Minggu, 30 September 2012

Workshop Produksi Film SMAN 1 Kutasari Purbalingga

Memilah, memotong-motong gambar terbaik hasil suting untuk kemudian menatanya menjadi adegan yang diharapkan sesuai skenario adalah salah satu bagian penting dari proses pembuatan film.

Demikian materi praktik penyuntingan gambar (editing), salah satu materi workshop produksi film pendek yang digelar Papringan Pictures ekstrakulikuler sinematografi SMA Negeri 1 Kutasari Purbalingga. Workshop tahunan yang difasilitasi Cinema Lovers Community (CLC) ini diadakan selama dua hari dari 29-30 September 2012 di sekolah tersebut.

“Ternyata banyak sekali yang bisa dipelajari dari film. Saya tadinya cuma ingin jadi sutradara, ternyata ada jabatan di film yang menarik lainnya, seperti misalnya menjadi produser,” tutur Desi Setya Ningsih, siswi yang masih duduk di kelas X.

Sebagai bahan untuk praktik editing, peserta workshop yang dibagi dua kelompok, menuliskan satu adegan dalam film pendek yang kemudian mereka melakukan praktik pengambilan gambar.

Sekitar 25 siswa menjadi peserta workshop tersebut. Hal itu dirasa penting untuk memperkenalkan dasar-dasar dan tahapan dalam proses produksi film pendek. Sehingga saat praktik produksi film nantinya, mereka sudah mempunyai dasar dan pengetahuan yang cukup.

Menurut pembina ekskul sinematografi SMAN 1 Kutasari Catur Andiyanto, S.Pd, pihak sekolah sangat mendukung kegiatan sinematografi. Setidaknya, anak-anak juga turut mengangkat apa yang ada di lingkungannya. “Banyak hal menarik dan penting yang bisa diangkat menjadi tema film di sekitar Kecamatan Kutasari,” ujar guru pengampu pelajaran Bahasa Indonesia ini.

Sudah dua tahun silam, SMA yang terletak di bagian barat pusat kota Purbalingga itu, pelajarnya diperkenalkan dengan dunia perfilman. Ada dua film fiksi pendek dan satu dokumenter yang telah diproduksi, dan film-film tersebut telah berprestasi hingga tingkat nasional.

Asep Triyatno, salah satu pegiat CLC, mengatakan pihaknya terus melakukan gerilya memfasilitasi workshop produksi film pendek ke sekolah-sekolah di wilayah Purbalingga. “Tidak terbatas pelajar setingkat SMA. Kami juga terbuka untuk pelajar setingkat SMP, bila perlu setingkat SD pun ingin kami fasilitasi,” ungkap lajang yang terus mendalami ilmu editing ini.

Selasa, 25 September 2012

Klaim Film “Ada Gula Semut” Dilaporkan ke Polisi


Produser sekaligus sutradara film dokumenter “Ada Gula Semut” Bowo Leksono melakukan upaya hukum yaitu melaporkan pihak Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto ke Polres Banyumas, Senin, 24 September 2012.

Laporan pengaduan tersebut terkait klaim film yang diproduksi tahun 2010 itu sebagai bagian dari hasil penelitian LPPM Unsoed dengan jalan menambahkan logo LPPM dan unsur audiovisual lain serta mengunggahnya ke youtube tanpa seizin dan sepengetahuan pemilik karya film.

Bowo datang ke Polres Banyumas didampingi dua pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perintis Keadilan Banyumas. Awalnya, ia berniat melakukan upaya hukum berupa somasi, namun niatan itu diurungkan malah langsung melakukan pengaduan ke polisi.

“Sejak mengetahui film itu ada di youtube, klien saya berusaha menyelesaikannya lewat pesan-pesan pendek kepada salah satu dosen di LPPM, namun dosen tersebut tidak segera mengindahkannya,” ujar Khoerudin Islam, S.H.

Beberapa hari setelah pernyataan seorang dosen lewat pesan pendek bahwa pihaknya sudah menghapus film itu dari internet dan mengamankan copy film, pada kenyataannya, masih bisa diakses dengan status “this video is private” (video ini untuk pribadi).

Terlebih, film itu masih sempat diputar di depan rombongan Bupati Bone, Provinsi Gorontalo dalam kunjungannya ke Unsoed pada 18 September 2012. Menurut pengakuan Bupati Bone, pihaknya tertarik dengan pengolahan gula semut dari video di youtube yang di-link-an ke situs gulacenter Unsoed.

Menurut Bowo, pihaknya atas nama GoldWater Films, rumah produksi yang membuat film “Ada Gula Semut” melakukan upaya hukum tersebut bertujuan agar ada proses pembelajaran terkait hak cipta.

Bowo Leksono dan teman-temannya memproduksi film tersebut, seperti halnya karya-karya film dokumenter lain sebelum dan sesudahnya, untuk kebutuhan non-komersil yaitu edukasi dan sosialisasi.

“Pengalaman ini bukan saja sebagai proses pembelajaran bagi kami para pembuat film non-komersil terlebih bagi lembaga pendidikan tinggi sekelas Universitas Jenderal Sudirman,” tutur Bowo yang juga direktur Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga.

