yang keduanya disutradarai Insan Indah Pribadi dari Sangkanparan Cilacap.

Kemudian “Asal Kau Bahagia” Firefly sutradara Fildha Hani Laksita dari Pandawa Production Banyumas, “Terbuang Bersama Penatku” Wanarasta sutradara Anton Rahadi dari Baskara Production Purbalingga, serta “Mahatma” Mahatma sutradara Bowo Leksono dari CLC Purbalingga. Peluncuran program kompilasi ini juga akan dimeriahkan penampilan kelima grup band tersebut.

Direktur Operasional JKFB Bowo Leksono mengatakan musik tak sekedar dinikmati dengan cara didengar. Lebih dari itu, performa musisi pun dibutuhkan kehadirannya di depan mata kita. “Media audiovisual berupa video klip itulah salah satu cara untuk menyatukannya,” ujar sutradara yang juga direktur CLC ini.

Bagi musisi atau produser musik, video klip menjadi salah satu media promo lagu/album dari sebuah grup band untuk mendapatkan tempat di hati masyarakat. Distribusi karya lagu yang sebelumnya hanya melalui kepingan audio pun berkembang menjadi kepingan VCD dan DVD.

Menurut Bowo, hampir dua dekade, perkembangan produksi video klip hanya terpusat di beberapa kota besar saja. “Padahal, tak hanya kota besar bahkan kota kecil di Indonesia sekalipun tak luput dari keberadaan sebuah grup band,” tuturnya.

Saat ini, dengan maraknya teknologi digital yang relatif mudah dan murah dan dengan hadirnya internet, memungkinkan orang di belahan dunia mana pun mampu menikmati sebuah karya musik, sekaligus penampilan musisinya.

Kompilasi video klip Banyumas Raya ini dirancang untuk didistribusi ke berbagai komunitas musik dan film, festival film, pemutaran dan diskusi di kantong-kantong budaya, sekolah, dan kampus, stasiun-stasiun televisi lokal, serta media internet.

Kamis, 08 September 2011

Silaturahmi BAPELUH KP

Kamis, 8 September murupakan hari dimana Rekan-rekan PPL dan THL-TBPP bersilaturahmi di Bapeluh KP. Undangan Pukul 09.00 WIB, dengan Ketua Panitia Bpk Rohamat. Acara dimulai pukul !0.00 WIB dengan pembawa acara Ibu Ayu. Acara dimulai dengan sambutan dari ketua panitia, kemudian sambutan dari Kepala Badan Bpk Wisnu dan selanjutnya acara Inti oleh Bpk Hendro sebagai pengisi materi siraman rohani sebelum dimulainya Silaturahmi dengan berjabat tangan.


Setelah berjabat tangan yang dimulai dari purnawirawan yang sudah pensiun acara berlangsung dengan tawa dan gembira. Acara selanjutnya adalah mencoba makanan yang disajikan oleh masing-masing BP di Kabupaten Banyumas. Selagi menyantap makanan sebuah lagu yang dibawakan oleh Kepala Badan dengan judul "Diana" dibawakan untuk meramaikan suasana.