Senin, 25 Januari 2010

“Sang Pawang Air” Special Mention Stos Film Festival 2010


“Sang Pawang Air”, film dokumenter dari Banyumas berhasil menyabet penghargaan Special Mention atau Film Pilihan Juri di ajang South to South Film Festival 2010. Film yang dibesut sutradara Bowo Leksono ini adalah salah satu film dari Jawa Tengah yang mampu menembus nominasi di ajang festival bertaraf nasional terkait social lingkungan.

Sementara penghargaan The Best Film diraih “Satu Harapan” karya Yuli Andari dan Most Favorite Film diraih film berjudul “Mata Air Mata” sutradara Aditya Wardhana. Malam penganugerahan Stos Film Festival digelar Minggu (24/1) di GoetheHause, Pusat Kebudayaan Jerman di Jakarta.

Mampu Menginspirasi
Film “Sang Pawang Air” menjadi pilihan juri karena dinilai mampu menginspirasi masyarakatnya. Film dokumenter berdurasi 18 menit ini tak hanya berbicara persoalan lingkungan namun mengungkap kisah inspiratif yang diinisiasi oleh individu lewat tokoh Mujamil tanpa keterlibatan negara di dalamnya.

Mujamil bukanlah seorang insinyur apalagi profesor. Ia hanya seorang guru agama di sebuah SMP satu atap di wilayah Kabupaten Banyumas. Namun kepedulian pada masyarakat mampu mendorongnya menciptakan alat pembagi air bersih.

Sayang, sampai saat ini belum ada satu pun pemerintah daerah di Banyumas Raya yang mengadopsi teknologi sederhana yang diciptakan Mujamil. Padahal setiap tahun puluhan desa di Banyumas mengalami kekeringan disaat musim kemarau.

Pemerintah daerah tampaknya masih senang berkutat pada penyelesaian masalah air bersih dalam jangka pendek dengan cara memberi bantuan air bersih melalui PDAM. Belum berpikir bahwa solusi jangka panjang lebih efektif karena meminimalisir biaya dan tidak semakin membuat masyarakat sengsara.

Roadshow Hasil Festival
Festival dua tahunan yang masuk penyelenggaraan ketiga sejak 2006 ini digelar sejak 22-24 Januari 2010 yang memutar sekitar 23 film dari berbagai negara. Tidak hanya kompetisi film yang disajikan, tapi juga kompetisi blog, fotonovela serta pesta ekspresi.

Stos mengeksplorasi berbagai media visual untuk mengajak semuanya peduli seperti tema festival kali ini, “We Care”. Festival tidak hanya berhenti pada perayaannya, namun berencana melakukan roadshow hasil Stos ke 19 sekolah di Jabodetabek. Laeli

Selasa, 12 Januari 2010

Dua Film Dokumenter Banyumas Raya Nominasi StoS Film Festival 2010


Mengawali kiprah di tahun 2010, dua film dokumenter karya sineas Banyumas Raya yaitu “Diujung Kehancuran” sutradara Insan Indah Pribadi dari Cilacap dan “Sang Pawang Air” sutradara Bowo Leksono dari Purbalingga terseleksi sebagai nominasi Kompetisi Film Dokumenter South to South (StoS) Film Festival 2010.

Dari 69 judul film dokumenter yang terkumpul dan masuk meja panitia dari berbagai daerah seperti Jakarta, Yogyakarta, Lombok, Medan, Jawa Tengah, Bali, dan Samarinda, terpilih 6 judul film yang masuk memenuhi kriteria seperti yang ditetapkan panitia.

“Diujung Kehancuran”, film yang diproduksi Sangkanparan ini tentang kiprah Mbah Munarjo, seorang perintis penanaman Mangrove di Desa Tritih Kecamatan Cilacap Utara Kabupaten Cilacap. Film yang sempat menjadi nominator di ajang Festival Film Dokumenter The Bodyshop 2007 ini, kata Insan, sempat mempengaruhi pejabat daerah terkait kebijakan hutan Mangrove.

Sementara “Sang Pawang Air” produksi Goldwater mengisahkan seorang guru agama pada sebuah sekolah dasar bernama Mujamil yang dengan tekun dan kemampuan sederhananya menyelamatkan kebutuhan air bersih warga Desa Singasari Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. “Film ini pernah menyabet Film Terbaik II di Kompetisi Film Dokumenter Forkami Departemen Kesehatan RI tahun 2008,” ujar Bowo.

Gerakan Penyadaran
StoS Film Festival yang ketiga kalinya ini merupakan gerakan penyadaran dan penggalangan solidaritas dengan menggunakan film dan media visual, termasuk festival film yang berbicara mengenai isu lingkungan hidup serta keadilan sosial.

Kegiatan ini sebagai bentuk apresiasi kepada pembuat film dokumenter dengan cara menyediakan ruang untuk menyuarakan kepeduliannya terhadap isu keadilan ekologi, gender, dan HAM dalam bentuk media visual.

Selain dua film dari Banyumas Raya, film lain adalah “Satu Harapan” karya Yuli Andari, “The Last One: Hutan Bakau Satu-satunya di Jakarta”, “Mata Air Mata” karya Aditya Wardhana, dan “Tanah Negara-Not For Sale” karya Gede Sugiarta.

Penayangan program kompetisi akan diselenggarakan di Goethe Institut Jakarta dan Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta pada 22-24 Januari 2010 selain juga memutar film-film dari berbagai Negara Selatan.