Senin, 10 September 2012

Purbalingga (Bukan) Sarang Koruptor



Kado buat Kota Tercinta jilid 4
Cinema Lovers Community Purbalingga

Preambule
Kado buat Kota Tercinta adalah program ekspresi dan apresiasi kreativitas seni anak muda Purbalingga sebagai media kritik terhadap kebijakan Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Program Cinema Lovers Community (CLC) ini dirancang dan dihadirkan setiap tahun sebagai kado ulang tahun kota Purbalingga.

Tahun 2012 ini, Purbalingga memasuki usia 182 tahun, yang menurut versi Pemkab jatuh pada 18 Desember. Usia yang cukup tua untuk sebuah kabupaten di Jawa. Belasan tipe kekuasaan pernah bercokol di daerah yang terletak di bagian barat Provinsi Jawa Tengah ini.

Semasa rezim Triyono Budi Sasongko (TBS), dua periode kekuasaan, masyarakat kritis Purbalingga dibungkam (baca: dilemahkan) sehingga yang muncul dan terasa di permukaan adalah kondisi yang “ayem tentrem”.

Kita dibuai sama sekali dengan pembangunan-pembangunan fisik yang bersifat mercusuar bahkan dibutakan bahwa dibalik pembangunan itu ada banyak persoalan. Kini, di rezim Heru Sudjatmoko (HS), yang juga masih menyengat bau rezim TBS, kran kritism dan keberanian masyarakat kembali ditantang.

Tahun ini, program Kado buat Kota Tercinta memasuki tahun keempat. Menempatkan tema “Purbalingga (Bukan) Sarang Koruptor” yang akan menghadirkan karya foto, komik, musik, sastra, teater, dan film.

Melalui media tersebut, kami, anak muda Purbalingga ingin mengabarkan kepada rakyat, bahwa korupsi, penyelewengan anggaran, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan bahkan secara berjamaah sekalipun ada di sekitar kita, sadar atau tidak telah membodohi dan memiskinkan kita.

Tujuan
- Program tahunan Cinema Lovers Community
- Media kritik baru
- Media ekspresi dan apresiasi anak muda

Sasaran
- Pelajar dan anak muda Purbalingga
- Masyarakat Purbalingga pada umumnya
- Para pemangku kebijakan

Kegiatan
- Pameran foto
- Pameran komik
- Pentas musik
- Pentas sastra
- Pentas teater
- Pemutaran film
- Diskusi

Pengkarya
Rakyat Purbalingga

Waktu Pelaksanaan
Desember 2012

Minggu, 02 September 2012

Workshop Produksi Film SMAN 1 Rembang Purbalingga



Sekitar pukul 04.00 dini hari, para pelajar itu dibangunkan. Lepas sholat Subuh, mereka sudah berada di lokasi suting di seputaran sekolah untuk menyiapkan satu adegan film fiksi yang sudah dipersiapkan sehari sebelumnya.

“Memproduksi film itu harus dengan disiplin waktu. Karena bila bermalas-malasan, jadwal suting film pendek yang seharusnya tiga hari bisa molor hingga lima hari. Kita yang akan rugi sendiri,” tegas Manager Cinema Lovers Community (CLC) Nanki Nirmanto di depan para pelajar.

Kali ini, giliran Pak Dirman Film ekstrakulikuler sinematografi SMA Negeri 1 Rembang Purbalingga yang menggelar workshop produksi film selama dua hari dari 1-2 September 20012 dengan fasilitator CLC Purbalingga.

Materi berupa teori dan praktik dasar-dasar film seperti penulisan skenario, manajemen produksi, tata kamera, dan tata gambar (editing) disuguhkan kepada para pelajar baik anggota lama maupun anggota baru ekskul sinematografi.

Pergantian Pengurus
Penyelenggaraan workshop produksi film ini sekaligus menjadi momen pergantian pengurus ekskul sinematografi. Pengurus lama yang sebagian besar sudah menginjak kelas XII harus mengurangi kegiatan non-akademisi untuk berkonsentrasi ke ujian nasional.

“Belajar film itu tidak semata belajar teknis. Kita juga berkesempatan belajar berorganisasi dan manajemen di dalamnya. Karena dalam produksi sebuah film juga dibutuhkan manajemen yang tidak kalah penting dari persoalan teknis,” ujar Astri Rakhma Adisti, ketua lama ekskul sinematografi.

Sementara menurut ketua terpilih, Rendi Saefudin, menjadi pengurus ekskul meskipun hanya tingkat sekolah, tidak boleh dianggap remeh. “Kami harus menyiapkan dan melaksanakan program-program yang disusun dan disepakati bersama terkait dengan dunia pefilman,” jelas siswa kelas XI IPS ini.

Bakal keberadaan ekstrakulikuler sinematografi di sekolah dimana Jenderal Besar Sudirman ini dilahirkan sudah ada sejak 2010 silam. Selama setahun, beberapa guru dan pelajar berproses hingga setahun kemudian diakui sekolah secara resmi menjadi salah satu ekskul.

Sedikitnya dalam setahun kepengurusan, menghasilkan dua karya film pendek jenis fiksi dan dokumenter. Karya film pendek dari SMAN 1 Rembang itu pun kerap berlangganan memenangkan berbagai festival film.