Senin, 27 April 2009

Pemutaran Film Keliling “Laskar Pelangi”


Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei kerap dilupakan masyarakat. Padahal pendidikan adalah pilar utama dari kemajuan suatu bangsa. Apalagi sekarang ini Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional menjalankan program Pendidikan Gratis untuk masyarakat.

Pada bulan Mei 2009, menyambut Hari Pendidikan Nasional, JKFB bekerjasama dengan MILES Films dan Mizan Production serta didukung oleh Jive Entertainment akan mengadakan program pemutaran keliling film “Laskar Pelangi” di 6 kota; Purwokerto, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, Pekalongan, serta Yogyakarta.

Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) adalah asosiasi komunitas film di Banyumas Raya, Jawa Tengah. Visi JKFB adalah menjadi lembaga fasilitator dan mediator dalam mengembangkan serta memajukan kegiatan perfilman di Banyumas Raya melalui program kegiatannya. Misi JKFB adalah melakukan kerja kolektif serta jaringan dalam berbagai aspek yang dapat memajukan kegiatan perfilman di Banyumas Raya.

Program pemutaran film keliling ini dimaksudkan untuk membuka ruang diskusi dengan publik mengenai isu pendidikan di Indonesia, bercermin kepada banyaknya persoalan yang dihadapi dalam dunia pendidikan Indonesia, mulai dari kapitalisasi pendidikan hingga sistem pendidikan yang korup.

Program

Sekolah Kami, Hidup Kami
Steven Pillar Setiabudi
Dokumenter |12’|2008
Perjuangan sekelompok SMU 3 Solo dalam mengungkapkan praktik korupsi di sekolah mereka. Dengan persiapan matang dan sistematis, mereka berhasil mengumpulkan bukti-bukti praktek korupsi yang diduga melibatkan wakil Kepala Sekolah mereka.

Laskar Pelangi
Riri Riza
Fiksi| 125’ |Miles Films & Mizan Production|2008
Laskar Pelangi adalah sebuah kisah anak bangsa yang menggambarkan perjuangan guru dan 10 siswa di Belitong untuk sebuah pendidikan.

Jadwal

- Purbalingga; CLC Purbalingga, 2 Mei 2009 @Desa Tangkisan, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, pukul 19.30 WIB.
- Cilacap; Sangkanparan, 2 Mei 2009 @Alun-alun Majenang, pukul 19.30 WIB.
- Purwokerto; Garis Depan Community, 2 Mei 2009 @Gedung Rhoediro Fakultas Ekonomi Unsoed, pukul. 19.00 WIB.
- Svarna Film, 21 Mei 2009 @Auditorium Universitas Muhammadiyah Purwokerto pukul. 19.00 WIB.
- Banjarnegara; Komunitas Semut Ireng, 3 Mei 2009 @Gedung Sasana Bhakti Praja, pukul 15.00 WIB.
- Pekalongan; Satu Hati, 30 & 31 Mei @Aula Lt. 1 Gedung Sekretaris Daerah Kabupaten Pekalongan pukul. 19.00 WIB.
- Yogyakarta; Kinoki dengan Sekolah Hijau, 1 Mei pukul 16.00 WIB @Milas Vegetarian Resto
Kinoki dengan Dinas Pendidikan & TBY, 2, 16, 30 Mei 2009 pukul 10.00 WIB @Taman Budaya Yogyakarta. Dimjay

Minggu, 26 April 2009

Kembali Raib: Baliho Purbalingga Film Festival 2009


Untuk kali kedua, baliho bertuliskan Purbalingga Film Festival 2009 raib pada Minggu dini hari, 26 April 2009. Baliho yang tertempel di tembok bagian depan Hotel Kencana, salah satu lokasi penyelenggaraan festival, hilang dan belum tahu siapa pelaku yang menurunkannya.

Pemberitahuan hilangnya baliho kepada panitia festival datang dari pihak hotel Minggu pagi. Pihak hotel sendiri juga bingung kenapa baliho yang sudah terpasang sejak Minggu, 12 April 2009 silam tiba-tiba hilang tanpa diketahui siapa pelakunya. Padahal malamnya, sekitar pukul 23.00 WIB, salah satu panitia festival sempat melintas di depan Hotel Kencana dan baliho festival masih terpampang.

