Senin, 23 April 2012

Sebulan Penyelenggaraan Festival Film Purbalingga 2012

Festival Film Purbalingga adalah program festival tahunan Cinema Lovers Community (CLC) yang ditujukan untuk membangun kultur baru menonton film bagi masyarakat Purbalingga dan Banyumas Raya pada umumnya, serta sebagai ruang laboratorium pendidikan dengan film sebagai media penyampai. Festival Film Purbalingga (FFP) yang ada sejak 2007 ini menyuguhkan sekumpulan film pendek dan panjang dalam kemasan program Layar Tanjleb (tancap), Kompetisi Pelajar Banyumas Raya, Non-Kompetisi untuk Nasional, dan Program Khusus. Seperti tahun lalu, festival ini hendak digelar selama sebulan mulai 28 April hingga 26 Mei 2012. Program unggulan yang ditawarkan berupa Layar Tanjleb keliling desa di wilayah Banyumas Raya (Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, dan Banyumas). Ada 18 desa di wilayah Banyumas Raya yang akan disambangi. Dua desa di Banjarnegara, tiga desa di Banyumas, dua desa di Cilacap, dan 11 desa di Purbalingga. Untuk pembukaan festival akan dipusatkan di Gerumbul Sambirata, Desa Wanogara Kulon, Kecamatan Rembang, Purbalingga pada 28-29 April 2012 dengan beragam kegiatan. Pembukaan festival akan dilakukan oleh Kepala Desa Wanogara Kulon. Direktur Festival Film Purbalingga Bowo Leksono memaparkan Program Layar Tanjleb ini merupakan pemutaran film dengan media layar tancap di suatu area yang mengundang publik luas untuk berpartisipasi. “Materi film yang hendak diputar adalah kompilasi film pendek dan film panjang atau film bioskop,” katanya saat konferensi pers di café Pedangan Purbalingga. Kampanye film pendek pada masyarakat, terutama yang berada di pelosok, menurut Bowo, cukup efektif melalui pergelaran layar tanjleb. “Kenyataan ini memantapkan kami di festival tahun ini rangkaian roadshow kembali digelar. Keterlibatan masyarakat dari kalangan pemuda dimana layar dibentangkan menjadi penting mengantarkan tontonan alternatif ini,” tuturnya. Program Kompetisi masih menjadi program utama dalam menggairahkan dan memajukan para pembuat film pendek pelajar se-Banyumas Raya dengan kategori fiksi dan dokumenter. Bahkan tahun ini diperluas tidak hanya bagi pelajar setingkat SMA tapi juga SMP. Ada 33 film pelajar se-Banyumas Raya untuk Program Kompetisi yang masuk ke meja penyelenggara. Dengan perincian 27 film fiksi dan 6 film dokumenter. Film-film tersebut sedang melewati kurasi Dewan Program sebelum digodog oleh Dewan Juri. Dewan Juri akan memilih satu film terbaik kategori fiksi dan dokumenter dan dimungkinkan muncul Special Mention (film pilihan dewan juri) baik fiksi maupun dokumenter. Pada Program Non-Kompetisi, festival yang memasuki tahun keenam ini menerima materi film pendek kategori umum dari berbagai penjuru Nusantara. Program ini akan mengkurasi film-film yang masuk dan juga mengundang film-film milik komunitas atau individu untuk turut menyemarakkan festival. Sekitar 15 film pendek undangan dan beberapa film panjang atau bioskop akan melengkapi pemutaran program layar tanjleb dan non-kompetisi. Keseluruhan ada sekitar 50 materi film yang menghiasi Festival Film Purbalingga 2012. Ditambah beberapa program khusus seperti pentas seni, presentasi, diskusi, pameran, dan sebagainya yang merupakan satu rangkaian utuh Festival Film Purbalingga 2012. Untuk informasi lengkap dapat diakses melalui http://festivalfilmpurbalingga.blogspot.com. Harapannya Festival Film Purbalingga ini akan terus berlanjut dimasa-masa mendatang.

Sabtu, 14 April 2012

Kisah Gestapu di Monolog “Eksekusi”


Ya aku telah membunuh mereka, satu demi satu. Entah berapa banyak aku lupa. Aku tak pernah menghitung berapa banyak nyawa yang meregang karena tebasan kelewangku.