Dari pemutaran film ini diharapkan publik dapat dengan mudah memahami persoalan dan perjuangan masyarakat. Keenam film dokumenter tersebut akan memperebutkan “South to South Festival Award” dan “Most Favorite Film”. @laeli

Senin, 04 Januari 2010

Film, Media Alternatif Memotret Lingkungan


PURWOKETO-Film diharapkan dapat menjadi media alternatif untuk memotret kondisi lingkungan social yang belum pernah terekspos media koran atau televisi. Karena pada kenyataannya, selama ini, media yang ada dinilai kurang kritis dalam menyoroti fenomena sosial.

Pendapat tersebut dikemukakan salah satu pegiat Beranda Budaya, Teguh Trianton yang menghadiri kegiatan pemutaran film di Kedai Telapak, Sabtu (2/1). Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangkaian open house kedai tersebut dan bekerja sama dengan Komunitas Peduli Slamet (Kompleet), Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) dan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, mencoba memotret kondisi alam dan lingkungan dari perspektif pegiat kreatif yang ada di eks Karesidenan Banyumas.

Ia melanjutkan, dua film yang diputar dalam perhelatan tersebut, belum seberapa dalam memotret kondisi pembangunan, yang sedang giat digemborkan pemkab di eks Karesidenan Banyumas.

Direktur CLC Purbalingga, Bowo Leksono mengatakan, selama ini, kesulitan teman-teman kreatif dalam melihat permasalahan disebabkan karena kurang pekanya mereka terhadap kondisi sosial lingkungan sekitar.

Dia mengemukakan, sudah selayaknya permasalahan di lingkungan sekitar bisa diangkat ke dalam bentuk karya yang melihat dari sudut pandang berbeda. “Karena itu, merupakan salah satu bentuk kecintaan juga terhadap kota dengan melihatnya daru sudut pandang kritis”.

Dalam kegiatan tersebut, diputar dua film dari program “Kado buat Kota Tercinta” yang digagas CLC, beberapa waktu lalu. Dua judul film, “Curug oh Curug” dan “Trima Hidup Apa Adanya”, menjadin pemantik diskusi yang diikuti beberapa pegiat kreatif di tempat tersebut.

Salah satu aktifis Kompleet, Jalu mengatakan, beberapa kasus yang terjadi dalam pembangunan sebuah kota dan beberapa tempat hiburan yang ada selama ini, kurang memperhatikan kondisi alam dan penduduk sekitar. *Chandra Iswinarno-Suara Merdeka-Selasa, 5 Januari 2010

Jumat, 01 Januari 2010

Pemutaran Film ‘Open House Kompleet’ Kedai Telapak


Dua film dokumenter pendek dari Purbalingga yaitu “Curug oh Curug” sutradara Elma Sulistiya Ningrum dan “Trima Hidup Apa Adanya” sutradara Bowo Leksono akan diputar dalam rangkaian acara ‘Open House Kompleet’ Kedai Telapak, Jl Raya Baturraden KM 1 No 188 Pabuaran Purwokerto, Sabtu malam, 2 Januari 2010, pukul 19.30 WIB.

Pemutaran film yang dipandegani Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) dalam rangka turut meramaikan Open House Kompleet Kedai Telapak yang berlangsung 30 Desember 2009 hingga 6 Januari 2010. Rangkaian acara tersebut berupa pameran foto, pemutaran film, dan diskusi.

Film “Curug oh Curug” bercerita tentang salah satu curug (air terjun) di Purbalingga bernama Curug Ciputut yang terletak di Desa Serayu Larangan Kecamatan Mrebet sebagai salah satu potensi wisata alam yang cenderung terabaikan. Sementara Pemerintah Daerah sangat hobi membangun wahana wisata buatan.

Menurut sang sutradara, Elma Sulistiya Ningrum, banyak curug yang tersebar di wilayah Kabupaten Purbalingga yang tidak terurus. “Masyarakat sekitar curug menginginkan Pemkab memperhatikan tanpa harus merusak alam,” kata sutradara yang masih duduk di bangku kelas X SMA Negeri 1 Purbalingga ini.

Sementara film “Trima Hidup Apa Adanya” mengisahkan aktifitas seorang buruh wig (rambut palsu) di salah satu pabrik di Purbalingga dalam sehari, dari ia bangun tidur hingga pulang kerja.

Sutradara Bowo Leksono mengatakan dengan berdirinya puluhan pabrik di Purbalingga akibat kebijakan Pemkab terkait kelonggaran aturan investasi tidak kemudian menyelesaikan persoalan. “Dari 50 ribu tenaga kerja yang mampu terserap, 85 persen diantaranya perempuan. Pemerintah Daerah tidak pernah berpikir bagaimana pendidikan anak-anak ketika ibu mereka setiap hari berada di pabrik hingga larut malam karena kewajiban lembur,” ujarnya.

Kedua film dokumenter pendek ini sempat diputar di Purbalingga dalam rangkaian acara “Kado buat Kota Tercinta” dalam rangka Hari Jadi Kota Purbalingga yang ke-179 bersama empat film dokumenter lainnya.

Film-film dokumenter pendek tersebut dijadikan dalam satu kompilasi yang dipersembahkan kepada para pengambil kebijakan di Kabupaten Purbalingga. Kompilasi film dokumenter tersebut adalah sikap kritis para pembuat film muda Purbalingga terhadap pembangunan dalam satu dasawarsa ini. laeli