Baliho milik Cinema Lovers Community (CLC), penyelenggara festival, di depan Hotel Kencana terpasang berbarengan dengan pemasangan di pelataran Perpustakaan Umum Purbalingga yang kemudian pada pagi harinya diturunkan paksa oleh Satpol PP Kabupaten Purbalingga setelah semalaman bersitegang.

Pemasangan baliho Purbalingga Film Festival yang hendak digelar pada 21-23 Mei 2009 di depan Hotel Kencana sendiri juga dimaui pihak hotel. Selama ini setiap kali ada acara di hotel selalu terpampang spanduk atau baliho jauh-jauh hari. Dan semuanya aman-aman saja.

Pegiat CLC Heru C. Wibowo tidak mau menuduh siapa dibalik penurunan baliho tersebut. “Siapapun pelakunya adalah pihak yang anti pada kemajuan Purbalingga. Selama ini kami dengan sadar membangun Purbalingga lewat film. Hal yang paling mengganjal justru datang dari Pemerintah Kabupaten Purbalingga sendiri,” tuturnya.

Bila ditanya soal pajak pemasangan baliho di depan Hotel Kencana. Menurut Heru tentu tidak ada, karena area pemasangan baliho berada di dalam hotel. “Kalau toh ada, festival film adalah acara kesenian yang digelar non-profit. Kalau tetap ditarik pajak, kebangetan sekali Pemkabnya,” tegasnya.

Sengaja Dicopot
Setelah mendapat informasi dari pihak hotel soal raibnya baliho, panitia Purbalingga Film Festival langsung meluncur ke lokasi. Panitia langsung mengecek bekas-bekas pencopotannya.

Menurut Heru, baliho dicopot tidak melewati bagian dalam hotel karena bambu penyangga bagian atas baliho dan bekas kawat-kawatnya masih tertinggal. “Pihak yang mencopot pun bukan sekedar iseng tapi kesengajaan karena tidak ada sobekan baliho sedikitpun,” katanya.

Siapapun pelaku pencopotan baliho, bagi CLC bukan sekedar harga dari baliho berukuran 3 x 4 yang sudah kedua kalinya ini hilang, karena festival ini tidak didanai Pemkab Purbalingga sepeserpun. Tapi lebih pada tuntutan penyadaran, khususnya pada Pemkab Purbalingga, bahwa Purbalingga Film Festival adalah suatu cara dan media mengharumkan nama Purbalingga. Bolex

Kamis, 23 April 2009

“Lukas’ Moment” Film Terakhir di Program BSF


Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga kembali menggelar program pemutaran film bulanan Bamboe Shocking Film (BSF). Pemutaran akan digelar pada Sabtu, 25 April 2009, di Café Bamboe, Jl. Jend. Sudirman 126 Purbalingga, mulai pukul 19.30 WIB sampai selesai.

Bulan ini, pemutaran memasuki BSF ke-17 yang berarti sudah tiga tahun program BSF digelar sejak 2007 silam. Di bulan ini pula, CLC berniat menghentikan program bulanan BSF untuk beberapa saat berbenah secara internal. “Pasca Purbalingga Film Festival yang akan digelar pada 21-23 Mei 2009, kami akan mengoreksi program-program yang telah digelar selama ini sembari mempersiapkan program ke depan,” tutur Manager Program CLC Trisnanto Budidoyo.

Bagi kami, lanjut Trisnanto, rentang tiga tahun waktu yang cukup panjang untuk setiap bulan menyiapkan sebuah program pemutaran. Terkadang melewati penonton yang banyak bahkan berlebih, tak jarang pula dengan penonton yang pas-pasan. Namun bukan hanya kuantitas penonton yang menjadi ukuran keberhasilan. “Dikala penonton yang sedikit namun punya keseriusan dalam menonton, itu juga penanda berhasil,” ujarnya.

Dokumenter Papua
Film yang akan diputar terakhir di program BSF adalah film dokumenter besutan sutradara Aryo Danusiri bertajuk “Lukas’ Moment”. Film berdurasi 60 menit ini berlatar cerita Papua, provinsi paling ujung timur Indonesia.