Nukilan prolog lakon “Eksekusi” yang dimainkan secara apik aktor sekaligus sutradara Zoex Zabidi dari DramaLab Semarang, semakin menegaskan bahwa kisah monolog yang disuguhkan berlatar sejarah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau akrab dikenal sebagai peristiwa G 30 S/PKI. Diperkuat sebelumnya, cuplikan visual kejadian saat itu yang dibumbui penggalan kidung Genjer-Genjer terpampang di selembar kain putih.

Pementasan naskah “Eksekusi” gubahan bebas dari cerpen karya Gunawan Budi Susanto ini dalam rangkaian keliling kota di Jawa Tengah. Bekerjasama dengan Komunitas Pedangan, Purbalingga menjadi kota keempat persinggahan yang bertempat di café Pedangan pada Sabtu malam, 14 April 2012.

Pada tampilan sekitar 10 menit awal, sang aktor tampak sedikit terbata bahkan boleh dibilang terengah. Selebihnya, justru seperti mendapat energi yang terus bertambah sehingga beberapa karakter yang dimainkan semakin kuat. “Saya merasa berbeda saat berproses lima tahun silam. Ada yang berkurang dengan stamina saya,” tutur Zoex pada kesempatan diskusi.

Pentas monolog selama 45 menit ini menyuguhkan kisah dari sisi seorang algojo pencabut nyawa orang-orang yang dituduh makar terhadap negara tanpa diadili. Sisi kemanusiaan muncul saat dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa pekerjaannya itu adalah dalam rangka menghidupi keluarga.

Namun, dikala kesadaran itu muncul ia dikhianati oleh orang-orang yang selama ini dianggap sejalan. Ada pengkhianatan dibalik kisah pengkhianatan itu sendiri. Kondisi carut itu seperti terus berlangsung hingga kini, hingga menyisakan sejarah bangsa yang buram.

Teater Purbalingga ‘Tertidur’
Jarang naskah teater berlatar sejarah kelam tahun 1965 dipanggungkan di masa kekinian. Terlebih, di Purbalingga sendiri, jarang peristiwa teater terjadi. Kantong-kantong teater yang ada di sekolah, cepat puas berpentas di kandang sendiri. Bahkan kebanyakan mati suri.

Karena itu, tidak sedikit dari kalangan pegiat teater pelajar sendiri yang menyebut bahwa teater di Purbalingga seperti ‘tidur’. Namun malam itu, setidaknya memberi semangat baru bagi mereka yang hadir. Dan untuk membuktikan bahwa anggapan itu salah, mereka bersepakat pagi harinya, mengikuti workshop gratis yang digelar DramaLab di café Pedangan.

Kamis, 12 April 2012

“Negeri di Bawah Kabut” Singgah di Purbalingga


Melihat dan merasakan Indonesia, yang katanya negeri agraris, cukup dengan menonton dokumenter “Negeri di Bawah Kabut”. Persoalan-persoalan sosial ekonomi dan pendidikan sebuah komunitas penduduk di dataran tinggi Merbabu tergambar cukup detail di film arahan sutradara Shalahuddin Siregar.

Penonton dibawa lebih dekat dan larut apa yang dialami tokoh-tokoh dalam film. Dengan menawarkan gambar-gambar cantik, film dokumenter berdurasi 105 menit ini terasa tak membosankan. Terbukti, puluhan anak muda Purbalingga yang sebagian besar pelajar betah menyaksikan hingga digelar diskusi dengan pembuat film.

Beruntung, Purbalingga menjadi salah satu kota yang disinggahi dari rangkaian pemutaran keliling film yang menyabet Special Jury Prize Dubai International Film Festival 2011 dan Official Selection Singapore South East Asian Film Festival 2012 ini ke 16 kota di Indonesia. Cinema Lovers Community (CLC) dan Komunitas Pedangan sebagai partner lokal memutarnya pada Kamis malam, 12 April 2012, di café Pedangan.

Berbagai tanggapan dan pertanyaan seputar seluk-beluk hingga teknis penggarapan menjadi informasi dan referensi tersendiri bagi anak-anak muda Purbalingga setelah sutradara Shalahuddin Siregar menjelaskan.

Udin, panggilan akrab sang sutradara, mengatakan alasan Purbalingga menjadi salah satu titik pemutaran karena banyak anak muda Purbalingga yang memproduksi film antara lain dokumenter. “Soal film, Purbalingga diperbincangan secara nasional. Agar terus menjadi perbincangan, bikinlah film dengan pendekatan dan cara yang berbeda dengan yang sudah dan kebanyakan ada,” tutur alumni Eagle Award 2005 ini.