Namun, jangan disangka film ini memvisualkan eksotisme alam Papua atau sekedar menampilkan wajah etnik dan cenderung primitif secara penghidupan dari negeri Papua seperti stereotipe film-film dokumenter lainnya.

Film yang diproduksi tahun 2005 dan sempat menyabet penghargaan The Best Student Film di RAI International Ethnographic Film Festival Oxford, UK ini bercitra lain. “Lukas’ Moment” berkisah mengenai perjalanan Lukas, pemuda nelayan suku Marind yang tinggal di pinggiran kota Merauke, Papua. Drama dibangun dari tekadnya membangun usaha distribusi udang yang mandiri, lepas dari ketergantungan jaringan bisnis tengkulak yang menjerat.

Aryo Danusiri yang juga seorang antropolog dalam film karyanya ini menangkap tokoh Lukas dari kehidupan keseharian yang intim dan observasional. “Lukas' Moment” menjadi karya master tesis Aryo di jurusan Antropologi Visual di salah satu universitas di Norwegia.

Film dokumenter lain yang diputar adalah soal perseteruan babak baru para pegiat CLC dengan Satpol PP Pemkab Purbalingga. Film berdurasi 7 menit ini mengungkap saat-saat pelarangan pemasangan baliho Purbalingga Film Festival 2009 hingga baliho berhasil dinaikkan. Untuk kemudian diturunkan oleh Satpol PP keesokan harinya.

Pemutaran kedua film dokumenter ini diharapkan membuka mata kita bersama arti penting film itu sendiri, sebagai bukti otentik terkait kisah, kehidupan, dan sejarah manusia. Bolex

Senin, 13 April 2009

Nasib CLC tak Beda Pedagang Kaki Lima


Baliho bertuliskan Purbalingga Film Festival 2009 milik Cinema Lovers Community (CLC) yang baru terpasang di depan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Purbalingga pada Minggu malam (12/4), dicopot paksa Satuan Pamong Praja (Satpol PP) keesokan harinya.

Padahal, izin pemasangan sudah dialamatkan pada Kepala Perpustakaan Umum dan Museum Daerah Kabupaten Purbalingga. Namun, tindakan semena-mena Satpol PP seperti halnya pada pedagang kaki lima pun dialami komunitas film di Purbalingga itu.

Pada malam pemasangan baliho festival film yang hendak digelar pada 21-23 Mei 2009, sudah terjadi cek cok antara pegiat CLC dengan komandan dan beberapa anggota Satpol PP. Baliho berukuran 3 x 4 meter yang sedianya terpasang selepas waktu maghrib pun molor hingga terpasang pada pukul 12.15 WIB.

Sebenarnya, soal surat izin dari Kepala Perpus sudah tidak ada masalah, bahkan komandan Satpol PP pun dengan jelas memberitahu bahwa baliho dengan kegiatan kesenian semacam festival film tidak dipungut pajak.

Bahkan Satpol PP siap membantu bila kantor pajak daerah tetap memungut biaya perizinan. Dan pada festival film tahun lalu, tidak ada masalah dengan pemasangan baliho di depan Perpus itu. Tapi entah kenapa Satpol PP tetap merampok harta milik CLC tersebut.

Ditakdirkan Berseteru
CLC menganggap sudah ditakdirkan berseteru dengan Satpol PP sebagai tangan kanan dari Pemerintah Kabupaten Purbalingga yang selama ini tutup mata pada kegiatan kesenian yang dipandegani anak-anak muda Purbalingga.

Perseteruan CLC dengan Satpol PP (Pemkab Purbalingga) sudah mengakar sejak 2006. Perseteruan ini sebagai representasi aktivitas anak-anak muda Purbalingga yang tidak puas pada pemerintah daerahnya.

Pemasangan baliho di depan Perpustakaan Umum Daerah atau di seputar alun-alun Purbalingga itu sebagai wujud protes CLC pada pemerintah daerahnya yang selama ini tidak bersegera membangun gedung kesenian untuk menampung kreativitas para seniman di Purbalingga.

CLC secara berani dan tanpa kompromi berusaha menembus batas-batas formalitas dan birokrasi yang diciptakan secara kaku. Tidak mudah memang untuk memajukan Purbalingga. Butuh waktu panjang dan merasakan sakit hati yang teramat sangat. bolex