Rabu, 11 April 2012

Pentas Monolog “Eksekusi” di Purbalingga


Sudah cukup lama Purbalingga tak ada pementasan teater yang dengan mudah diakses penontonnya. Selama ini, teater di kota Perwira hanya berproses di kandangnya yaitu sekolah-sekolah. Itu pun masih jauh dari pementasan dengan substansi dan teknis yang dibilang baik.

Pada Sabtu malam, 14 April 2012, DramaLab Semarang akan memboyong pementasan monolog dengan lakon “Eksekusi” untuk publik di Purbalingga dan Banyumas Raya. Monolog dengan aktor kawakan Zoex Zabidi sekaligus sebagai sutradara ini rencana manggung di café Pedangan Jl. Mayjend. Panjaitan 112 (depan Pengadilan Agama Pasar Mandiri) Purbalingga dengan harga tiket masuk Rp 5.000.

Ekseskusi, sebuah monolog yang diangkat berdasar cerpen Gunawan Budi Susanto yang terangkum dalam antologi cerpennya bertajuk Nyanyian Penggali Kubur. Lakon ini bercerita tentang seorang kepala keamanan yang mengalami beban psikologi karena profesinya sebagai algojo pada masa kecamuk periistiwa G30S/PKI.

Bagi sang algojo tak ada pilihan lain selain menjalankan tugasnya sebaik mungkin sebagai kepala keamanan yang memiliki 12 anak buah. Siang dan malam, panas ataupun hujan, mereka harus siap siaga menjalakankan tugas yang terpenting anak dan istrinya berkecukupan hidupnya.

Pendekatan Teater Rakyat
Menurut Teaterwan Zoex Zabidi, lakon monolog Eksekusi digarap dengan pendekatan teater rakyat. “Dengan konsep panggung teater arena penuh, dimana penonton melingkari panggung berukuran 3x3 meter, sehingga diharapkan emosi penonton dapat menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri,” tutur aktor yang sudah membawa lakon ini pentas ke beberapa tempat seperti Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Olah-Olah Kampung Seni Kudus, dan SMK Negeri 17 Stage Magelang.

Bekerja sama dengan Komunitas Pedangan untuk pementasan di Purbalingga, lakon berdurasi 30 menit ini juga dengan konsep minimalis set panggung, kecuali sebuah kursi yang memvisualkan kekuasaan serta keruntuhan.

Humas Komunitas Pedangan Indra Cipto Wibawanto mengatakan, ingin menjadikan Komunitas Pedangan yang bermarkas di café Pedangan ini tempat untuk berekspresi beragam ragam seni dan kreativitas. “Bahkan Minggu paginya jam 8, DramaLab Semarang akan memberikan workshop teater secara gratis bagi warga Purbalingga yang ingin mengenal dan mendalami seni teater,” ungkap mahasiswa Fakultas Hukum Unwiku ini.

Minggu, 08 April 2012

Pemutaran Film “Negeri di Bawah Kabut” di Purbalingga


Cinema Lovers Community (CLC) dan Komunitas Pedangan berencana memutar film dokumenter “Negeri di Bawah Kabut” sutradara Shalahuddin Siregar pada Kamis malam, 12 April 2012, jam 19.00, di Café Pedangan, Jl. Mayjend. Panjaitan 112 (depan Pengadilan Agama Pasar Mandiri) Purbalingga. Pemutaran ini sebagai rangkaian pemutaran keliling film berdurasi 105 menit ke 16 kota di Indonesia.

Film yang sempat menyabet Special Jury Prize Dubai International Film Festival 2011 dan Official Selection Singapore South East Asian Film Festival 2012 ini berkisah sebuah komunitas di lereng gunung yang secara diam-diam sedang menghadapi perubahan tanpa mengerti alasannya. Sebagai komunitas petani di desa yang mengandalkan sistem kalender tradisional Jawa dalam membaca musim, mereka dibuat bingung oleh musim yang sedang berubah.

Muryati (30 tahun) dan Sudardi (32 tahun) berusaha memahami kenapa hujan turun lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Gagal panen dan harga jual yang terlalu murah menjadi ancaman. Sementara itu Arifin (12 tahun) dihadapkan pada pertanyaan; masa depan seperti apa yang ditawarkan kepadanya? Pada usia yang masih sangat muda, dia harus berhadapan dengan sistem sekolah negeri yang kompleks.

Melalui kehidupan sehari-hari dua keluarga petani, Negeri di Bawah Kabut membawa kita melihat lebih dekat bagaimana perubahan musim, pendidikan dan kemiskinan saling berkaitan satu sama lain.

Manager CLC Nanki Nirmanto mengatakan pemutaran secara gratis dan terbuka untuk umum ini sekaligus untuk memancing lebih dalam keinginan para pembuat film dokumenter muda di Purbalingga. “Rencananya sutradara film ini akan hadir di Purbalingga untuk berdiskusi dengan para apresian. Ini kesempatan baik bagi siapa saja bertukar pikiran dalam proses produksi dokumenter,” katanya.

Sabtu, 07 April 2012

“Payung Hitam” Putar di Purbalingga


Sedikitnya 50 anak muda Purbalingga dan sekitarnya memadati café Pedangan untuk bersama-sama menyaksikan pemutaran film dokumenter “Payung Hitam” karya sutradara Chairun Nissa pada Sabtu malam, 7 April 2012.

Penyaksi yang sebagian besar pelajar yang selama ini menekuni dunia sinematografi itu berbaur dengan puluhan penyaksi lainnya dengan beragam latar, mulai dari guru, mahasiswa, dosen, wartawan, dan para aktifis.

Film dokumenter berdurasi 30 menit yang diproduksi Peace Woman Across the Globe Indonesia dan KontraS yang diputar malam itu bercerita tentang perjalanan dua perempuan yang berjuang untuk keadilan dan bekerja keras mengkampanyekan perlawanan terhadap kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Topan Purbaya, guru sejarah di SMA Negeri 1 Kutasari, Purbalingga menyatakan butuh referensi film-film semacam itu sebagai bahan ajar. “Meski tidak ada di kurikulum, saya merasa berkewajiban mengantarkan bagian sejarah kelam Indonesia. Anak-anak didik saya harus mengetahui bahkan merasakan itu,” tuturnya saat sesi diskusi.

Sementara siswi SMA Negeri 1 Rembang, Purbalingga, Dwi Yulia Ningrum, merasa kagum terhadap perjuangan yang dilakukan kedua ibu dalam film tersebut. “Selama ini, kami tidak pernah diajarkan di sekolah bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia,” ujarnya.

Pergelaran Perdana
Hujan yang mengguyur wilayah Purbalingga sejak siang hari tak menyurutkan kaum muda untuk hadir di Pedangan. Sebelum pemutaran film yang cukup memancing emosional penonton malam itu, didahului pembacaan puisi oleh perwakilan pelajar, mahasiswa, dan guru.

Peristiwa budaya yang digelar Cinema Lovers Community (CLC) bersama Komunitas Pedangan itu menjadi awal bagi ruang berkesenian baru yang memang jarang ditemukan di kota Purbalingga.

Kegiatan selanjutnya yang akan digelar Komunitas Pedangan adalah pemutaran dan diskusi film dokumenter “Negeri di Bawah Kabut” karya sutradara Shalahudin Siregar pada Kamis malam, 12 April 2012.

Rabu, 04 April 2012

Alat Setrum TIKUS

Salam Pertanian,
Petani pada awal musim ke dua untuk tanam padi atau pun palawija pasti pernah menjumpai hama yang bernama "Tikus". Hama ini seringkali menjadi kendala yang sangat sulit dikalangan petani, ada yang sudah dilakukan gropyokan ada yang dengan cara didoakan, ada yang dengan cara di datangkan/ditanggapkan wayang, semua itu sudah petani coba dan lakukan.

Tikus merupakkan hewan yang bergerombol dan suka mencari makan dimalam hari, hewan ini dalam beranak bisa 4-5 ekor, dan dalam waktu 2 bulan saja hewan tersebut bisa beranak kembali. Kadang ada juga petani yang membuat lelucon " pak coba ya ada obat KB buat tikus " itu merupakan harapan dai para petani apakah bisa mimpi itu terwujud kita tunggu teknologi yang akan datang yang lebih bagus.

Dibawah ini adalah salah satu alat untuk memberantas tikus yang merupakan modifikasi dari petani kita. Sukarso itulah nama petani yang berada di Djalan Djamid Desa Kalicupak Kidul Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas. Alat ini menggunakan tenaga listrik dalam pengoperasianya. Coba kita liahat video spesifikasi alat yang dinamai PETIK TELIK KAMSO dibawah ini


Jaya terus Pertanianku, Jaya terus Petaniku, Jaya terus Indonesaiaku